Angin berhembus tidak terlalu panas membelai tubuh kami. Di sore itu aku duduk bersama seorang teman sesama TKW di Stasiun Taipei. Kami menikwati waktu disela-sela kesibukan sebagai seorang pekerja pembantu.
Sebut saja namaku Mawar. Aku berada di Taipei sejak 7 tahun silam. Aku seorang wanita berumur 25 tahun.
Setelah aku lulus dari SMA, kemudian memutuskan untuk bekerja ke luar negeri.
Melalui sebuah PJTKI di daerahku, aku pun sampai di negara Taiwan.
Sebagai seorang yang baru mengenal suasana luar, apalagi luar negeri. Tentu aku bingung, karena memang sebelumnya aku belum pernah merantau kemanapun.
Di Taipei aku mendapatkan majikan yang anggota keluarganya super bawel, cerewet. Hingga pada hari pertama sampai bulan ke tiga aku merasa tidak betah bekerja di tempat majikanku tersebut.
Namun setelah kupikir berulang-ulang, akhirnya aku bertahan demi satu harapanku, yakni bisa mendapatkan kesuksesan dan pastinya aku akan bisa membantu perekonomian keluargaku yang carut marut.
Orang tuaku bukanlah seorang yang berada. Makanya setelah lulus sekolah aku memutuskan untuk bekerja ke luar negeri.
Sebenarnya aku ingin sekali meneruskan pendidikan ke Universitas sebagai seorang Mahasiswi guna mewujudkan cita-citaku yang ingin menjadi seorang Guru. Namun apa daya, biaya tidak punya.
Waktu terus berjalan. Setiap hari aku disibukkan mengurus keluarga Sing Liang.
Sing Liang adalah seorang laki-laki berumur 60-an tahun.
Istrinya Sing Liang bernama Hwa Chang Hwe, ia berumur 55 tahun.
Keluarga Sing Liang mempunya anak tiga. 2 cewek dan satu cowok.
Anaknya yang pertama sudah menikah, dia ikut dengan suaminya.
Anaknya yang kedua seorang cewek, bernama Liu Cwe Whik.
Anaknya yang nomer tiga seorang cowok, bernama Tha Liang Yang.
Sing Liang dan Hwa Chang Hwe sebenarnya cukup baik. Dia sangat mengerti padaku, namun anaknya yang bernama Liu Cwe Whik itulah yang cerewetnya minta ampun.
Pernah aku di omeli habis-habisan oleh Liu Cwe Whik lantaran salah merendam bajunya yang hendak ia pakai ke pesta.
Liu Cwe Whik ini umurnya sudah 31 tahun. Namun dia belum menikah. Sedangkan Tha Liang umurnya sudah 25 tahun, dia juga belum menikah.
Liu Cwe Whik ini selain cerewet juga sering stress lantaran melihat teman-teman seusinya yang sudah pada menggendong anak, sementara dia belum juga mendapatkan suami.
Liu Cwe Whik belum menikah mungkin lantaran dia yang teramat cerewet.
Kata dia yang waktu itu pernah bercerita padaku, bahwa semua cowok yang mendekatinya akhirnya pergi begitu saja karena kecerewetannya. Begitupun saat ia mendekati cowok-cowok. Cowok-cowok yang di dekatinya malah menjauh sebelum Liu Cwe Whik mengungkapkan perasaan cintanya. Padahal Liu Cwe Whik seorang yang cantik lho. Wajahnya tidak kalah sama artis-artis daratan China. Namun ya itu, mungkin karena cerewetnya yang Naudzubillah, hingga Liu belum merasakan manis legitnya sebuah cinta. Jadi kecerewetannya yang kelewatan super itulah yang mungkin banyak cowok menjauh dari Liu Cwe Whik hingga dia kesulitan mendapatkan jodoh.
*
Mendadak ketidak betahanku bekerja pada keluarga Sing Liang sirna saat aku menerima gaji pertamaku yang telah dipotong biaya keberangkatanku ke Taipei.
Saat itu, ada secercah harapan untuk terus melanjutkan kontrak kerjaku pada keluarga Sing Liang. Berangsur-angsur aku mulai bisa menyesuaikan diriku pada keluarga itu dan kehidupan di sekitarnya.
