Malam itu suasana hatiku berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Aku merasakan kegelisahan atas diri Dewi, cewek pelayan toko elektronik.
Aku memandangi secangkir teh yang tadi kubikin, kini isinya yang tinggal setetes.
Aku raih cangkir tersebut dan bergegas menuju ruang dapur. Sejurus kemudian aku meracik minuman jahe. Ya.. minuman jahe untuk menghangatkan tubuhku, karena memang malam itu terasa dingin.
Setelah minuman jahenya jadi, aku pun masuk ke dalam kamar. Aku timang-timang hp jaman dulu yang kupunya. Aku bingung harus ngapain, karena walau ada hp pun aku tidak punya teman yang bisa aku ajak ber-sms atau telpon-telponan. Praktis pulsa pun tidak berkurang.
Aku menghela nafas pelan. Aku mendekat kearah jendela kamar.
Kubuka berlahan tirai jendela yang sudah dari tadi sore menutupi kaca.
Pandanganku menerawang keluar rumah, sepi.
Ruas jalan yang biasanya masih ramai oleh lalu lalang orang, kulihat sepi dan sunyi.
Sementara itu, langit tampak gelap tanpa sinar bulan dan bintang, karena awan mendung yang bergelayut di ruangnya.
"Apakah akan hujan malam ini," Gumamku, saat kulihat ada kilatan di jauhan sana.
Sekali lagi pandanganku memeriksa jalan dipinggir rumah, namun tetap sepi.
Aku beringsut dari jendela kamar. Aku duduk ditepian ranjang yang sering berderit, karena memang ranjang tempat tidurku sudah berumur tua. Kata ibuku, ranjang itu ada sebelum aku lahir. Sementara sekarang umurku sudah menginjak 23 tahun.
"Minum wedang jahe dulu ah," Kataku lirih diujung bibir.
Rasa hangat dan nikmat dapat aku rasakan dari minuman buatanku. Meskipun jahenya tidak aku bakar dulu alias jahe mentah. Namun tidak mengurangi rasa nikmat akan minuman tersebut.
"Dewi Saraswati. Kenapa aku teringat kamu terus? Bukankah kita baru sekali bertemu.
Oh.. apakah aku telah jatuh hati padamu? Ah tidak. Aku belum mau bercinta, karena masih ada banyak impian yang harus aku gapai.
Aku tidak ingin gagal dalam meraih impian itu karena terganggu oleh percintaan. Tapi...," Aku berbaring di ranjang. Kedua mataku menatap langit-langit kamar yang sepertinya minta di benahi, karena disana sini tripleknya sudah pada mengelupas.
Kembali bayang wajahnya bermain di pelupuk mataku. Aku pejamkan kedua mata, dengan harapan agar lekas hilang bayang itu. Namun, semakin dalam aku memejamkan mata, malah semakin merasuk desir rasa kedalam jiwa.
Malam itu, aku terus diliputi rasa aneh menurutku terhadap Dewi Saraswati, cewek cantik dan sexy, pelayan toko elektronik yang aku kenal tadi siang saat membeli kipas angin.
Aku bangkit dari berbaringku. Aku sambar cangkir wedhang jahe tadi. Sruput, beberapa kali kuteguk, hingga semakin melotot kedua bola mataku.
Aku terdiam, terlintas di benakku untuk menulis surat buat Dewi Saraswati. Tanpa menunggu lama, kertas dan pena pun aku ambil.
Dengan terlebih dulu menarik nafas dalam-dalam, aku guratkan pena pada kertas putih tersebut.
Satu baris kalimat sudah aku tulis, namun aku hentikan sejenak karena ada yang kurang pas dalam kata-kata yang aku tuangkan.
Berulang kali aku ulangi menulis, tapi tetap saja tulisannya tidak jadi karena kurang pas menurutku, hingga akhirnya aku putuskan untuk tidur karena sudah larut malam.
*
Pagi telah tiba. Seperti biasa, aku mengantar ibu ke pasar guna berjualan sayuran yang kami beli dari petani di kampung dan sekitar.
Setelah sampai di pasar, aku tidak lantas pulang ke rumah, karena hal itu akan melelahkan dan membuat boros bahan bakar kendaraan yang memang sudah tua. Sebenarnya bisa saja ibu aku tinggal dan beliau pulangnya naik ojek. Tapi hal itu malah akan membengkakkan pengeluaran. Jadinya aku putuskan untuk tidak pulang duluan, lagian kan bisa membantu ibu berjualan di dalam pasar, kata hatiku waktu itu.
