"Pergi saja kalau kamu mau pergi!" suara suamiku dengan keras. Aku yang mendengar itu, langsung angkat kaki dari rumah yang cukup lama kami tinggali.
Suamiku kalap padaku karena dia menganggap aku telah bermain serong dengan laki-laki lain.
Entah dari mana sebab, hingga suamiku menuduhku berselingkuh. Padahal aku tidak kemana-mana saat ditinggalnya bekerja ke luar kota.
Dalam pertengkaran beberapa hari dan berlanjut hari ini, aku sudah menjelaskannya. Namun suamiku seperti tidak mau mendengarkan aku. Malahan kekerasan telah dia lakukan terhadapku dengan menampar wajahku dan mendorong tubuhku hingga tersungkur menabrak tembok, kepalaku pun terluka.
Aku yang tidak ingin menjadi sasaran kemarahannya, akhirnya dengan berat hati pergi dari rumah.
Aku kembali tinggal di rumah orang tua untuk sementara waktu biar suamiku bisa meredam kemarahannya dan kembali diberi cahaya terang oleh-NYA.
Selama aku tinggal di rumah orang tuaku. Aku tidak berusaha untuk mendapatkan keadaan suamiku, karena aku berpikir nanti malah menjadi beban tersendiri buatku.
Sehari, tiga hari, seminggu hingga sebulan. Aku masih tinggal di rumah orang tua. Suamiku yang aku harapkan akan menjemputku untuk mengajak pulang pun tidak kunjung datang. Sementara untuk kembali ke rumah itu, aku masih takut, kalau-kalau suamiku masih marah. Sedih memang, karena tidak ada orang yang aku suruh untuk mengawasi suamiku selama kami berpisah.
Disaat kegundahan kian menjeratku. Tiba-tiba selentingan kabar suamiku terdengar olehku.
Aku mendengar kabar itu dari tetangga rumah orang tuaku. Tetanggaku bilang kalau suamiku bersama seorang wanita di rumah yang dulu aku tempati bersama suami.
Aku yang mendengar selentingan tersebut jelas saja terkejut. Namun aku tidak lantas mempercayainya, sebab bisa-bisa aku salah dalam mengambil keputusan nanti.
Disebuah kesempatan, saat sudah petang. Aku mencoba memberanikan diri mengintai rumahku. Hal ini aku lakukan untuk mencari tau apa benar yang di katakan oleh tetanggaku tersebut.
Sungguh aku sangat kaget. Apa yang dikatakan tetanggaku waktu itu ternyata benar.
Aku melihat suamiku berjalan bergandengan tangan dengan seorang wanita memasuki rumah kami.
Jelas saja aku marah. Aku terbakar emosi. Ingin aku langsung melabrak mereka berdua, tapi kemudian aku urungkan karena sebuah alasan, aku ingin melihat seberapa jauh mereka akan berbuat.
Aku masih mengamati mereka dari kejauhan. Sudah hampir satu jam mereka aku amati dan mereka belum ke luar rumah. Aku semakin panas saja. Saat aku berdiri dari dudukku dan hendak masuk ke dalam rumah, kulihat mereka membuka pintu dan keluar.
Tampak suamiku berbisik ke telinga wanita itu, kemudian suamiku mencium pipi wanita tersebut. Buru-buru aku langsung melabrak mereka.
"Oh, jadi ini maksudmu pak!" kataku dengan nada suara tinggi. Mereka kaget dengan kedatanganku. Suamiku mencoba mengelak saat aku cerca dengan pertanyaan-pertanyaan. Adu mulut pun tidak bisa dihindarkan.
Suamiku tampak diam membisu, kemudian kulihat wajahnya memerah saat aku mengatai-wanita itu.
"Kamu jangan bilang seperti itu pada dia!" suara suamiku.
"Apa?! memang seperti itu kenyataanya kan?!" kataku penuh emosi.
Suamiku menyuruh perempuan itu lekas pergi. Suamiku marah-marah kepadaku. Kami bertengkar hebat, hingga kekerasan pun aku terima dari suamiku.
Wajahku babak belur kena tamparannya berkali-kali. Aku yang tidak sanggup meladeni kemarahannya, akhirnya berlari meninggalkan suamiku, pulang ke rumah orang tuaku.
*
Aku sungguh tidak tau apa keinginan suamiku. Setelah sekian bulan berlalu, aku pun mengajukan gugatan cerai. Hal itu aku lakukan karena suamiku semakin menggila dengan wanita itu, juga pada wanita-wanita lain.
Kini suamiku tidak sama dengan yang dulu, dia kini suka main perempuan. Bergonta-ganti wanita yang diajaknya ke rumah.
Dulu aku tidak mempercayai tetanggaku tentang apa yang diperbuat oleh suamiku. Namun setelah aku sering melihatnya dengan mata kepalaku sendiri, aku pun akhirnya memutuskan untuk bercerai sama dia.
Cukup lama memang proses perceraian kami. Berbulan-bulan aku menunggunya, akhirnya perceraian yang aku ajukan ke Pengadilan Agama berjalan sukses.
Perasaan lega tentu saja aku rasakan setelah sekian lama hidup dibawah bayang-bayang wanita lain.
Menurut kabar yang aku dengar, dia (bekas suamiku) sekarang sudah melarat. Usahanya sebagai pedagang buah di kota sudah gulung tikar, harta yang dia miliki sudah ludes. Tinggal rumah satu-satunya yang ada.
Kabarnya juga, sebentar lagi rumah itu akan berpindah tangan karena dia sudah menawarkan harga rumah tersebut pada orang lain. Padahal rumah itu juga hasil jerih payahku, tapi aku biarkan saja dan tidak sedikitpun aku mengungkit minta bagian atas gono-gini.
Benar juga, rumah kami telah dijualnya dan laku 104 juta. Memang rumah kami tidak mewah sekali juga tidak jelek. Setelah rumah dijual dan mendapatkan uang, bekas suamiku lantas bermain perempuan, judi dan mabuk-mabukan. Cukup sedih memang, biar bagaimanapun dia pernah menjadi suamiku, orang yang sangat aku cintai. Namun mau bagaimana lagi? jalan kami sudah berbeda, ia sudah memilih jalan lain yang menawarkan kenikmatan namun akan menyakitkan dikemudian hari.
Tidak butuh waktu lama dia menjadi melarat dan akhirnya menjadi gelandangan. Semua yang ada pada dia sudah ludes, habis untuk ongkos jalan kemaksiatannya. Kini aku hanya bisa memandangnya sambil mengelus dada, semoga masih ada secercah cahaya menerangi hatinya, untuk kembali pada kebajikan.
Aku sendiri kini sedang mempersiapkan proses pernikahan dengan seorang pria yang datang dan mengutarakan cintanya padaku. (*)
Minggu, 16 Agustus 2015
Cerpen
Nah saiki metu kotak e hehe...
BalasHapusAkhirnya bisa mampir di sini (Cak Maman)
Hehee, iyo mas, itunya muncul sendiri kok.
BalasHapus