Prahara di Puncak
Gunung Dua Angsa.
Sinar matahari
baru saja menyembul di balik Gunung Dua Angsa ketika lima anak manusia saling
berpandangan di dekat bibir sebuah jurang. Semalaman mereka melakukan
perjalanan menyusuri jalan setapak menuju sebuah gunung yang masih jauh
keberadaannya.
Lugina, Wijaya,
Purbasari, Renita dan Vivi, lima orang yang sudah terbiasa melakukan pendakian
ke beberapa puncak gunung. Mereka berlima adalah pecinta alam asal daerah
Winangun di seberang sana.
“Kita berhenti
dulu,” suara dari salah seorang berperawakan kekar. Serentak keempat yang
lainnya menghentikan langkah, mereka memandang ke sekitar, remang alam dengan
harumnya embun tampak membias di wajah kelima orang tadi. Mereka duduk
menyelonjorkan kaki.
“Aku jadi
teringat saat-saat itu di sini,” bisik Wijaya pada Vivi, namun gadis itu hanya
mengulaskan senyum dengan menatap laki-laki di dekatnya.
“Bagaimana ini
teman-teman? Sebelum tengah hari kita harus sudah sampai di puncak lho,” Lugina
berdiri dan melemparkan pandangan seraya menyapu ke perbukitan. Satu helaan
nafas kemudian menghantarkan lelaki ketua regu ini pada kenangan dimana saat
itu dirinya bersama seorang gadis di puncak Gunung Dua Angsa.
“Maksud kamu Lug?
Ehmm kita lanjutkan saja sekarang ya kawan-kawan,” timpal Wijaya, sementara
Renita, Purbasari dan Vivi mengangguk kecil.
Mereka berkemas
untuk melanjutkan perjalanan ke puncak gunung setelah dirasa tubuhnya kembali
segar. Sebentar Purbasari memandang rerumputan yang tadi di dudukinya, rumput
itu acak-acakan. Sambil bergumam ‘maafkan Aku’ dalam hati, Purbasari
melangkahkan kaki mengikuti keempat sahabatnya.
“Kelak Aku akan
di sisihmu Wan,” lirih suara Purbasari yang sepertinya juga mengingat
seseorang.
Kelima muda-mudi
tadi berjalan untuk segera sampai di puncak gunung dua angsa. Menjelang tengah
hari regu pecinta alam tersebut sudah mendekati puncak dan mereka mempercepat
langkahnya walau keletihan kembali dirasakan.
Saat matahari
sedikit lengser ke barat, para pendaki itu sudah berada di Puncak Gunung Dua
Angsa. Kabut putih bergumpal menyelimuti puncak gunung membuat hawa terasa
dingin meski sudah tengah hari.
Lugina berdiri
tegak di pinggir kawah, tatapannya tajam menyapu hamparan air belerang yang
berasap. Begitu juga dengan keempat sahabatnya, mereka juga memandangi hamparan
kawah.
“Ada apa Sari?”
suara Renita.
“Tidak ada
apa-apa kok Ren. Kita ke sana yuk,” ajaknya Purbasari.
“Eeeehh, pada mau
kemana? Jangan jauh-jauh dari kita lho Ren, Purbasari,” ujar Wijaya.
Purbasari dan
Renita menjauh dari rombongan, mereka lebih memilih ke sisi lain untuk
menikmati indahnya Gunung Dua Angsa. Sementara itu dari kejauhan terlihat
beberapa orang laki-laki berjalan ke arah Purbasari dan Renita.
“Siapa mereka?”
“Entahlah Ren,”
Orang-orang itu
kian mendekat kearah dua gadis yang terus memperhatikannya.
“Selamat siang,
Anda juga pendaki?” tanyanya seorang lelaki.
“I..iya, kenapa?”
“Tidak
kenapa-kenapa. Mana teman kalian yang lain?"
Rombongan
laki-laki yang berjumlah ada 6 orang dan mendekat ketempat Purbasari dan Renita
tadi rupanya terkesima oleh kecantikan dua gadis di hadapannya. Mereka dengan
sangat lihai langsung menebar keakraban terhadap dua wanita itu.