Seperti juga di tempat yang lain, Aku juga mendapatkan libur kerja. Biasanya aku menikmati liburku dengan pergi ke Stasiun Taipei atau ke Taman Bunga Yamingsan. Di tempat tersebut biasa berkumpul para pekerja-pekekerja dari Indonesia dan negara lain.
Di tempat itu juga kami biasanya saling berbagi cerita. Entah cerita suka maupun duka sebagai seorang TKW. Kami saling mengenal satu sama yang lain, hingga rasa kekeluargaan sangat bisa kami rasakan.
Di tempat itu juga biasanya kami saling bertukar pikiran, atas apa-apa yang menyangkut kesejahteraan kami sebagai pekerja di negeri orang.
Tidak jarang juga diantara kami yang menceritakan pengalaman cintanya selama di negeri rantau.
Seperti halnya diriku yang mempunyai pengalaman cinta dengan seorang cowok asli Taipei.
Kata orang aku ini cantik, sexy. Namun menurutku biasa saja. Pujian itu sering aku terima dari cowok saat aku duduk di bangku SMP. Mereka mengatakan aku ini cewek cantik. Hingga banyak dari mereka yang ingin mendapatkan cinta dariku.
Tha Liang Yang, seorang cowok anaknya Sing Liang majikanku.
Sejak pertama aku bekerja di keluarga itu, Tha Liang Yang selalu memperhatikanku.
Tha Liang Yang sering mencuri pandang dan kesempatan untuk mendekatiku. Hingga pada suatu waktu dimana keadaan rumah lagi sepi, Tha Liang Yang mendekatiku dengan gagahnya.
Waktu itu majikan Sing Liang dan Mei Hua sedang tidur siang. Sementara Liu Cwe Whik tidak berada di rumah, dia pergi ke tempat saudaranya.
Sementara Tha Liang Yang, hari itu dia libur dari ngantornya. Tha Liang mendekatiku yang lagi masak bubur tim di dapur.
"Mawar, kamu lagi apa?" tanyanya Tha Liang Yang.
"Saya lagi memasak bubur tim untuk tuan Mei," jawabku.
"Oh, kalau begitu sekalian masakkan aku Cap Chay ya Mawar," kata dia. Aku bengong sebentar, karena aku tidak bisa memasak makanan bernama Cap Chay. Jangankan memasak Cap Chay, melihat bentuknya saja aku belum pernah.
"Maaf tuan. Saya tidak bisa memasak apa itu? Cap Chay," kataku.
"Lho, kamu tidak bisa memasak Cap Chay ya? Lalu bisanya masak apa Mawar?"
"Ya seperti ini tuan. Masak bubur tim, nasi goreng, nasi uduk, mie rebus, mie goreng," kataku yang lantas tersenyum.
"Nasi goreng? Nasi uduk? apa itu Mawar?!" Tha Liang Yang mengernyitkan kening sambil terus memandangku.
"Itu makanan Indonesia tuan Tha Liang," aku menjelaskan.
"It's good. Kalau begitu biar aku ajari kamu memasak Cap Chay ya Mawar," Tha Liang kemudian mengambil semua bahan Cap Chay yang ternyata sudah tersedia di dapur dan di kulkas.
Dia terlihat sangat terampil memasak makanan Cap Chay tersebut. Sementara aku memperhatikannya dengan serius.
Di luar perkiraanku, rupanya Tha Liang mempunyai maksud tertentu atas itu semua. Dia diam-diam memperhatikanku. Tidak lama kemudian dia memuji kecantikanku. Mendengar pujian dari Tha Liang itu, aku menyikapinya biasa saja, tidak ada senyum mengembang di bibirku untuk pujian Tha Liang Yang.
Sudah 10 menit Tha Liang berada di dapur. Di sela kesibukan tangannya mengolah Cap Chay, sempat-sempatnya dia mencolek pantatku. Terang saja aku kaget bukan kepalang, karena selama ini pantatku belum pernah dicolek oleh cowok manapun.
"Tuan Tha Liang," kataku.
