Template information

Engkau Pergi Di Hari Pernikahanku

Pesonanya dia tidak pernah pudar buatku. Semakin hari aku bertambah menyintainya karena memang ada niat pada diriku untuk menjadikannya seorang suami.
Aku yang terus bermain dengan khayal untuk sebuah harapan, terus memupuk benih biar bisa tumbuh subur dan ranum buahnya. Hal ini aku lakukan terus menerus dengan senantiasa bertemu dengannya, untuk berbagi cerita sampai pemecahan suatu masalah.

Hari itu terasa sangat indah dan mengesankan, terutama buatku.
Aku diajaknya pergi menikmati pemandangan alam yang menakjubkan, dimana gemericik air sungai mengalir diantara bebatuan berlumut.
Aku duduk di dekatnya memandangi sebuah tebing dengan pepohonan rindang tumbuh disana.
Kupercik kan air sungai nan bening itu ke angkasa, seolah aku ingin mengatakan kepadanya 'Sebening dan sesejuk inilah hatiku kini' bersamamu.

"Kulihat kamu ceria sekali dik, lagi senang ya," suara mas Tresna kepadaku yang masih asik bermain air sungai. Aku hanya tersenyum, lantas menolehnya.
Melihat aku yang hanya tersenyum, mas Tresna kemudian mencipratkan air sungai ke wajahku.
"Aouw, basah mas," suaraku. Mas Tresna tersenyum. Aku membalas cipratan tadi dengan memercikkan air ke tubuhnya. Kami saling mencipratkan air sungai tersebut sehingga pakaian pun menjadi basah. Kami tertawa cekikian atas tingkah laku kami tersebut.
Mas Tresna merapatkan tubuhnya ke badanku. Semilir angin dengan hawa lembat membuat tubuh kami terasa dingin. Ia melingkarkan tangannya ke leherku, sedetik kemudian sebuah ciuman lembut mendarat di pipiku.
Tidak lama kemudian nafas kami saling berpacu dalam desahan karena lumatan.
Aku beringsut dari dudukku, hingga dekapannya renggang dan lepas. Aku menatapnya, kulihat wajahnya tampak memerah karena dorongan hawa nafsu.
"Kenapa El?" tanyanya mas Tresna dengan buah jakunnya tampak naik turun.
"Tidak apa-apa kok mas.
Lihat itu mas, bunga itu tampak cantik tumbuh disana," kataku.
"Iya sayang. Bunga itu cantik sekali seperti halnya dirimu," jawab mas Tresna. Aku memandangi wajahnya. Aku tidak menyangka kalau ia akan memanggilku dengan kata 'Sayang' yang mana membuatku semakin ser seran saja.
Aku menempelkan telunjukku ke bibirnya ketika mas Tresna hendak menciumku lagi, karena sekelebat aku melihat seseorang melintas tidak jauh dari tempat kami.
"Ada apa dik?" tanyanya tidak mengerti.
"Ada seseorang disana mas,"
"Oh, mana?"
"Tadi berjalan disana," tunjukku. Mas Tresna terdiam. Dia terus mengamati tempat tersebut, setelah tidak melihat apa yang dicarinya, ia kembali merapatkan tubuhnya ke badanku, sementara aku diam saja.
"Sayang. Aku sangat mencintaimu, aku menyayangimu. Sungguh aku akan menjadikanmu seorang istri kelak. Apakah kamu mau sayangku?" ucap mas Tresna begitu merdu kudengar, hingga jiwaku bergetar karenanya.
Aku memandangi wajahnya. Memang ada keseriusan dan ketulusan tersirat di wajahnya.
"Benarkah apa yang kamu katakan tadi mas?" tanyaku ingin memastikan.
"Iya benar. Apa kamu meragukan keseriusanku?"
"Tidak. Aku tidak meragukannya. Hanya saja, bagaimana kalau mas Tresna nanti berpaling dari cintanya kepadaku. Bagaimana seandainya orang tua kita tidak setuju dengan hubungan kita ini, apakah mas Tresna akan tetap mencintaiku dan menjadikanku istri?" kataku. Mas Tresna terdiam. Ia menatapku dalam-dalam, seakan kebingungan sendiri atas pertanyaanku tadi.
Pelan ia menarik nafasnya sebelum melanjutkan perkataan.
"Aku tetap mencintaimu, apapun yang terjadi.
Sungguh aku tidak akan berpaling darimu sayangku, meskipun ada wanita secantik bidadari mendekat kepadaku.
Kalaupun nanti orang tua kita tidak menyetujui hubungan kita, itu bukanlah sebuah halangan untuk kita bersatu. Percayalah padaku," kata dia meyakinkan. Namun diriku tidak lantas mengamini meski aku pun berharap untuk menjadi pendamping hidupnya nanti.
"Ah gombal," ucapku yang lantas tertawa kecil.
"Kok gombal sih dik, aku serius," sahutnya.
"Bener?"
"Bener. Apa aku harus membuktikannya sekarang?"
"Dengan apa mas Tresna mau membutikannya sekarang,"
"Dengan ini...," ia meraih tubuhku dengan cepatnya hingga diriku terjatuh ke dalam pangkuannya. Secepat kilat dia kembali melumat bibirku. Aku lagi-lagi hanya bisa mendesah atas apa yang dilakukannya.
Kami kemudian memutuskan untuk pulang ke rumah karena hari telah senja.