Purbasari dan
Renita sedikit beringsut tatkala dua dari keenam lelaki tadi duduk mendekat di
sampingnya, sementara yang empat lainnya tersenyum nyinyir.
Pertanyaan ringan
dilontarkan oleh kedua lelaki itu kepada Purbasari dan Renita yang selanjutnya
dijawab dengan ala kadarnya. Rupanya, mereka berenam juga baru sampai di puncak
Dua Angsa setelah hampir dua hari mendaki dari lintasan berbeda dengan yang
ditempuh oleh Purbasari dan kawan-kawan.
Perbincangan
seputar pendakian gunung selanjutnya terdengar dari mereka. Namun tiba-tiba
saja hal aneh dialami oleh Purbasari dan Renita setelah salah seorang dari
lelaki itu menyalakan batang rokok dan meniupkan ke arah gadis-gadis tersebut
berulangkali.
"Kenapa
kepalaku jadi pusing seperti ini?"
“Kepakau pusing
Ren,”
Pandangan matanya
berkunang-kunang, tubuh Purbasari dan Renita tampak sedikit limbung sebelum
benar-benar ambruk di atas rerumputan. Melihat apa yang terjadi di depannya,
keenam lelaki itu kemudian tersenyum.
Tubuh kedua gadis
tadi dibopongnya ke semak-semak. Tak dinyana... Purbasari dan Renita mengalami
hal buruk yang tidak pernah diharapkan. Keenam lelaki itu dengan buasnya bergantian
menggagahi tubuh-tubuh wanita cantik yang kini nyaris telanjang.
Mereka melenguh
dengan nafas berpacu bersama nafsu. Biadab! Ya, mereka telah menodai Purbasari
dan Renita di semak tersebut. Dengan tidak merasa berdosa mereka meninggalkan
dua tubuh yang masih lunglai dan terpejam.
“Pada kemana ini Purbasari
dan Renita? Kok mereka belum kembali kesini,”
Rasa cemas
menghampiri Lugina yang sebagai ketua rombongan pendakian. Mereka lantas
memutuskan untuk mencari kedua teman yang sudah dua jam tidak terlihat batang
hidungnya.
Betapa
terkejutnya Lugina, Wijaya serta Vivi saat mendapatkan tubuh Purbasari dan
Renita yang membujur nyaris telanjang di semak itu.
“Apa yang telah
terjadi dengan kalian? Purbasari, Renita.”
Mereka
mengguncang tubuh kedua temannya yang terbaring. Purbasari dan Renita siuman
setelah Vivi mengoleskan minyak angin di hidung mereka.
Purbasari dan
Renita tampak kebingungan dengan apa yang telah terjadi, mereka hanya ingat
bahwa tadi ada enam lelaki yang mengajaknya mengobrol, setelah itu semuanya
terasa gelap.
Sebagai ketua
rombongan pendakian Lugina sangat merasa bersalah karena telah mebiarkan kedua
temannya itu pergi dari pengawasannya saat di tepi kawah gunung.
Dada Lugina dan
Wijaya mengeras seketika saat desir kemarahan mengalir. Mereka sangat tidak
rela dengan yang terjadi pada Purbasari dan Renita, begitu juga pada Vivi yang
mengepalkan tangan karena melihat kedua sahabatnya telah dinodai kegadisannya.
Purbasari dan
Renita menunduk, wajahnya dalam-dalam menghadap tanah dan rerumputan. Dari
sudut kelopak mata mereka mengalir butiran air bening yang dibarengi kekesalan,
kekecewaan serta amarah.
Seketika pekikan
membahana menghantam dinding-dinding jiwa yang tersakiti, Purbasari dan Renita
meradang dalam seribu umpatan kepada enam lelaki itu dan nasibnya.
Lugina, Wijata,
Vivi, mereka terdiam dan hatinya saling menyalahkan. Kejadian ini semakin
mencabik jiwanya Purbasari dan Renita. Prahara itu terjadi di Puncak Gunung Dua
Angsa setahun yang lalu. (*)
0 Response to "Prahara di Puncak Gunung Dua Angsa"
Posting Komentar