"Ada apa Mawar,"
"Tuan jangan begitu kepadaku," kataku kemudian.
"Kenapa? Kamu disini kan untuk melayani keluarga kami, juga termasuk aku. Iya kan?
Jadi biasa saja lah..,"
"Iya, tapi bukan untuk dicolek-colek seperti tadi tuan..," kataku.
"Ok ok. Nah, Cap Cay-nya sudah matang..
Eh kamu mau tidak?" dia menawariku. Aku menggelengkan kepala.
"Tidak mau tuan. Saya tidak suka Cap Cay,"
"Bener..? Enak lho," Tha Liang mengambil dua buah piring. Dia menungkan Cap Cay tersebut ke dalam piring-piring tadi. Tha Liang memberikan sepiring Cap Cay bikinannya kepadaku. Aku hanya diam memandangi sepiring Cap Cay bikinan Tha Liang Yang.
Setelah berulang kali dia menyuruhku memakannya, akhirnya aku pun mencicipi Cap Cay tersebut. 'Ternyata enak juga masakan Tha Liang' kataku dalam hati.
Kami memakan Cap Cay bikinan Tha Liang di ruang dapur. Tha Liang berulang kali tampak tersenyum kepadaku. Aku hanya tertunduk malu dibuatnya.
Sejak saat itu, Tha Liang mulai dekat denganku. Karena kedekatan itulah Tha Liang sering bercurhat denganku tentang apa saja yang sedang dia hadapi dan dirasakannya.
Lama-lama, Tha Liang malah mengutarakan rasa sukanya kepadaku. Tentu saja aku kaget atas ungkapan dari Tha Liang Yang. Biar bagaimanapun aku adalah seorang pembantu, sedangkan dia adalah majikanku.
Setiap ada kesempatan, Tha Liang Yang selalu mengutarakan isi hatinya kepadaku. Dia merayuku dengan sangat lihainya. Hingga aku pun luruh oleh rayuan Tha Liang Yang.
Kami menjalin asmara secara diam-diam, agar tidak ketahuan oleh orang tuanya Tha Liang juga Liu Cwe Whik, karena akan sangat berbahaya sekali kalau mereka sampai mengetahuinya.
Lama kami menjalin cinta. Hingga pada suatu malam, Tha Liang menyelinap masuk ke kamarku yang saat itu aku lupa menguncinya.
Tha Liang kembali melancarkan rayuan manisnya yang membuatku melayang dan lupa akan segalanya, juga statusku sebagai wanita Indonesia yang selama ini sangat menjunjung tinggi norma-norma kemanusian, budaya ketimuran dan agama.
Seakan dihadapkan pada bayangan keindahan nan menjanjikan, aku sampai tidak bisa menjaga harga diriku sebagai wanita baik. Aku kehilangan sesuatu yang sangat berharga untuk aku persembahkan kepada suamiku kelak.
Yach, malam itu kami melakukan hubungan badan yang tidak semestinya kami lakukan. Aku sangat terbuai oleh bujuk rayunya.
Aku dan Tha Liang Yang terus berpacu dalam sebuah kenikmatan yang sebelumnya tidak pernah aku rasakan. Hal itu tidak pernah terpikirkan sebelumnya olehku, bahwa aku akan melakukan hal demikian bersama Tha Liang Yang, anak majikanku.
Entah kenapa, malam itu aku merasakan bahagia sekali bersama Tha Liang Yang, mungkin karena aku sendiri sudah benar-benar mencintai Tha Liang Yang, meski aku harus menyerahkan 'mahkota' milikku satu-satunya pada laki-laki tersebut.
Waktu terus berputar. Hari terus berganti. Aku dan Tha Liang Yang sering melakukan hubungan badan di rumah majikanku, dan selama itu perbuatan kami tidak diketahui oleh mereka.
Saat itu tidak ada sedikitpun ketakutan dan penyesalan atas perbuatan kami. Kami sama-sama senang, karena kami sama-sama mencintai. Sampai-sampai hal yang terburuk yang bakal terjadi padaku pun tidak pernah terpikirkan olehku.