"Beli bayamnya bu, 5 ikat," Suara seorang ibu muda pada ibuku.
"Iya bu. Joni, tolong kamu buka bayam dalam kantong itu. Jangan melamun saja!" Suara ibu yang lagi sibuk melayani pembeli.
"I..iya bu," Bergegas kubuka tas plastik besar yang berisi sayur bayam. Lantas kutaruh bayam tadi di tempat biasanya.
"Silahkan dipilih sendiri bu bayamnya," Kata ibu pada pembeli. Ibu muda yang mau membeli pun dengan sigapnya memilih ikatan-ikatan bayam tersebut.
Aku mengulas senyum tipis ketika ibu muda tadi melirik kearahku.
"Tambah apa lagi ibu," Tanyaku pada ibu muda itu.
"Cukup ini saja mas.
Dia ganteng ya dik," Kudengar lirih, ibu muda itu berbicara pada cewek disampingnya. Dia mengatakan 'ganteng'2a yang mungkin ditujukan padaku.
Bukan aku kePeDean, tapi memang hanya aku cowok yang berada ditempat itu. Cewek disamping ibu muda itu kulihat mengangguk.
"Ini bayamnya," Aku memberikan sayur bayam yang sudah aku masukkan ke kantong plastik berwarna merah.
"Terima kasih. Berapa mas,"Tanya ibu muda itu kepadaku.
"Berapa bu? 5 ikat bayam," Aku bertanya pada ibuku.
"7.500," Jawab ibuku dengan cepat. Ibu muda itu lantas memberikan uang sepuluh ribuan padaku. Aku pun dengan cepat memberikan kembaliannya.
Entahlah, biasanya orang akan bilang 'kok mahal' kalau ibu memberikan harga 1.500 untuk satu ikat kecil sayuran bayam. Namun ibu muda tadi diam saja. Mungkin karena melihatku kali.. hehee.
"Oh anu mas. Ini dikasih sayur ini saja. Emmm, terong ini," Ibu muda itu memberikan uang kembalian tadi padaku dan minta diganti dengan sayuran terong warna ungu.
Aku mengangguk, dengan cepat kumasukkan 3 terong ungu berukuran sedang ke plastik tempat bayam tadi.
"Joni. Oh ya sudah," Ibuku melirik ke arah tas plastik kepunyaan ibu muda. Kukira aku salah memberikan 3 terong tadi, eh ternyata tidak.
Ibu muda dan cewek disampingnya tersenyum padaku sebelum mereka beranjak dari tempat kami berjualan. Aku pun tersenyum semanis mungkin pada mereka, dengan harapan agar mereka kembali berbelanja ditempat kami nanti.
Begitulah kegiatan yang aku lakukan setiap pagi setelah aku lulus sekolah. Mengantar ibu ke pasar, ikut berjualan, pulang ke rumah, istirahat, main sebentar, sorenya menggantikan ibu menjaga warung hingga waktu maghrib.
Aku lebih memilih menjaga warung saat sore, karena pada sore hari biasanya kegiatan kewanitaan di kampungku dilakukan pada sore hari. Yakni kegiatan seperti arisan, pengajian dan lain sebagainya. Lagian kalau sore hari, banyak cewek-cewek muda yang mampir ke warung untuk berbelanja, hikhikhiik.
Sementara ini aku bisa menikmati kegiatanku dalam keseharian karena memang aku belum punya pekerjaan. Entah besok atau lusa, aku pasti menemukan apa yang ku impikan.
**
Sesampainya pulang dari pasar, aku terus mandi biar badan terasa segar dan tidak mengantuk, pikirku. Aku langsung mengguyur tubuhku dengan air sumur yang ku timba, karena memang di rumahku tidak ada peralatan pompa air.
Biasa.., sebagai cowok yang belum memikirkan cinta, aku pun mandi dengan cepat alias tidak berlama-lama dengan busa sabun. Kalau aku berlama-lama di kamar mandi, nanti bisa disangka lagi ngapain kan Coy?! Hehee.
"Joni..., kamu dimana?" Sepertinya suara ibu lagi mencariku.
"Aku lagi mandi bu,"
"Ya sudah," Kata ibuku. Aku keluar dari kamar mandi, karena memang sudah selesai mandinya.
Setelah mengenakan pakaian, aku kemudian menemui ibu.
"Ada apa bu?" Tanyaku pada ibu.
