Awan hitam masih menggantung sejak kemarin, padahal hujan telah mengguyur dengan derasnya. Aku yang seperti kehilangan keseimbangan hidup atas kepergian sahabat karib, masih belum mampu untuk tegar menerima hal tersebut.
Aku masih di liputi oleh duka, ketika seorang pemuda tiba-tiba hadir di depanku setelah turun dari sepeda motornya, dialah mas Tresna.
Seulas senyum getir ku suguhkan kepadanya ketika dia menyapaku.
Tangannya menyentuh pundakku ketika mataku terpejam untuk membuang kesedihan.
"Apa yang lagi kamu rasakan El? Tampaknya kamu sedih sekali," suaranya membuatku membuka kedua mata. Aku menatapnya, sinar mata kami beradu, ada kesedihan juga tampak dari sorot matanya. Dia mendesah panjang, begitu juga denganku.
"Aku sedih karena kepergiannya yang kurasa begitu cepatnya," ucapku lirih.
"Yah, kepergiannya memang serasa cepat. Aku juga sangat kehilangan dia. Dia orang baik yang selalu mengerti dengan teman.
Sudahlah El. Kita jangan larut dengan kepergiannya. Bukankah yang telah pergi ke akherat tidak akan pernah kembali lagi ke dunia ini?" kata-kata mas Tresna barusan sedikit menyadarkan aku. Biar bagaimanapun orang yang telah meninggal tidak akan kembali lagi, memang benar apa yang mas Tresna katakan tadi.
"Mas Tresna mau minum apa?" tanyaku menawarkan minuman.
"Tidak usah El. Aku cuma sebentar kok disini,"
"Kok cuma sebentar kenapa mas?"
"Tidak apa-apa. Aku hanya mampir saja kok El,"
"Oh ya sudah. Kirain mau menemui kakakku dan lama disini," kataku dengan memandang wajahnya lekat-lekat.
"Kenapa kamu memandangiku seperti itu El, ada yang anehkah denganku?" mas Tresna lantas memegangi wajahnya. Aku hanya tersenyum. 'Wajahmu tidak aneh mas, wajahmu telah memikatku' kataku dalam hati. Aku pun tersipu malu.
"Tadi mas Tresna masuk sekolah tidak?" kataku disela gemuruh rasaku di dada atas perasaan kepadanya.
"Masuk. Kenapa memangnya El?"
"Tidak kenapa-kenapa mas. Kirain tadi bolos sekolah, hehee," aku terkekeh pelan.
"Yeee.. Aku tidak pernah bolos sekolah kok, dan semoga tidak akan pernah," katanya sepertinya berkata jujur.
"Syukurlah kalau mas Tresna tidak pernah bolos, berarti jadi murid teladan dong,"
"Tidak juga, tapi selalu berusaha untuk menjadi seorang murid yang baik dengan disiplin selalu masuk sekolah. Kan kasihan orang tuaku kalau aku tidak bener dalam bersekolah, iya kan?" kata dia dengan merendah, dan aku suka akan hal itu.
"Iya iya.. Mas Tresna memang seorang pelajar yang baik, aku kagum kepadamu mas,"
"Kagum kepadaku? Janganlah mengagumiku berlebihan lho El, karena suatu saat nanti kekagumanmu itu bisa berubah menjadi keprihatinan lho,"
"Kok bisa?"
"Ya bisa saja. Coba kamu pikir, ketika kamu mengagumiku dan tiba-tiba saja aku tertimpa hal buruk, apa kamu akan tetap mengagumiku atau malah mengelus dada karena prihatin melihatku," kata dia menjelaskan. Aku sih bengong saja mendengarkannya sambil sesekali mengangguk kecil.
"Entahlah mas, yang pasti mas Tresna telah membuatku terkagum saat ini," kataku.
"Ok El. Terima kasih akan hal itu.
Eh kakakmu mana? dari tadi kok tidak kelihatan," dia mengalihkan pembicaraan, padahal hampir saja pembicaraan kami akan menyentuh pada koridor cinta, dan hal itulah yang sangat aku tunggu-tunggu selama ini. Namun sayang, mungkin belum waktunya, pikirku.
