Kamis, 20 Agustus 2015
Cerpen
Sebuah Botol
"Botol? Apakah ini yang tadi
dicarinya," kataku dengan
memegang sebuah botol plastik
ukuran 1,5 ml.
Sebuah botol itu tergeletak begitu
saja di antara tumpukan karung
gabah kering di sudut ruangan.
Aku letakkan kembali botol tersebut
ketempat semula.
"Apa bapak melihat botol?"
tanyanya istriku.
"Apa botol bekas air mineral?"
kataku.
"Iya, bapak melihatnya?"
"Iya, melihatnya. Itu disana
botolnya. Memang mau buat apa
botol itu bu? Kok wajahmu sampai
manyun begitu," tanyaku dengan
terus memperhatikannya yang
ngedhumel.
"Ya buat tempat air minum lah pak,"
istriku mengelap botol itu yang
sudah dipegangnya.
"Ibu mau ke sawah?"
"Tidak. Tapi mau mengantar dan
menemani Adik perayaan
Agustusan," jawabnya. Lantas
menuangkan air teh manis yang tadi
sudah dibikinnya ke dalam botol.
"Oh.. mau ngantar Adik toh, aku kira
mau ke sawah.
Kenapa tidak beli saja nanti
minumnya," kataku dengan
menyulut rokok.
"Bapak ini, seperti banyak duit saja,
apa-apa disuruh beli. Ngirit pak,
ngirit..! Lagian dengan minuman
buatan sendiri kan terjaga
kesehatannya, karena airnya sudah
ibu masang sampai mendidih benar.
Bukan cuma itu, gula yang ibu pakai
juga asli, tidak sama dengan
minuman yang dijual disana itu yang
banyak di bubuhi pemanis buatan,"
istriku menjelaskan.
"Iya deh iya.., Adik mana bu?"
"Gitu dong mengerti. Adik lagi di
rumah depan. Ya sudah pak, Aku dan
Adik berangkat dulu, sudah siang,"
istriku mendaratkan ciuman ke
pipiku. Aku mengiyakan saja. Aku
juga mencium pipinya sebelum ia
berlalu dari hadapanku.
Aku tersenyum, kami memang sudah
terbiasa saling memberikan cium pipi
sebelum keluar rumah untuk hal-hal
tertentu, karena cium sebelum kami
melangkah pergi menuju ke tempat
kerja misalnya.. bisa memberikan
efek positif pada kami. Kami semakin
merasa cinta, sayang, jadi penambah
semangat dan yang terpenting yakni
kami akan selalu teringat bahwa di
rumah ada seseorang yang
menunggu dengan cintanya disaat
kita menemukan godaan nafsu dari
orang lain.
Aku tertawa sendiri saat kulihat
botol yang sudah berisi air teh manis
itu masih berada di atas meja.
Kiranya istri lupa membawanya atau
memang dia belum berangkat
mengantar Adik (anak kami) dan
masih ngerumpi di rumah tetangga
yang berada di depan rumah?
Aku melongok ke luar, istriku dan
yang lain masih duduk-duduk
disana.
"Ya sudah," ucapku lirih. Aku
langsung mempersiapkan diri guna
pergi ke tempat kerja.
"Lho pak, botol yang tadi kemana?"
tanyanya istriku yang kembali
masuk rumah hendak mengambil
botol itu.
"Kan di atas meja bu,"
"Mana? tidak ada,"
"Yang bener? tadi ada kok. Lha ini
apa bu..," botol tersebut sudah
berada di lantai. Entah, mungkin tadi
jatuh tersenggol kucing, pikirku. Ku
ambil dan memberikannya, lantas
aku pamit hendak berangkat.
"Bapak tidak membawa air minum
apa?" istriku mengingatkan.
"Tempatnya yang tidak ada bu,"
"Botol yang biasanya kemana?"
"Tertinggal di sawah kemarin,"
"Yach bapak. Sebentar biar ibu
mintakan ke tempat mbak Sri,"
bergegas istriku ke tempat mbak Sri,
tetangga depan rumah. Aku hanya
menatap istriku dari balik jendela.
"Mbak Sri... kamu ada botol tidak,"
suara istriku terdengar.
"Botol apa?!" tanya mbak Sri.
"Botol Aqua,"
"Mau buat apa? yang besar apa
kecil?!" kata mbak Sri.
"Kalau ada yang besar saja, buat
tempat air minum bapaknya Adik,"
kata istriku.
"Sebentar," mbak Sri masuk ke
dalam rumah. Sebentar kemudian
keluar lagi.
"Mana botolnya,"
"Tidak ada. Sudah aku pakai buat
tempat air minum si Tono, hik hik
hiiik,"
"Wehalah, ya sudah," istriku kembali
ke rumah.
"Bagaimana bu?" tanyaku.
"Mbak Sri tidak punya. Bapak bawa
botol ini saja deh, biar nanti ibu beli
air mineral saja buat Adik,"
"Ya sudah. Kalau begitu aku
berangkat dulu ya bu," kucium
pipinya. Aku gantungkan tas plastik
berisi botol plastik tersebut di
sepeda. Aku pun berangkat ke
sawah.
Ternyata memang bermanfaat sekali
yang namanya botol, meskipun itu
botol bekas. (*)
0 Response to "Sebuah Botol"
Posting Komentar