"Ini kipasnya kok tidak mau menyala?" Kata ibu.
"Masa sih," Kemudian aku mencoba menyalakan kipas itu, tapi memang benar, kipas tidak mau menyala. Apa mungkin rusak? gumamku.
Setelah berulang kali kupencet-pencet tombolnya dan tidak mau menyala juga, akhirnya aku diamkan saja.
"Kamu ini bagaimana sih Joni! Masa kipas baru kemarin dibeli, sekarang sudah rusak. Huh!" Ibuku tampak sewot. Beliau kemudian menyalakan televisi, tapi televisi itu tidak menyala.
"Kenapa televisinya tidak menyala bu? Apa listriknya mati,"
"Tapi di warung tidak mati kok," Sahut ibu. Aku terdiam, kemudian aku cek lampu di kamarku, lampunya menyala.
"Hemm, pasti ini ada kabelnya yang tidak beres," Kataku lirih. Aku pun mencari kabel yang kurasa ada masalah dengan terlebih dulu melepas sekering dan meng-offkan meteran listrik.
Aku mengambil tangga, aku menelusuri kabel yang menuju ke terminal listrik untuk televisi. Benar saja, aku menemukan kabel tersebut sudah putus akibat gigitan tikus mungkin.
"Huh, dasar tikus. Aku sudah mandi, jadi belepotan keringat seperti ini, mana kabelnya pada mengelupas!" Aku segera turun dan menemui ibu.
"Bu, di atas kabelnya pada mengelupas, putus digigit tikus. Ada kabel yang lain tidak?" Kataku pada ibu.
"Ya mana aku tau. Kalau tidak ada kabelnya, ya kamu beli sana,"
"Uangnya?" Aku menengadahkan telapak tangan pada ibu. Sebentar kemudian ibu memberikan sejumlah uang padaku.
"Cukup tidak cukup, uangnya cuma itu," Sepertinya ibu tau kalau aku bakal minta tambahan uang.
"Iya iya.., hikhikhiik," Aku malah cengengesan.
Aku terdiam sejenak, lantas timbul dalam pikiranku untuk membeli kabel di toko elektronik kemarin.
Entahlah, aku malah seperti kegirangan. Mungkin karena akan bertemu Dewi Saraswati disana.
(Bersambung).
Aku memandangi secangkir teh yang tadi kubikin, kini isinya yang tinggal setetes.
Aku raih cangkir tersebut dan bergegas menuju ruang dapur. Sejurus kemudian aku meracik minuman jahe. Ya.. minuman jahe untuk menghangatkan tubuhku, karena memang malam itu terasa dingin.
Setelah minuman jahenya jadi, aku pun masuk ke dalam kamar. Aku timang-timang hp jaman dulu yang kupunya. Aku bingung harus ngapain, karena walau ada hp pun aku tidak punya teman yang bisa aku ajak ber-sms atau telpon-telponan. Praktis pulsa pun tidak berkurang.
Aku menghela nafas pelan. Aku mendekat kearah jendela kamar.
Kubuka berlahan tirai jendela yang sudah dari tadi sore menutupi kaca.
Pandanganku menerawang keluar rumah, sepi.
Ruas jalan yang biasanya masih ramai oleh lalu lalang orang, kulihat sepi dan sunyi.
Sementara itu, langit tampak gelap tanpa sinar bulan dan bintang, karena awan mendung yang bergelayut di ruangnya.
"Apakah akan hujan malam ini," Gumamku, saat kulihat ada kilatan di jauhan sana.
Sekali lagi pandanganku memeriksa jalan dipinggir rumah, namun tetap sepi.
Aku beringsut dari jendela kamar. Aku duduk ditepian ranjang yang sering berderit, karena memang ranjang tempat tidurku sudah berumur tua. Kata ibuku, ranjang itu ada sebelum aku lahir. Sementara sekarang umurku sudah menginjak 23 tahun.
"Minum wedang jahe dulu ah," Kataku lirih diujung bibir.
Rasa hangat dan nikmat dapat aku rasakan dari minuman buatanku. Meskipun jahenya tidak aku bakar dulu alias jahe mentah. Namun tidak mengurangi rasa nikmat akan minuman tersebut.
"Dewi Saraswati. Kenapa aku teringat kamu terus? Bukankah kita baru sekali bertemu.
Oh.. apakah aku telah jatuh hati padamu? Ah tidak. Aku belum mau bercinta, karena masih ada banyak impian yang harus aku gapai.