*

Hubunganku dengan mas Tresna berlangsung sampai aku lulus SMA.
Tidak berapa lama, ada niat dari kami untuk menikah, karena saat itu mas Tresna memang sudah bekerja di sebuah bengkel motor. Jadi tidak ada alasan bagi kami untuk tidak kelaparan karena tidak makan.
Rencana demi rencana menuju pernikahan sering kami bicarakan.
Hatiku kian gembira karena kami cocok dalam semua susunan perencanaan tersebut. Namun, ada satu hal yang belum kami tau jawabannya, yakni membicarakan rencana pernikahan kami kepada orang tua masing-masing.
Tidak mau membuang waktu lama, aku dan mas Tresna sepakat, bahwa segera membicarakan hal tersebut pada orang tua kami.
Rasa takut memang ada di benakku untuk mengatakan perihal rencana kami, tapi karena rasa tulus dan niat tidak main-main, akhirnya aku memberanikan diri membicarakannya pada ibuku yang saat itu sedang bersantai di depan televisi.

"Serius sekali toh bu, acaranya apa?" kataku dan langsung duduk disamping ibuku.
"Ini, sinetron. Kamu dari mana saja El? tadi ada temanmu mencarimu,"
"Temanku? Siapa bu,"
"Itu, siapa? Neni,"
"Oh Neni. Mau apa dia mencariku bu,"
"Katanya mau mengajakmu nyari kerjaan," kata ibuku.
"Oh..., Eli kira ada apa,"
"Lha kamu dari mana saja?" tanyanya ibuku.
"Eli habis dari rumah teman bu,"
"Rumah teman apa rumahnya Tresna," ibu memandangku seperti sudah tau dengan kepergianku tadi kemana.
"I..iya bu,"
"Iya apa, dari rumahnya Tresna kan?"
"Iya bu," jawabku.
"Eli, kamu jangan keseringan pergi ke rumahnya, tidak baik,"
"Tidak baik bagaimana maksud ibu?"
"Iya tidak baik. Kamu itu kan seorang perempuan, tidak baik sering-sering mendatanginya. Biarkan dia sendiri yang datang kesini kalau memang ada perlu. Mengerti kamu El?"
"Iya bu. Tapi Eli tidak melakukan apa-apa kok," kataku kemudian.
"Bukan karena tidak melakukan apa-apanya itu El. Tapi sebagai anak gadis dari keluarga baik-baik, kamu tidak sepantasnya seperti itu," aku terdiam mendengar penjelasan ibuku. Aku jadi ragu sendiri untuk membicarakan rencana kami. Aku takut kalau-kalau ibu menanggapi lain.
"Ada apa El? Sepertinya kamu memikirkan sesuatu," tanyanya ibu yang sedikit mengagetkan aku.
"Emmm, tidak kok bu,"
"Jangan bohong. Ibu tau kalau ada sesuatu yang membuatmu bingung, benar kan?"
"I..iya dech bu," kataku dan tersenyum.
"Apa yang membuatmu bingung?"
"Anu bu, emmm...," aku tidak meneruskan ucapanku.
"Anu apa?"
"Anu.. Tapi janji, ya. Ibu tidak akan marah sama Eli,"
"Lho kok disuruh janji. Memangnya kamu mau ngomong apa sih El?!" kulihat ibuku malah penasaran padaku.
"Bu, aku mau menikah," kataku dengan dengan malu-malu dan takut.
"Menikah??? Memangnya kamu mau menikah sama siapa El?" ibuku terkejut.
"Ada deh bu,"
"Ada deh ada deh, kamu mau menikah dengan siapa?"
"Mas Tresna,"
"Tresna?"
"Iya bu. Ibu setuju kan kalau aku menikah sama mas Tresna,"
