Cengkeraman Gagak di Somalia.
Langit Somalia membara dengan kepulan asap hitam membungbung
tinggi. Rentetan desingan peluru terdengar memekakan telinga.
Di sebelah sana, dentuman bom menggetarkan dada dan
meluluhlantakan yang ada. Ratapan ribuan manusia terdengar menyayat menghujam
hingga pilu menikam nasib.
Tubuh-tubuh kurus nan lusuh itu berhamburan mencari
tempat perlindungan, tapi semua bangunan roboh dengan meninggalkan serak. Sebagian
lagi meregang nyawa dengan gelojotan hingga mata yang melihatnya buram
tertutupi debu dan air mata.
Robert menarik tangunku dengan kuat agar segera
berlindung, sebab di atas kami masih terlihat rudal-rudal dengan mata tajam
menuju sasaran.
Kami terperangah, seorang bocah bertubuh legam dan kurus
tersungkur bermandi darah terhantam besi gedung yang porak-poranda oleh bom.
“Tiarap...!!!”
Teriakku keras pada
Robert dalam bahasa Indonesia secara spontan. Robert yang dulu pernah beberapa
hari berada di Indonesia sangat mengerti dengan yang ku ucapkan. Tubuh kami bergulingan
di kerasnya tanah berkerikil untuk menghindari sergapan peluru yang kian
membabi buta.
Serangan itu sungguh dasyat bagi diriku yang tidak pernah
mengalami pertempuran, begitu juga buat warga di kawasan konflik yang
kemungkinan sudah bosan dengan penderitaan akibat peperangan.
Bagiku, peperangan adalah hal yang menakutkan karena
pasti akan terjadi kesengsaraan dan penderitaan.
Tubuh kami yang tengkurap di kerasnya tanah kering
tiba-tiba terpental ketika rudal balestik meluncur dengan deras dan menghantam
sebuah gedung tidak jauh dari keberadaanku dan Robert. Kami kembali bergulingan
dengan dada seperti hendak pecah. Telingaku pekak oleh dentuman rudal dan
bangunan yang roboh.
Aku menoleh, Robert sepertinya mengerang menahan sakit
akibat kepalanya terbentur sisa tembok yang setengah berdiri.
Tubuhku lemas, nafasku tidak beraturan saat hantaman
rudal yang di susul renteten tembakan ke arah kami.
“Ya Allah, akankah hidupku sampai di sini?!”
Seketika Aku pasrah dengan apa yang selanjutnya akan
terjadi. Satu peleton pasukan bersenjata lengkap merangsek ke arahku dan
Robert. Di atas sana, deru helikopter serbu dan jet tempur meraung-raung tiada
henti.
‘Booommm’ satu bom dijatuhkan dan menghantam perkampungan
yang tadi kami singgahi. Bermacam benda terpental ke atas bersama percikan api
dan debu yang pekat. Gedung itu roboh, api membakarnya, asap hitam membumbung
tinggi seakan hendak mengabarkan pada
langit bahwa bumi Somalia sedang menangis
oleh hajaran rudal dan bom.
Sinar matahari semakin tenggelam dan menyisakan sedikit
cahaya lembayung di sebelah barat Somalia, kemudian langit benar-benar gelap.
Tanganku memegangi dada, terasa sesak. Sementara Robert
tampak kesakitan karena kaki kanannya terserempet peluru yang diarahkan ke
tempat kami. Untung, pasukan itu tidak mengetahui kalau kami masih hidup dari serbuan
mereka.
Menjelang malam, kami melangkah tertatih menjauh dari
medan pertempuran dengan mengendap. Kami berhasil menerobos barikade pasukan
yang berjaga walaupun pakaian dan kulit terkoyak.
Pertempuran itu, perang saudara itu telah membuat
sengsara banyak orang. Somalia yang dulu damai sekarang penuh gejolak.
Perebutan wilayah kekuasaan telah membutakan mata hati dan akal pikiran
sehingga kesombongan berdiri angkuh menggelorakan amarah untuk kesengsaraan
atas kebiadaban.
Robert terisak, dia menatap kosong ke langit; “Kenapa
perang saudara ini harus terjadi, kenapa...?!!!”
Suaranya parau di tengah gemeretak sisa bangunan yang
roboh. Robert tidak mengerti kenapa perang saudara di negerinya terus berlanjut
dan memakan banyak jiwa? Aku hanya bisa menunduk prihatin.
Berulang kali penduduk Somalia menangis dalam derita.
Berulang kali mereka berpindah tempat untuk keselamatan nyawa, tapi tetap saja
tajam peluru memburunya.
Keesokan harinya, kami tertatih dalam letih menyusuri
perkampungan yang telah porak-poranda. Hati kecilku menjerit melihat ratusan
jasad terkapar dengan sisa darah mengering.
Kami berdiri menatap hamparan mayat-mayat itu, bau amis
tak terkira menebar ke seantero wilayah Somalia. Tubuh-tubuh kaku mereka mulai
dihampiri lalat untuk berdansa, mungkin sebentar lagi cengkeraman gagak
akan mengoyak jasad-jasad itu.
Robert menepuk pundakku; “Beginilah Somalia, tak pernah
berhenti dari pertumpahan darah.”
Aku mendongak, sekumpulan burung gagak menukik menghampiri
jasad tak bernyawa. ‘Booom!!!’ peperangan meletus lagi. (*)
0 Response to "Cengkeraman Gagak di Somalia"
Posting Komentar