"Huh! Percuma saja tadi aku mandi kalau sekarang sudah berlumuran peluh. Dasar tikus tidak pernah disekolahin. Cuci muka dulu ah," Aku menuju ke kamar mandi. Setelah membasuh muka, berganti pakaian dan sedikit menyemprotkan parfum. Aku langsung ngacir ketempat penjual kabel.
Dalam perjalanan ke toko penjual kabel, aku selalu terbayang wajahnya Dewi. Sampa-sampai ada lubang di tengah jalan pun tidak kulihat. 'Gubraaak!" roda melindas lubang yang cukup lebar namun tidak terlalu dalam. Stang sepeda motor jadi oleng. Hampir saja aku terjatuh kalau tidak sigap menjaga keseimbangan sepeda motor.
"Innalillahi Wa'innaillahi Rojj'un. Hampir saja!" Aku memperlambat laju sepeda motor butut yang aku naiki. Aku berhenti dipinggir jalan. Aku turun dan kuperiksa rodanya. Ternyata pelek roda agak bengkok.
"Waduh, pelek rodanya jadi seperti ini. Pantesan saja jalannya terasa lain. Njendil-njendil. Hufff, bakal dimarahi bapak ini kalau tau," Aku terdiam sebentar. Aku terus mengamati roda depan sepeda motor butut yang kunaiki. Ingin aku membetulkannya dengan pijitan jariku kalau saja pelek rodanya tidak keras karena terbuat dari besi.
Akhirnya aku melanjutkan berjalan. Meski laju roda berbeda dari yang tadi.
Setelah beberapa menit kemudian, aku sampai di depan toko tersebut.
Aku memandang kedalam toko. Terlihat cewek bernama Dewi Saraswati itu juga memandangku.
Aku melangkah ke toko itu dengan perasaan berdebar. Aku seka wajahku dengan telapak tanganku, karena keringat yang serasa lengket tidak mengenakkan tersebut.
Kulihat, tiba-tiba Dewi seperti menahan tawa. 'Ada apa dengan dia?' kataku dalam hati.
"Anu mbak, aku mau beli kabel. Ada?" Kataku.
"Ada. Kabel yang apa," Jawabnya. Dia malah menutupkan telapak tangan pada mulutnya. 'Aneh' gumamku.
"Kabel yang biasa saja," Kataku dengan masih merasa heran atas apa yang Dewi lakukan tadi.
"Berapa meter mas?"
"Emmm, 10 meter deh. Satu meternya berapa mbak," Kataku.
"Satu meternya 1.500, yang ini kan mas,"
"Sebentar mbak," Aku menghitung, 1.500 x 10 = 15.000,- sedangkan uang yang tadi ibu berikan adalah 10.000,-
'Waduh, aku tombok 5.000,- dong' kataku lirih.
"Bagaimana mas? Jadi tidak,"
"I..iya mbak.
Eh, kenapa kamu senyum-senyum sedari tadi? Ada apa,"
"Tidak ada apa-apa. Lucu saja," Kata dia. Lantas cewek itu mengukur kabel yang kubeli.
"Lucu? Maksudmu mbak," Aku penasaran.
"Ini mas kabelnya. Jangan seperti kemarin ya," Dewi memberikan kabel yang sudah dipotongnya dan dibungkus potongan kertas koran, lalu dimasukkan ke dalam tas plastik kecil warna merah.
"Hehee, tidaklah mbak. Ini uangnya,"
"Sebentar ya kembaliannya," Ujar Dewi setelah menerima uang yang aku sodorkan. Aku lihat dia masih senyum-senyum dan terkekeh pelan. Aku menjadi bingung karenanya.
"Kamu kenapa mbak? Kok senyum-senyum terus. Apa ada yang aneh pada diriku?!"
"Itu wajahmu," Kata dia.
"Wajahku? Ada apa dengan wajahku," Ku usap wajahku. Aku bercermin pada kaca di hadapanku. 'Busyet kutu kupret!' ternyata wajahku coreng moreng yang mungkin oleh debu ban sepeda motor, karena tadi aku menyeka wajah tanpa mengelap tangan saat memeriksa roda tadi.
Melihat aku kaget, Dewi malah tertawa. Saat itu aku jadi tersipu. Aku jadi malu, cepat-cepat aku mengusap wajahku memakai kaosku. Aku pamit pada Dewi dan langsung membalikkan badan bermaksud mau pulang. Namun Dewi memanggilku.
"Mas mas Joni. Ini uang kembaliannya," Kata dia.
