Template information

Perjuangan Belum Menghasilkan

Udara siang itu cukup panas, hingga Robert kegerahan dan peluh bercucuran tidak terbendung membanjiri tubuhnya.
Robert terus melangkahkan kakinya menyusuri trotoar jalan perkotaan. Mendadak ia menghentikan langkah, dipungutnya selembar uang dua puluhan ribu yang tergeletak begitu saja di hadapannya.
"Duit? Asik nih, panas-panas begini nemu duit," Robert langsung memungut uang tersebut tanpa memperdulikan keadaan sekitar yang cukup ramai oleh lalu lalang orang dan kendaraan.
Robert melanjutkan langkahnya setelah melipat uang tersebut dan memasukkannya ke saku baju. Sesekali Robert menyeka mukanya dari keringat yang mengalir di wajah dan membuat kulitnya tampak mengkilap.
"Hufff, panasnya hari ini. Ahaaa, beli es cendol dulu ah," Kata dia lirih di ujung bibir, lalu membetulkan letak topi yang ia pakai. Kebetulan satu meter darinya berdiri, ada penjual es cendol yang sering menggelar dagangan di pinggiran ruas jalan itu, tepatnya di bawah pohon Akasia.
"Beli esnya pak," Kata Robert. Penjual pun dengan sigapnya mengambil gelas, mengelapnya sebentar, lalu menuangkan cendol, santan, air gula, dan tentunya es batu yang sudah diremuknya menjadi kecil-kecil.
"Silahkan mas," Kata bapak penjual es setelah memasukkan sendok dan sedotan ke dalam gelas tersebut.
"Terima kasih pak," Ucap Robert yang lantas menyambar gagang gelas, dan langsung menyedot isinya.

"Hemm, segarnya..
Kemana lagi aku harus mencari kerja? Hampir semua tempat kerja di daerah ini aku datangi, namun tidak satupun yang membuka lowongan," Ucap Robert dalam hati. Pandangannya jauh menatap bersama harap.
"Nambah lagi, ya mas," Tanyanya bapak penjual es.
"Tidak pak. Ini sudah cukup," Kata Robert. Sebentar saja segelas es cendol itu sudah habis diminumnya. Setelah membayarnya, Robert melanjutkan langkahnya.
Robert kemudian berhenti di depan sebuah pabrik tidak jauh darinya.
"Ada lowongankah disitu?" Kata dia yang melihat kerumunan orang. Robert pun langsung mendatangi tempat tersebut.
Dia mengamati sebentar tulisan 'Lowongan Pekerjaan' yang tertempel di pintu pagar pabrik.
"Akhirnya aku menemukan tempat untuk memasukkan berkas ini," Robert memeriksa berkas lamaran kerja yang sejak tadi disimpannya di dalam tas pinggang.
"Mesti aku tulis ini tanggalnya. Waduh, kemana ini bolpoint?" Ia tampak mencari-cari bolpoint. Namun yang dicarinya tidak ditemukan.
"Permisi ya mas," Seorang wanita kemudian duduk disamping si Robert.
"Silahkan. Lho, bukankah kamu ini adalah Chelsie? Chelsie anaknya Om Gunawan,"
"Lha, kok kamu mas, hahaa," Wanita tadi tertawa.
"Kamu mau ngelamar kerja juga? Eh Chel, pinjam bolpointnya dong,"
"Ini," Chelsie memberikan bolpoint warna hitam.
"Terima kasih, ya Chel," Setelah selesai, bolpoint aku kembalikan kepadanya.
Aku kemudian memberikan berkas tadi ke pegawai disana, yang kemudian ditumpuknya.