"Tidak tidak. Kamu jangan menikah sama dia,"
"Kenapa bu?"
"Pokoknya kamu jangan menikah sama Tresna. Lagian, kamu itu baru lulus sekolah, harusnya kamu nyari kerja dulu, bukannya malah mikirkan menikah. Sudah sudah, pokoknya jangan sama Tresna!" ibuku lantas bangkit dan pergi ke luar rumah. Aku yang mendengar jawaban dari ibu, langsung menekuk wajah beberapa saat.
"Kenapa ibu tidak memperbolehkan aku menikah sama mas Tresna? Ah kacau kalau begini," aku mematikan televisi, lalu menyusul ibu ke luar rumah, namun ibuku tidak ada di teras depan. Namun, tekadku untuk menikah sama mas Tresna sudah bulat, dan aku tidak akan mundur meskipun ibu telah bilang seperti itu.

Aku menjadi bingung sendiri atas jawaban dari ibuku. Berulangkali aku mengatakan kalau aku mau menikah sama mas Tresna, karena cuma dia laki-laki yang aku cintai. Namun sepertinya ibuku tidak mau mengerti, terlebih bapakku juga mendukung keputusan ibuku, bukannya mendukungku.
Rasa jengkel itu pasti ada, tapi sebagai anak yang baik dan ingin berbakti pada orang tua, aku pun hanya diam memendam rasa. Rasa ingin menikah dengannya.
Hal tersebut kemudian aku katakan sama mas Tresna, kalau ibuku tidak mengijinkan aku menikah dengan dirinya. Mas Tresna hanya tersenyum, dengan entengnya dia bilang, "Ah, mungkin ibumu hanya ingin mengukur niatmu saja say,".

Waktu itu, mas Tresna mengajakku jalan-jalan ke sebuah Swalayan di daerah kami, mungkin karena dia sudah gajian dan banyak uang, pikirku.
"Silahkan kamu mau minta apa sayangku. Silahkan pilih sendiri," kata mas Tresna. Aku hanya berdiri mematung, bukannya aku ingin agar dibelikan apa-apa olehnya, tapi aku selalu memikirkan nasib hubungan kami seandainya apa yang ibuku katakan tempo hari adalah benar sudah menjadi keputusan keluarga.
"Kenapa El? Ayo kamu pilih sendiri. Apa aku saja yang memilihkan?!
Yang ini bagaimana sayang?" mas Tresna mengambil sebuah baju yang tergelantung pada henger di Toko Fashion.
"Tidak mas,"
"Oh, yang ini?"
"Juga tidak," aku menggelengkan kepala.
"Ya sudah. Kalau begitu kita ke sana saja, ya. Ayo," tanganku ditariknya.
"Sudahlah mas. Mas jangan repot-repot membelikan sesuatu untukku,"
"Tidak apa-apa El, mumpung ada yang untuk membelinya.
Ah ini saja, pasti ini cocok untukmu. Mau dicoba dulu apa langsung dibungkus El?,"
"Tapi aku tidak memintanya lho mas,"
"Iya iya. Dicoba dulu yuk," kami menuju ke ruang ganti (ruang untuk mencoba pakaian). Setelah aku mencoba pakaian itu sebentar, kami kemudian langsung menuju kasir.
"Lho, mas Tresna malah tidak beli untuk sendiri toh?"
"Tidak El. Aku sengaja mengajakmu kesini hanya untuk membelikan sesuatu buat kamu, dan tentunya biar kamu bisa memilihnya sendiri dan pas di hati, hehee," ujarnya. Aku sih mengiyakan saja, karena aku tidak ingin mengecewakannya.