"Kakak lagi... entahlah, orang tadi dianya tidak bilang-bilang mau kemana.
Sebentar mas, aku ambilkan minum ya," kataku yang lantas berdiri dari tempat dudukku.
"Tidak usah El. Eh Eli, kita jalan-jalan yuk,"
"Jalan-jalan kemana mas?" aku menatapnya. Ada rasa deg degan ketika dia bilang seperti tadi. Aku jadi mengurungkan niatku yang hendak mengambilkan air minum untuknya.
"Kemana saja, yang penting jalan-jalan dari pada suntuk di rumah terus. Bagaimana, mau tidak?"
"Tapi kita mesti pamit sama orang tuaku mas..," kataku yang tentu saja kegirangan atas ajakannya tersebut.
"Ya pastilah El. Sekarang mana orang tuamu? kita pamit bareng," setelah mas Tresna ngomong seperti itu, aku kemudian menemui ibuku, kami minta ijin untuk jalan-jalan menikmati suasana sore. Ibuku mengijinkan, kami pun langsung cabut dari rumah.
*
Aku dan mas Tresna duduk di bangku Taman Kota tidak jauh dari Alun-alun Kabupaten.
Kami memandangi hilir mudik pengguna jalan yang saat itu sangat ramai. Kebetulan di Alun-alun itu adaa panggung hiburan rakyat dalam acara hari jadinya Kabupaten. Jadi suasananya memang sangat ramai. Apalagi dengan para pedagang menggelar lapaknya disepanjang jalan menuju Alun-alun dan lingkar jalan Alun-alun, yang mana semakin menambah semaraknya suasana.
"Lihat itu El, panggung hiburannya besar dan sangat megah," kata mas Tresna kepadaku. Aku langsung menoleh ke arah panggung tersebut, lantas tersenyum kepadanya.
"Kira-kira acaranya nanti seperti apa ya mas," kataku kemudian.
"Tidak tau juga sih, yang pasti sangat meriah. Emmm, kalau kamu mau, nanti malam kita bisa nonton bareng. Mau tidak nanti malam kita nonton?" ajaknya.
"Emmm, mau mas. Tapi mesti minta ijin sama orang tua,"
"Ya pastilah El. Kita mesti ijin dulu, karena biar bagaimanapun kita kan anaknya yang harus selalu menghormati orang tua, salah satu contohnya yaitu dengan meminta ijin kemanapun kita akan pergi. Benar kan?" kata mas Tresna menjelaskan. Aku mangangguk saja, karena memang benar sih apa yang mas Tresna katakan itu. Hal ini malah semakin membuatku terkagum kepadanya. Pemikirannya sangat dewasa meski usianya masih remaja. Aku semakin mencintainya, namun rasa cintaku belum juga terungkapkan, karena aku malu untuk mengatakan kepadanya. Sementara dia yang kutunggu mengungkapkan perasaannya kepadaku pun belum juga mengatakannya. Padahal kalau aku rasa, dia juga sama seperti diriku, yakni punya perasaan yang sama.
"Kamu haus dan lapar kan El? Sebentar ya," tanyanya. Mas Tresna kemudian melangkah kesebuah lapak jualan yang tidak jauh dari tempat kami duduk. Beberapa menit kemudian mas Tresna kembali dengan membawa sebotol air mineral ukuran 1,5 ml dan makanan. Aku hanya memandangi mas Tresna yang sangat aku cintai itu.
Selanjutnya kami menikmati 'Martabak Terang Bulan' yang baru saja dibelinya.
Sungguh hatiku damai saat itu, karena bisa berdekatan, berduan sama mas Tresna walaupun kami bukan pacar.
Aku terdiam dan tertunduk malu, ketika mas Tresna memandangku dengan tatapan tidak seperti biasanya. Aku merasakan tatapannya kali ini penuh dengan kasih sayang.
Cukup lama dia memperhatikanku, kemudian sebuah kata yang terucap dari bibirnya sangat membuatku seperti mau pingsan saja.