"Iya mbak," Aku kemudian menerima uang tadi. Mungkin karena rasa maluku, aku jadi sedikit kikuk. Hal itu membuatku memegang tangannya tanpa sadar. Aku diam, dia juga diam.
Kami saling pandang, lalu aku menarik tanganku.
"Kenapa mas,"
"Emmm, tidak. Aku pulang ya," Kataku.
"Ini uangnya, kok ditinggal. Lagian kenapa buru-buru pulang mas,"
"I..iya," Aku mengambil uang kembalian 5.000,- yang dia sodorkan.
"Disini dulu mas, jangan pulang. Temani aku," Suara Dewi Saraswati itu seakan membuatku terpaku. Aku memandangnya tajam, seakan tidak percaya dengan apa yang barusan dia ucapkan.
"Kok menemanimu? Bukankah kamu sudah ada temannya,"
"Tidak ada mas," Ujarnya.
"Lha cowok yang biasanya disini itu?" Tanyaku.
"Dia lagi keluar tadi. Lama sekali dia keluarnya.
Temani aku ya mas," Aku melongok memeriksa apa benar kata dia, dan memang sejak tadi aku tidak melihat cowok yang kemarin menemani Dewi di dalam toko.
"Tapi mbak, aku takut nanti ada yang salah sangka padaku,"
"Salah sangka bagaimana? Kita kan tidak melakukan apa-apa, lagian aku disini dan kamu disitu, iya kan?
Eh mas, kamu orang mana?" Kemudian dia menanyakan alamatku. Dengan perasaan yang tidak kumengerti, aku memberikan tahu tempat tinggalku pada cewek di depanku. Bahkan kami saling bertukar nomer handphone.
Cewek pelayan toko bernama Dewi Saraswati itu ternyata seorang yang supel. Dia sangat enak dalam mengobrol, hingga aku pun larut dalam percakapan dengannya.
Tidak terasa, hampir satu jam aku berbincang dengan Dewi. Aku kemudian pamit pada dia, karena kulihat datang cowok yang biasanya menemani Dewi dalam toko tersebut.
"Terima kasih ya mbak. Aku pulang dulu, permisi," Kataku. Dia mengangguk kecil. Aku langsung memutar badan untuk selanjutnya pulang ke rumah.
Dalam benakku berkata 'Apakah ini awal dari perasaanku kepada dia?'.
(Bersambung).
Dalam perjalanan ke toko penjual kabel, aku selalu terbayang wajahnya Dewi. Sampa-sampai ada lubang di tengah jalan pun tidak kulihat. 'Gubraaak!" roda melindas lubang yang cukup lebar namun tidak terlalu dalam. Stang sepeda motor jadi oleng. Hampir saja aku terjatuh kalau tidak sigap menjaga keseimbangan sepeda motor.
"Innalillahi Wa'innaillahi Rojj'un. Hampir saja!" Aku memperlambat laju sepeda motor butut yang aku naiki. Aku berhenti dipinggir jalan. Aku turun dan kuperiksa rodanya. Ternyata pelek roda agak bengkok.
"Waduh, pelek rodanya jadi seperti ini. Pantesan saja jalannya terasa lain. Njendil-njendil. Hufff, bakal dimarahi bapak ini kalau tau," Aku terdiam sebentar. Aku terus mengamati roda depan sepeda motor butut yang kunaiki. Ingin aku membetulkannya dengan pijitan jariku kalau saja pelek rodanya tidak keras karena terbuat dari besi.
Akhirnya aku melanjutkan berjalan. Meski laju roda berbeda dari yang tadi.
Setelah beberapa menit kemudian, aku sampai di depan toko tersebut.
Aku memandang kedalam toko. Terlihat cewek bernama Dewi Saraswati itu juga memandangku.
Aku melangkah ke toko itu dengan perasaan berdebar. Aku seka wajahku dengan telapak tanganku, karena keringat yang serasa lengket tidak mengenakkan tersebut.
Kulihat, tiba-tiba Dewi seperti menahan tawa. 'Ada apa dengan dia?' kataku dalam hati.
"Anu mbak, aku mau beli kabel. Ada?" Kataku.
"Ada. Kabel yang apa," Jawabnya. Dia malah menutupkan telapak tangan pada mulutnya. 'Aneh' gumamku.
"Kabel yang biasa saja," Kataku dengan masih merasa heran atas apa yang Dewi lakukan tadi.
"Berapa meter mas?"
"Emmm, 10 meter deh. Satu meternya berapa mbak," Kataku.