**

Pada suatu malam, aku ditanyai oleh ibu dan bapakku. Mereka menanyakan apakah benar aku sudah kepingin menikah, aku jawab dengan iya, karena memang itu sudah ada dalam rencanaku kini.
"Benar, kamu sudah kepingin menikah El?" tanyanya bapakku. Aku diam sebentar sebelum menjawabnya.
"Lho kok diam El? Jawab pertanyaan bapakmu itu," sahut ibu.
"Benar pak," jawabku kemudian sedikit menundukkan wajah.
"Sama siapa kamu mau menikah? Kata ibumu, sama Tresna anaknya pak Purwanto itu, ya"
"Iya pak,"
"Kenapa sama dia," tanyanya bapak.
"Karena Eli mencintainya pak,"
"Mencintai? Oh mencintai.., kerja apa sekarang itu si Tresna,"
"Mas Tresna kerja di bengkel motor,"
"Dimana itu bengkel tempat kerjanya si Tresna,"
"Itu lho pak, di dekat Pasar Paing," kataku.
"Nama bengkelnya?"
"Nama bengkelnya... emmm anu, Sakti Motor,"
"Di Sakti Motor?! Hahahaa, bengkel sepi itu? Lalu kalian mau makan apa kalau sudah menikah, sementara tempat kerjanya saja sepinya tidak ketulungan," bapakku malah menertawakan tempat kerjanya mas Tresna.
"Makan apa saja pak. Bukankah Yang Maha Kuasa akan memudahkan rejeki buat hamba-NYA," timpalku. Entahlah, aku malah agak emosi dengan bapak.
"Ya benar, Yang Maha Kuasa akan memberi rejeki buat hamba-NYA. Tapi El, kalau ada yang lebih baik dan lebih bagus dari si Tresna, kenapa tidak?" kata bapak.
"Maksud bapak?"
"Nanti aku akan mencarikan suami buatmu, yang jelas dia lebih segala-galanya dari pada si Tresna,"
"Kok begitu sih pak?! Eli tidak mau dijodohkan orang tua, Eli mau nyari jodoh sendiri, yakni mas Tresna," kataku ngotot.
"Pokoknya kamu tidak boleh menikah sama Tresna! Bapak sudah ada laki-laki yang cocok buat kamu. Mulai sekarang juga, kamu jangan lagi berhubungan dengan si Tresna, titik!" bapak kemudian meninggalkan aku dan ibu.
"Itu kan El, dengarkan apa kata bapakmu tadi,"
"Ah ibu!" aku langsung masuk ke kamarku. Ingin aku berteriak sekerasnya andai saja aku lagi berada di tengah hutan.