**
"Apakah aku hamil?" pertanyaan itu muncul saat aku merasakan keanehan terjadi pada diriku. Badanku sering lemas, wajah tampak pucat dan sering mual-mual.
Aku belum berani mengatakan pada Tha Liang Yang atas apa yang terjadi pada diriku akhir-akhir ini, karena aku takut kalau nanti Tha Liang tidak percaya dan menganggap hal ini sebuah kebohongan.
Setiap hari aku mulai dirasuki oleh kegelisahan. Aku sadar, sesuatu perubahan telah terjadi pada diriku, yakni perutku semakin hari tampak membesar.
"Tha Liang sayangku. Aku hamil," kataku pada Tha Liang saat dia berada di kamarku.
"Apa? kamu hamil?!" wajah Tha Liang mendadak pucat, dia tampak gusar mendengar ucapanku.
"Iya sayang," kataku yang lantas menekuk wajah.
"Ok ok. Besuk kita periksakan kehamilanmu ke klinik. Kamu tenang saja.
Sekarang layani aku seperti biasanya ya sayang," Tha Liang merengkuh tubuhku. Dia mencumbuku.
"Sayang, tapi benar kan kalau kamu akan bertanggung jawab atas kehamilan ini?"
"Iya sayang. Aku akan bertanggung jawab," Tha Liang terus mencumbuku. Kami kembali melakukan hubungan intim hingga pagi.
***
Hari itu, Tha Liang Yang tidak seperti biasanya terhadapku. Dia mulai acuh kepadaku. Janjinya untuk memeriksakan kehamilanku tidak juga dipenuhi. Malah dia sering marah-marah kepadaku tiap kali aku menanyakan dan mengajaknya untuk memeriksakan kehamilanku. Sedangkan perutku semakin hari bertambah membesar saja.
Ada keinginan untuk menggugurkan kandunganku, tapi aku takut pada dosa yang akan semakin menumpuk bila aku melakukan aborsi.
Kini hari-hariku terasa pahit. Kegetiran itu semakin lengkap menimpaku manakala Tha Liang Yang membuat fitnah yang ditujukan kepadaku.
Tha Liang memfitnahku, bahwa diriku telah melakukan hubungan badan dengan seorang pedagang di sebuah pasar yang biasanya aku berbelanja.
Sungguh aku tidak bisa menerima hal itu. Aku menceritakan semuanya pada majikanku, tapi mereka tidak mempercayaiku. Mereka lebih percaya pada Tha Liang yang anaknya sendiri.
Nasib getir harus aku terima. Aku diusir dari rumah majikanku. Senyum manis keindahan yang dulu pernah menghiasi hariku dalam sebuah impian, kini menjadi aib dan petaka.
Aku harus menghadapi kenyataan ini. Aku mencoba untuk selalu tegar di tengah himpitan persoalan hidupku di negeri orang.
Aku tidak pulang ke kampung halamanku setelah terusirnya aku dari keluarga Sing Liang, karena aku tidak punya ongkos untuk hal itu. Semua uang gajianku telah aku kirimkan ke kampung. Aku hanya mempunyai uang sisa gajian bulan terakhir yang jumlahnya tidak seberapa.
Aku terus melangkah menyusuri jalan perkotaan Taipei. Rasa letih dengan keringat mengucur membasahi tubuh membuatku menghentikan langkah.
Aku duduk bersandar pada dinding emperan toko yang masih tutup.
Pandanganku jauh menerawang, menyentuh semua bayang yang pernah bermain di ruang angan.
Air mataku jatuh berderai. Aku tau, air mataku tidak akan mampu mengembalikan semua yang hilang dariku. Aku tau, air mataku tidak akan menjadi telaga penyejuk jiwaku, disaat aku terbelenggu oleh semua ini.
Aku mengusap perutku. Sekarang perutku sudah tidak sama dengan sebulan yang lalu. Terbayang olehku untuk menggugurkan kandunganku. Namun lagi-lagi bayangan dosa besar datang menyergapku, membungkamku, hingga aku pun terkulai dalam bilik kesabaran.
Aku hanya bisa berdo'a dalam kegetiran nasib ini, semoga aku masih diberikan kekuatan sampai si jabang bayi dalam perutku terlahir.