Jiwaku bergemuruh, darah serasa deras mengalir hingga membuatku merinding. Mendadak hatiku berseri, benih-benih bunga cinta yang ada langsung mekar mengharum di taman hatiku. Yach, mas Tresna telah mengucapkan sebuah kalimat yang selama ini aku tunggu-tunggu.
"El, aku mencintaimu," lirih suaranya di ujung bibir, namun terdengar jelas ditelingaku. Aku menatapnya. Aku hampir tidak percaya dengan apa yang barusan mas Tresna ucapkan.
"Apa mas?" sahutku dengan pura-pura tidak mengerti.
"Aku mencintamu El,"
"Mencintaiku? Apa aku tidak salah dengar mas,"
"Tidak, kamu tidak salah dengar.
Setelah cukup lama aku memendam perasaan ini kepadamu, dan hari ini aku ungkapkan tentang rasa cinta ini.
El, nyatanya aku tidak mampu kalau terus-terusan memendam perasaan ini.
Terserah kamu El, aku sangat bahagia bila kamu sudi menerima cintaku. Aku juga tidak akan kenapa-kenapa kalau kamu menolaknya," setelah berkata seperti itu, mas Tresna tampak terdiam dengan wajah ditundukkan. Sementara aku juga menundukkan wajahku, pura-pura malu dan berpikir, padahal aku senang banget mendengar ucapannya tadi. Ingin aku langsung menjawabnya, namun entah mengapa lidahku serasa kelu.
Kuangkat wajahku, kutatap wajahnya. Kami beradu pandang sebentar. Kuhela nafas dalam-dalam sebelum menjawabnya.
"Aku tidak tau mesti bilang apa ke kamu mas. Namun aku tidak bisa membohongi perasaanku kalau aku juga sangat mencintaimu," ucapku dengan suara lembut.
"Jadi? Jadi apa kamu menerima cintaku El," tanyanya dengan pancaran wajah tampak penuh keriangan.
"He'em mas. Aku terima," jawabku dengan sedikit malu.
Mas Tresna langsung meraih tanganku. Digenggamnya telapak tanganku dengan lembut penuh rasa cinta. Aku diam membisu, karena tidak tau harus ngomong apa atas perasaan yang tengah berbunga-bunga ini.
Aku menatapnya, dia pun menatapku. Saling beradu pandang dalam binar cinta membuat kami melemparkan senyuman indah.
Saat itu kami telah benar-benar di mabuk cinta.
Setelah kami merasa sudah cukup lama berada di Taman Kota, dan hari pun sudah petang, kami kemudian pulang.
Sepanjang perjalan pulang ke rumah, perasaanku tiada hentinya dalam kegembiraan, mungkin begitu juga dengan perasaannya saat itu.
"Ok El. Aku langsung pulang saja yach," kata mas Tresna setelah kami sampai di rumahku.
"Tidak duduk dulu mas," kataku yang pastinya ingin ditemaninya lagi samapai lama.
"Terima kasih El. Aku pulang dulu, nanti malam aku kesini lagi, kita nonton kan?"
"Baiklah kalau begitu mas," mas Tresna kemudian pulang dengan meninggalkan senyum cintanya untukku. Aku juga memberikan senyum cinta kepadanya.
**
Malam itu langit tampak bersih, indah sekali dengan bintang bertaburan, berkerlip menghiasi.
Sang rembulan juga tampak berseri dalam pangkuan awan putih. Lukisan angkasa benar-benar sangat menakjubkan dengan keindahannya, dan mereka sepertinya juga mendukung atas cinta kami yang belum lama ini terjalin.
Aku duduk di pinggir ranjangku. Diam sejenak dengan bermain bersama ruang khayalku.
Aku tersenyum, terlintas akan indahnya saat bersama mas Tresna yang sebentar lagi mungkin akan datang menjemputku untuk diajaknya jalan-jalan di sekitaran Alun-alun Kabupaten.
Benar saja, ibu memanggilku. Katanya mas Tresna datang ingin bertemu denganku. Bergegas aku merapikan pakaian yang sedari tadi kukenakan, karena di luar sudah ada pangeran tampan menungguku.
"Sudah lama ya mas?" tanyaku menyapa kekasihku.