Aku tidak ingin gagal dalam meraih impian itu karena terganggu oleh percintaan. Tapi...," Aku berbaring di ranjang. Kedua mataku menatap langit-langit kamar yang sepertinya minta di benahi, karena disana sini tripleknya sudah pada mengelupas.
Kembali bayang wajahnya bermain di pelupuk mataku. Aku pejamkan kedua mata, dengan harapan agar lekas hilang bayang itu. Namun, semakin dalam aku memejamkan mata, malah semakin merasuk desir rasa kedalam jiwa.
Malam itu, aku terus diliputi rasa aneh menurutku terhadap Dewi Saraswati, cewek cantik dan sexy, pelayan toko elektronik yang aku kenal tadi siang saat membeli kipas angin.
Aku bangkit dari berbaringku. Aku sambar cangkir wedhang jahe tadi. Sruput, beberapa kali kuteguk, hingga semakin melotot kedua bola mataku.
Aku terdiam, terlintas di benakku untuk menulis surat buat Dewi Saraswati. Tanpa menunggu lama, kertas dan pena pun aku ambil.
Dengan terlebih dulu menarik nafas dalam-dalam, aku guratkan pena pada kertas putih tersebut.
Satu baris kalimat sudah aku tulis, namun aku hentikan sejenak karena ada yang kurang pas dalam kata-kata yang aku tuangkan.
Berulang kali aku ulangi menulis, tapi tetap saja tulisannya tidak jadi karena kurang pas menurutku, hingga akhirnya aku putuskan untuk tidur karena sudah larut malam.
*
Pagi telah tiba. Seperti biasa, aku mengantar ibu ke pasar guna berjualan sayuran yang kami beli dari petani di kampung dan sekitar.
Setelah sampai di pasar, aku tidak lantas pulang ke rumah, karena hal itu akan melelahkan dan membuat boros bahan bakar kendaraan yang memang sudah tua. Sebenarnya bisa saja ibu aku tinggal dan beliau pulangnya naik ojek. Tapi hal itu malah akan membengkakkan pengeluaran. Jadinya aku putuskan untuk tidak pulang duluan, lagian kan bisa membantu ibu berjualan di dalam pasar, kata hatiku waktu itu.
"Beli bayamnya bu, 5 ikat," Suara seorang ibu muda pada ibuku.
"Iya bu. Joni, tolong kamu buka bayam dalam kantong itu. Jangan melamun saja!" Suara ibu yang lagi sibuk melayani pembeli.
"I..iya bu," Bergegas kubuka tas plastik besar yang berisi sayur bayam. Lantas kutaruh bayam tadi di tempat biasanya.
"Silahkan dipilih sendiri bu bayamnya," Kata ibu pada pembeli. Ibu muda yang mau membeli pun dengan sigapnya memilih ikatan-ikatan bayam tersebut.
Aku mengulas senyum tipis ketika ibu muda tadi melirik kearahku.
"Tambah apa lagi ibu," Tanyaku pada ibu muda itu.
"Cukup ini saja mas.
Dia ganteng ya dik," Kudengar lirih, ibu muda itu berbicara pada cewek disampingnya. Dia mengatakan 'ganteng'2a yang mungkin ditujukan padaku.
Bukan aku kePeDean, tapi memang hanya aku cowok yang berada ditempat itu. Cewek disamping ibu muda itu kulihat mengangguk.
"Ini bayamnya," Aku memberikan sayur bayam yang sudah aku masukkan ke kantong plastik berwarna merah.
"Terima kasih. Berapa mas,"Tanya ibu muda itu kepadaku.
"Berapa bu? 5 ikat bayam," Aku bertanya pada ibuku.
"7.500," Jawab ibuku dengan cepat. Ibu muda itu lantas memberikan uang sepuluh ribuan padaku. Aku pun dengan cepat memberikan kembaliannya.
Entahlah, biasanya orang akan bilang 'kok mahal' kalau ibu memberikan harga 1.500 untuk satu ikat kecil sayuran bayam. Namun ibu muda tadi diam saja. Mungkin karena melihatku kali.. hehee.
"Oh anu mas. Ini dikasih sayur ini saja. Emmm, terong ini," Ibu muda itu memberikan uang kembalian tadi padaku dan minta diganti dengan sayuran terong warna ungu.
Aku mengangguk, dengan cepat kumasukkan 3 terong ungu berukuran sedang ke plastik tempat bayam tadi.