Waktu terus berputar, dalam keterusiranku itu kemudian aku dipertemukan dengan seorang wanita Indonesia. Wanita itu bernama Melati. Untungnya Melati sangat baik kepadaku. Dia mengajakku ke rumah majikannya setelah sebelumnya Melati menceritakan perihal diriku kepada sang majikan. Aku kemudian disuruhnya bekerja di rumahnya Yang Who Wha (majikannya Melati) kebetulan majikannya Melati lagi membutuhkan seorang tenaga wanita untuk menjadi pelayan di kedai teh-nya.
Tanpa berpikir lagi, aku menerima tawaran dari Melati dan sang majikan tersebut.
Sedikit demi sedikit kehidupanku mulai bangkit. Setitik cahaya mulai tampak menyinariku dari kekelaman yang kurasakan.
Senyum sumringah senantiasa mengembang di bibirku, meskipun aku tidak bisa memungkiri kalau kegetiran masih mengeram pada perjalanan hidupku di negeri orang.
Kini keseharianku sibuk di kedai milik majikanku (Yang Who Wha).
Semua ini memang tidak pernah terpikirkan dan tersentuh olehku atas apa yang bakal terjadi padaku.
Aku menjalani kesibukanku dengan perut keadaan besar. Rasa malu sebenarnya ada, karena bayi yang kukandung tersebut bapaknya tidak mau bertanggung jawab, dan ini sebuah aib buatku.
Memasuki usia kehamilan 9 bulan, aku sempat bingung. Aku berpikir keras, bagaimana nanti caraku mengasuh anakku yang terlahir, sedangkan aku tidak punya siapa-siapa disini selain Melati, sahabatku yang sudah kuanggap kakak sendiri.
Si jabang bayi pun terlahir dengan selamat ke dunia tanpa bisa dicegah oleh siapapun.
Atas saran Melati sebelumnya, kemudian si jabang bayi aku adopsikan pada sebuah keluarga pribumi Taipei.
Perasaan serasa lega, plong terlepas dari beban mental yang selama ini menggelayuti pikiranku.
****
Aku memandang hamparan manusia dengan segala urusannya, yang hilir mudik entah mau kemana.
Pandanganku tertancap pada sebuah wajah yang pernah kukenal.
"Tha Liang Yang?" aku terkejut, namun aku tidak berusaha menutupi wajahku dari tatapan matanya. Dia terus berjalan menuju ke arahku. Sebentar dia menghentikan langkahnya. Dia menatapku dalam-dalam, seakan mencoba mengingat seraut wajah yang pernah disakitinya.
"Mawar? Benarkah kamu Mawar?!" ucapnya ditujukan kepadaku. Aku diam, aku menatapnya dengan tajam seakan menikam ulu hatinya hingga terdalam.
"Mawar? siapa itu Mawar tuan?" kataku pura-pura tidak mengenal yang namanya Mawar.
"Aku Tha Liang Yang. Kamu benar Mawar kan?" tanyanya.
"Bukan," jawabku.
"Oh, maaf. Saya salah orang" dia menatapku sekali lagi dengan seksama sebelum dia melanjutkan langkahnya. Orang itu kemudian melangkah dari hadapan kami. Namun baru beberapa langkah berjalan, dia menghentikan langkahnya. Dia memandang ke arahku, lantas kembali menghampiriku dan berdiri dihadapanku.
"Ada apa lagi tuan?" tanyaku.
"Kamu Mawar bukan? Kamu benar Mawar kan?!"
"Kalau iya kenapa, kalau bukan juga kenapa tuan?" kataku.
"Aku mencari-cari dirimu Mawar. Aku mau menikahimu," ucapnya. Aku terbengong, dalam hatiku berkata 'benarkah? Ah mungkin itu cuma kata rayuanmu'.
"Memangnya tuan mencintai Mawar? hingga tuan mau menikahinya,"
"Iya, aku sangat mencintai Mawar. Makanya aku selalu mencari dia sampai ke sudut-sudut Taipei," kata dia.
"Bohong! Kalau tuan mencintai Mawar, kenapa waktu itu tuan memfitnahnya!" kataku dengan emosi meluap-luap.