"Satu meternya 1.500, yang ini kan mas,"
"Sebentar mbak," Aku menghitung, 1.500 x 10 = 15.000,- sedangkan uang yang tadi ibu berikan adalah 10.000,-
'Waduh, aku tombok 5.000,- dong' kataku lirih.
"Bagaimana mas? Jadi tidak,"
"I..iya mbak.
Eh, kenapa kamu senyum-senyum sedari tadi? Ada apa,"
"Tidak ada apa-apa. Lucu saja," Kata dia. Lantas cewek itu mengukur kabel yang kubeli.
"Lucu? Maksudmu mbak," Aku penasaran.
"Ini mas kabelnya. Jangan seperti kemarin ya," Dewi memberikan kabel yang sudah dipotongnya dan dibungkus potongan kertas koran, lalu dimasukkan ke dalam tas plastik kecil warna merah.
"Hehee, tidaklah mbak. Ini uangnya,"
"Sebentar ya kembaliannya," Ujar Dewi setelah menerima uang yang aku sodorkan. Aku lihat dia masih senyum-senyum dan terkekeh pelan. Aku menjadi bingung karenanya.
"Kamu kenapa mbak? Kok senyum-senyum terus. Apa ada yang aneh pada diriku?!"
"Itu wajahmu," Kata dia.
"Wajahku? Ada apa dengan wajahku," Ku usap wajahku. Aku bercermin pada kaca di hadapanku. 'Busyet kutu kupret!' ternyata wajahku coreng moreng yang mungkin oleh debu ban sepeda motor, karena tadi aku menyeka wajah tanpa mengelap tangan saat memeriksa roda tadi.
Melihat aku kaget, Dewi malah tertawa. Saat itu aku jadi tersipu. Aku jadi malu, cepat-cepat aku mengusap wajahku memakai kaosku. Aku pamit pada Dewi dan langsung membalikkan badan bermaksud mau pulang. Namun Dewi memanggilku.
"Mas mas Joni. Ini uang kembaliannya," Kata dia.
"Iya mbak," Aku kemudian menerima uang tadi. Mungkin karena rasa maluku, aku jadi sedikit kikuk. Hal itu membuatku memegang tangannya tanpa sadar. Aku diam, dia juga diam.
Kami saling pandang, lalu aku menarik tanganku.
"Kenapa mas,"
"Emmm, tidak. Aku pulang ya," Kataku.
"Ini uangnya, kok ditinggal. Lagian kenapa buru-buru pulang mas,"
"I..iya," Aku mengambil uang kembalian 5.000,- yang dia sodorkan.
"Disini dulu mas, jangan pulang. Temani aku," Suara Dewi Saraswati itu seakan membuatku terpaku. Aku memandangnya tajam, seakan tidak percaya dengan apa yang barusan dia ucapkan.
"Kok menemanimu? Bukankah kamu sudah ada temannya,"
"Tidak ada mas," Ujarnya.
"Lha cowok yang biasanya disini itu?" Tanyaku.
"Dia lagi keluar tadi. Lama sekali dia keluarnya.
Temani aku ya mas," Aku melongok memeriksa apa benar kata dia, dan memang sejak tadi aku tidak melihat cowok yang kemarin menemani Dewi di dalam toko.
"Tapi mbak, aku takut nanti ada yang salah sangka padaku,"
"Salah sangka bagaimana? Kita kan tidak melakukan apa-apa, lagian aku disini dan kamu disitu, iya kan?
Eh mas, kamu orang mana?" Kemudian dia menanyakan alamatku. Dengan perasaan yang tidak kumengerti, aku memberikan tahu tempat tinggalku pada cewek di depanku. Bahkan kami saling bertukar nomer handphone.
Cewek pelayan toko bernama Dewi Saraswati itu ternyata seorang yang supel. Dia sangat enak dalam mengobrol, hingga aku pun larut dalam percakapan dengannya.
Tidak terasa, hampir satu jam aku berbincang dengan Dewi. Aku kemudian pamit pada dia, karena kulihat datang cowok yang biasanya menemani Dewi dalam toko tersebut.
"Terima kasih ya mbak. Aku pulang dulu, permisi," Kataku. Dia mengangguk kecil. Aku langsung memutar badan untuk selanjutnya pulang ke rumah.
Dalam benakku berkata 'Apakah ini awal dari perasaanku kepada dia?'.
(Bersambung).
0 Response to "Dia Cinta.. Dia Cinta.. Aku Mabuk! Episode 4"
Posting Komentar