Keesokan harinya, aku menemui mas Tresna. Aku menceritakan semuanya pada dia.
"Terus apa yang harus aku lakukan El," kata mas Tresna.
"Entahlah mas, aku juga bingung,"
"Ok El, tidak apa-apa. Meski kamu mau dijodohkan dengan orang lain, tapi aku tidak akan mundur untuk mendapatkanmu. Aku akan terus berusaha untuk membuktikan diri pada keluargamu El,"
"Benarkah mas?"
"Iya sayangku," kata-kata mas Tresna sedikit banyak telah memberiku kesejukan. Semoga saja mas Tresna bisa cepat membuktikan pada keluargaku, kataku dalam hati.
"Kalau begitu, aku mau pulang dulu ya mas, takut dimarahi ibu dan bapak lagi," kataku.
"Sebentar El," mas Tresna kemudian menarikku ke kamarnya. Aku menurut saja, karena memang dia orang yang sangat aku sayangi.
"El,"
"Iya mas," mas Tresna menarik tubuhku hingga jatuh dipangkuannya. Sebentar kemudian dia menelusuri wajahku dengan ciumannnya. Aku hanya bisa mendesah, namun aku tidak lepas kontrol.
Mas Tresna terus melumat bibirku. Nafasnya terdengar tersengal memburu, begitu juga denganku.
"Lepaskan, ya," suaranya.
"Jangan mas,"
"Tidak apa-apa kok sayang,"
"Jangan mas. Hal ini tidak boleh dilakukan sebelum kita resmi menjadi suami istri," kataku yang lantas mencoba bangkit dari rebahan dipangkuannya.
"Please, aku kan mencintaimu, menyanyangimu," kata dia disela nafasnya yang masih terengah.
"Mas, aku sangat percaya kalau mas Tresna mencintai dan menyayangiku, dan untuk hal buka-bukaan seperti yang mas Tresna inginkan, sebaiknya nanti dulu. Nunggu kita resmi menjadi suami istri mas...," untung saja mas Tresna cukup mengerti dan menghargai apa kataku tadi. Aku kemudian pamit pulang ke rumah, karena memang aku sudah cukup lama berada di rumahnya mas Tresna.

***

Seiring berjalannya waktu, kedua orang tuaku memang telah memilihkan seorang laki-laki untuk dijadikan suamiku. Ya, aku tidak bisa berbuat apa-apa atas kehendak orang tuaku tersebut.
Aku mulai jarang bertemu dengan mas Tresna. Boleh dibilang waktuku habis bersama laki-laki pilihan ibu dan bapakku.
Hampir setiap hari mas Gunawan datang ke rumah. Kedatangannya yang pasti disambut senyuman ibu dan bapakku itu membuat dirinya betah berlama-lama di rumah. Ditambah lagi, mas Gunawan suka sekali mengajakku keluar rumah untuk jalan-jalan. Hal itulah yang membuatku tidak bisa bertemu dengan mas Tresna, dan bukannya aku sudah tidak mencintai mas Tresna, bahkan sampai aku menjadi istrinya mas Gunawan pun aku tetap mencintainya, menyayangi mas Tresna.

Setelah dua bulan aku dekat dengan mas Gunawan, kami kemudian melangkah ke pelaminan atas desakan ibu dan bapak.
Seperti pada orang lain yang aku kenal, aku pun mengirimkan sebuah undangan perkawinanku kepada mas Tresna. Entah perasaan apa yang mas Tresna rasakan saat menerima undanganku, yang jelas aku tidak bermaksud menyakitinya, malah aku menghormatinya dengan mengirimkan undangan tersebut.
Aku berharap, semoga mas Tresna akan datang menghadiri pernikahanku nanti.
Seminggu kemudian, aku dan mas Gunawan naik ke pelaminan. Perasaan bahagia mungkin untuk mereka, sedangkan aku merasakan kegetiran karena laki-laki yang dipelaminan bukanlah mas Tresna.
Hari itu, aku benar-benar menunggu kedatangannya mas Tresna. Namun sampai pesta pernikahan selesai, mas Tresna tidak juga datang.
Sehari setelah acara pernikahan, aku mendengar kabar dari seorang tetangga kalau mas Tresna telah pergi ke Jakarta (merantau). Saat itu aku benar-benar bersedih, kenapa orang yang aku cintai malah pergi dan tidak memenuhi undanganku. Padahal, bukan hanya mas Tresna yang hatinya terluka, tapi aku juga merasakan kepedihan ini.
Untuk cintaku mas Tresna, namamu telah aku abadikan pada anakku yang laki-laki. Aku selalu berharap, suatu hari nanti kita bisa bertemu, walaupun itu sekedar untuk menatap dan berjabat tangan. (*)

0 Response to "Engkau Pergi Di Hari Pernikahanku"

Posting Komentar

wdcfawqafwef