"Maafkan aku Mawar. Saat itu aku khilaf. Aku tidak tau apa yang harus aku lakukan, karena orang tuaku marah dan tidak setuju kalau aku menikahimu. Namun sekarang, orang tuaku menyetujui kalau aku menikah denganmu. Makanya aku mencarimu terus, karena kedua orang tuaku juga menyuruhku agar mencarimu Mawar," kata dia menjelaskan.
"Saya tidak percaya," kataku.
"Percayalah padaku Mawar. Sekarang juga aku akan membawamu ke hadapan orang tuaku untuk membuktikan kebenaran omonganku," dia kemudian diam dengan terus memandangiku. Aku menoleh ke arah Melati yang sedari tadi mendengarkan perbincangan kami.
"Begini tuan. Ajak orang tuanya tuan datang kesini. Kami akan menunggu orang tuanya tuan disini sampai sore nanti. Kalau tuan dan orang tuanya tidak datang ke tempat ini, berarti tuan bohong belaka. Bagaimana tuan?" kata Melati menimpali pembicaraan kami. Dia mengangguk, kemudian pamit dan melangkah meninggalkan kami.
Aku tersenyum pada Melati, selain menjadi sahabat dan kakak yang baik, dia juga pintar dalam memecahkan persoalan yang dihadapi teman ataupun dia sendiri.
*****
Udara segar kembali membelai kami yang berada di Stasiun Taipei. Aku dan Melati masih duduk bercengkrama di salah satu sudut Stasiun tersebut.
Kami terus menikmati pemandangan yang tersuguhkan disana. Pemandangan orang-orang yang hilir mudik berjalan dan penuh ke unikan.
Aku melihat dua orang berjalan ke arah kami. Aku hampir tidak percaya, orang itu adalah Tha Liang Yang bersama bapaknya (Sing Liang). Mereka terus mendekat ke arahku dan Melati.
'Apakah ini bertanda benar atas apa yang dikatakan oleh Tha Liang Yang tadi?' gumamku dalam hati.
Mereka kemudian duduk di dekat kami. Orang tuanya Tha Liang Yang lantas menjelaskan maksud kedatangannya menemui kami.
Aku hampir tidak percaya, aku yang sempat difitnahnya ternyata masih dianggapnya istimewa.
Setelah mereka menjelaskan semuanya dan Melati pun mengiyakan, akhirnya aku bisa menerima mereka. Aku menerima ajakan Tha Liang Yang untuk menikah, toh pada mulanya aku juga sangat mencintai Tha Liang Yang.
Setelah aku membicarakan hal pernikahan yang bakal aku jalani pada majikanku yang di kedai, aku pun memintanya untuk menjadi waliku atas dungungan dari Melati. Majikanku menyanggupi menjadi waliku.
Waktu pernikahan pun berlangsung dengan sederhana. Meski tanpa kehadiran orang tua kandungku berada disisihku, saat itu aku merasa cukup bahagia. Namun aku merasa sangat bersalah karena aku tidak mengabari perihal pernikahanku kepada orang tuaku di Indonesia.
Setelah kami menikah, lantas kami mengambil anak kami yang berjenis kelamin perempuan yang aku apdosikan.
Kini aku hidup bahagia bersama suami dan anakku.
Tiga hari setelah aku menikah, aku baru memberi kabar pada kedua orang tuaku tentang pernikahanku di Taipei.
Lima tahun kemudian setelah kami menikah, aku mengajak Tha Liang Yang dan Mei Liu Hwa (anakku) untuk berkunjung ke Indonesia. Seulas senyum mengembang di bibirku ketika pesawat yang kami tumpangi sudah berada di udara.
Satu hal yang membuatku sangat bersyukur. Tha Liang Yang kini memeluk agama Islam. Hal ini bukan karena paksaan dariku, melainkan atas pilihannya sendiri, karena Tha Liang Yang menilai agama Islam itu sangat simple namun memiliki keindahan yang luar biasa. (*)
Sabtu, 15 Agustus 2015
Cerpen
0 Response to "Seulas Senyum Di Langit Taipei"
Posting Komentar