"Baru nyampai kok," jawabnya dengan kedua mata tidak berkedip memandangku.
Aku duduk di dekatnya. Rasa deg degan menyeruak di dadaku.
Dia tersenyum, aku pun tersenyum.
"Bagaimana mas," tanyaku tidak jelas, karena aku masih merasa malu meskipun sebenarnya kami sudah lama mengenal.
"Maksutnya?" aku diam tidak lantas menjawabnya, hal itu malah membuat mas Tresna mengerutkan kening. Dia mengulang pertanyaannya barusan. Sedikit tergagap aku pun menjelaskan maksut dari pertanyaanku.
"Apa kita jadi nonton?" suaraku dengan tersipu malu.
"Jadi, itu pun kalau kamu mau dan tentunya di ijinkan oleh ibumu," jawabnya dengan jelas.
Setelah ngobrol-ngobrol sebentar dan minta ijin sama orang tuaku, yang mana ibuku menginjinkan asal pulangnya tidak sampai larut malam. Aku dan mas Tresna langsung berangkat menuju Alun-alun Kabupaten.
Disepanjang perjalanan aku bersikap agak centhil dan mesra. Aku lingkarkan kedua tanganku pada pinggangnya, dan perasaan hangat pun mengalir hingga ke jiwaku.
Sekitar dua jam kami baru sampai di Alun-alun Kabupaten, karena memang jalannya macet saat mendekati tempat tersebut.
"Kita nontonnya dari sini saja ya dik," kata mas Tresna. Perasaanku seperti terbang ke awang-awang karena panggilan 'Dik' yang baru saja dia ucapkan, karena selama ini mas Tresna memanggilku hanya dengan nama saja 'Eli'.
Aku hanya mengangguk. Biar bagaimanapun aku menurut saja, toh sekarang dia kan pacarku.
Dari atas sepeda motor, kami menikmati acara Pesta Rakyat tersebut.
Aku sangat beruntung bisa bersama mas Tresna, orang yang kucintai. Aku berharap, hal seperti ini akan terus terjaga, dimana kami akan selalu berdua dalam keadaan bagaimanapun.
Angin disekitaran Alun-alun berhembus sepoi membelai kami.
Aku melihat jam tangan yang kukenakan di tangan kiriku, saat itu sudah jam 20.45 WIB. Begitu cepat waktu berjalan, gumamku.
Tangan kami saling menggenggam. Kami larut dalam peresaan cinta. Tiba-tiba wajahnya mendekat ke wajahku, dan... satu ciuman ia daratkan di pipiku. Aku tersipu dibuatnya, ciuman pertamanya itu semakin membuat gejolak di hatiku.
Tepat pukul 9 malam, kami memutuskan untuk pulang dari menonton acara Pesta Rakyat di Alun-alun Kabupaten.
Sebelum kami sampai di rumah, yakni disebuah jalan sepi menuju perkampungan, mas Tresna mendadak menghentikan laju sepeda motornya.
"Kenapa berhenti mas?" tanyaku.
"Tidak apa-apa dik," mas Tresna kemudian membalikkan wajahnya ke arahku. Kepalaku diraihnya dan di dekatkan ke wajahnya. Sejurus kemudian ia melumat bibirku.
Aku yang belum pernah mengalami hal seperti itu tentu saja kaget, namun aku tidak dapat menolaknya, karena aku pun sangat ingin merasakan lumatan tersebut dari kekasihku.
Setelah beberapa saat kami larut dalam ciuman, kembali kami melanjutkan perjalanan ke rumah.
Malam itu aku tidak bisa tidur. Aku selalu terbayang oleh wajahnya, terlebih oleh adegan ciuman bersamanya.
Hatiku bergejolak, tiap waktu aku selalu merindukannya. Aku selalu ingin bersamanya. Aku sayang kepadanya.
Sampai kapanpun aku akan menjaga cinta kami, sampai kami terpisahkan oleh ajal yang menjemput kami. (*)
Rabu, 19 Agustus 2015
Cerpen
0 Response to "Gejolak Ciuman Pertama"
Posting Komentar