"Joni. Oh ya sudah," Ibuku melirik ke arah tas plastik kepunyaan ibu muda. Kukira aku salah memberikan 3 terong tadi, eh ternyata tidak.
Ibu muda dan cewek disampingnya tersenyum padaku sebelum mereka beranjak dari tempat kami berjualan. Aku pun tersenyum semanis mungkin pada mereka, dengan harapan agar mereka kembali berbelanja ditempat kami nanti.
Begitulah kegiatan yang aku lakukan setiap pagi setelah aku lulus sekolah. Mengantar ibu ke pasar, ikut berjualan, pulang ke rumah, istirahat, main sebentar, sorenya menggantikan ibu menjaga warung hingga waktu maghrib.
Aku lebih memilih menjaga warung saat sore, karena pada sore hari biasanya kegiatan kewanitaan di kampungku dilakukan pada sore hari. Yakni kegiatan seperti arisan, pengajian dan lain sebagainya. Lagian kalau sore hari, banyak cewek-cewek muda yang mampir ke warung untuk berbelanja, hikhikhiik.
Sementara ini aku bisa menikmati kegiatanku dalam keseharian karena memang aku belum punya pekerjaan. Entah besok atau lusa, aku pasti menemukan apa yang ku impikan.
**
Sesampainya pulang dari pasar, aku terus mandi biar badan terasa segar dan tidak mengantuk, pikirku. Aku langsung mengguyur tubuhku dengan air sumur yang ku timba, karena memang di rumahku tidak ada peralatan pompa air.
Biasa.., sebagai cowok yang belum memikirkan cinta, aku pun mandi dengan cepat alias tidak berlama-lama dengan busa sabun. Kalau aku berlama-lama di kamar mandi, nanti bisa disangka lagi ngapain kan Coy?! Hehee.
"Joni..., kamu dimana?" Sepertinya suara ibu lagi mencariku.
"Aku lagi mandi bu,"
"Ya sudah," Kata ibuku. Aku keluar dari kamar mandi, karena memang sudah selesai mandinya.
Setelah mengenakan pakaian, aku kemudian menemui ibu.
"Ada apa bu?" Tanyaku pada ibu.
"Ini kipasnya kok tidak mau menyala?" Kata ibu.
"Masa sih," Kemudian aku mencoba menyalakan kipas itu, tapi memang benar, kipas tidak mau menyala. Apa mungkin rusak? gumamku.
Setelah berulang kali kupencet-pencet tombolnya dan tidak mau menyala juga, akhirnya aku diamkan saja.
"Kamu ini bagaimana sih Joni! Masa kipas baru kemarin dibeli, sekarang sudah rusak. Huh!" Ibuku tampak sewot. Beliau kemudian menyalakan televisi, tapi televisi itu tidak menyala.
"Kenapa televisinya tidak menyala bu? Apa listriknya mati,"
"Tapi di warung tidak mati kok," Sahut ibu. Aku terdiam, kemudian aku cek lampu di kamarku, lampunya menyala.
"Hemm, pasti ini ada kabelnya yang tidak beres," Kataku lirih. Aku pun mencari kabel yang kurasa ada masalah dengan terlebih dulu melepas sekering dan meng-offkan meteran listrik.
Aku mengambil tangga, aku menelusuri kabel yang menuju ke terminal listrik untuk televisi. Benar saja, aku menemukan kabel tersebut sudah putus akibat gigitan tikus mungkin.
"Huh, dasar tikus. Aku sudah mandi, jadi belepotan keringat seperti ini, mana kabelnya pada mengelupas!" Aku segera turun dan menemui ibu.
"Bu, di atas kabelnya pada mengelupas, putus digigit tikus. Ada kabel yang lain tidak?" Kataku pada ibu.
"Ya mana aku tau. Kalau tidak ada kabelnya, ya kamu beli sana,"
"Uangnya?" Aku menengadahkan telapak tangan pada ibu. Sebentar kemudian ibu memberikan sejumlah uang padaku.
"Cukup tidak cukup, uangnya cuma itu," Sepertinya ibu tau kalau aku bakal minta tambahan uang.
"Iya iya.., hikhikhiik," Aku malah cengengesan.
Aku terdiam sejenak, lantas timbul dalam pikiranku untuk membeli kabel di toko elektronik kemarin.
Entahlah, aku malah seperti kegirangan. Mungkin karena akan bertemu Dewi Saraswati disana.
(Bersambung).
0 Response to "Dia Cinta.. Dia Cinta.. Aku Mabuk! Episode 3"
Posting Komentar