"Kepada semua pelamar yang sudah menyerahkan berkas lamarannya ke kami, silahkan Anda semua ikuti saya," Suara seorang pria kepada kami. Bergegas kami berdiri dan mengikuti pria itu.
"Kita akan kemana ini mas," Tanyanya Chelsie padaku.
"Entahlah, kita ikuti saja," Ternyata kami dibawanya ke sebuah ruangan di gedung itu.
Setelah kami dipersilahkan masuk, ternyata kami langsung diberinya soal test disana. Kami langsung mengikuti test tertulis ditempat tersebut.
Pusing tidak pusing, aku pun menjawab semua test meskipun tidak tau benar apa tidak semua jawabanku.
Aku melihat ke arah Chelsie, dia masih sibuk menyelesaikan testnya.
Aku langsung menumpuk jawaban test ke meja panitia test, selanjutnya aku melangkah keluar ruangan.
"Hufff, sulit bener soal-soalnya. Ah biarkan saja kalau jawabannya pada salah," Kataku. Aku terus berjalan keluar pabrik, disitu aku menunggu Chelsie yang masih mati-matian menjawab semua soal.
"Aku tunggu dia disini saja deh.
Hemmm, cantik juga itu Chelsie. Sepertinya asik kalau dia kujadikan gebetan," Pikirku. Namun, kemudian aku terdiam. Aku berpikir, rasanya tidak mungkin kalau Chelsie kujadikan gebetan, bukankah dia itu masih saudaraku? Meski bukan saudara kandung, pikirku.
Aku menengok ke dalam pabrik, dari arah gedung itu kulihat Chelsie telah keluar dan berjalan keluar pabrik.
"Hei Chel, sini," Kataku.
"Kamu mas. Bagaimana testnya tadi menurutmu?" Kata Chelsie.
"Susah semua soalnya. Aku jadi pusing dibuatnya, hahaa," Kataku.
"Sama dong. Aku juga kesulitan menjawab semua soal.
Kita pulang yuk mas," Ajaknya.
"Ayo. Eh Chel, kita jalan-jalan dulu yuk, nanggung mau pulang ke rumah. Bagaimana?"
"Emmm, jalan ke mana mas,"
"Kemana saja, dan pulang sore nanti. Mau tidak?" Kataku, Chelsie tampak diam.
"Boleh, tapi jalan kemana mas," Kata Chelsie kemudian.
"Bagaimana kalau Taman Kota?" Kataku.
"Tapi aku tidak punya ongkosnya mas,"
"Tenang saja, biar aku yang ngurus ongkosya,"
"Bener?"
"Bener Chel,"
"Terserah kamu saja. Aku benar-benar tidak punya uang buat jalan-jalan," Chelsie memandangku, aku jadi ser seran dibuatnya.
"Ok, sekarang kita ke Taman Kota yuk," Aku dan Chelsie meninggalkan tempat itu. Dengan naik kendaraan umum, kami menuju taman kota.

"Di Taman Kota ini juga panas, ya mas," Kata Chelsie yang tampak kepanasan sesampai kami di Taman Kota.
"Iya nich. Emmm, kita kesana saja yuk Chel," Ku ajak ia ke sebuah kios tidak jauh dari kami. Aku memesan minuman dan makanan.
"Bagaima Chel, apa sudah segar sekarang?"
"Emm, lumayan mas," Jawabnya.
"Chel, selama ini kamu kemana saja? Kok jarak kulihat di rumahmu,"
"Aku di Jakarta mas, di tempatnya pak lek,"
"Oh, ngapain kamu disana, kerja?"
"Nyari kerja, tapi tidak dapat, hehee,"
"Kok bisa? Katanya di Jakarta itu banyak tempat kerja Chel,"
"Iya mas. Tempat kerja sih banyak, tapi yang membuka lowongan kerja itu yang sulit di dapat.
Eh mas, dulu kamu pacaran sama Riana kan?"
"Riana siapa?" Kataku mengernyitkan kening.
"Itu lho, Riana anaknya pak Paidi,"
"Tidak itu,"
"Yang bener mas,"
"Iya bener," Chelsie menatapku dengan tajam.
"Tapi menurut teman-temanku, kalian itu pacaran kok,"
"Teman-temanmu siapa? Aku tidak pernah pacaran sama dia," Kupandangi wajahnya, dia tampak istimewa banget.
"Ya sudah mas, lagian tidak penting banget dibahas,"
"Lha kamu sendiri pacarnya siapa Chel," Tanyaku.
"Aku tidak punya pacar mas,"
"Yang benar,"
"Iya benar. Tidak ada yang mau sama aku mas. Terlalu jelek katanya untuk dijadikan seorang pacar, hehee," Chelsie tertawa kecil dan malah tampak manis sekali ia dengan tawanya itu.
"Mungkin karena kamu yang pilih-pilih kali..., hehee," Kataku kemudian.
"Enggak, aku tidak pernah pilih-pilih dalam mencari pacar. Asal dianya baik dan ngerti dengan aku, aku mau saja menjadi pacarnya,"
"Baik? Kalau cowok baik tapi wajahnya jelek? Masa kamu mau Chel," Chelsie kemudia terdiam. Sepertinya dia pun bakal tidak mau menerima cowok dengan wajah jelek meskipun cowok itu baik.
Chelsie belum menjawab kataku tadi ketika dia kemudian mengajakku pulang. Kami kemudian pulang meninggalkan Taman Kota.

*

Di hari yang sudah ditentukan, Aku dan Chelsie datang ke pabrik dimana kami melamar tempo hari. Hari ini kami kesana untuk melihat pengumuman, diterima atau tidak di pabrik itu.
Aku dan Chelsie berboncengan naik sepeda motor pinjaman milik Kakakku.
"Masih sepi Chel," Kataku sesampai di pabrik itu.
"Iya mas, padahal sudah siang lho.
Tunggu disini sebentar mas, biar aku tanya ke dalam sana," Chelsie kemudian masuk ke dalam pabrik. Kulihat dia bertanya pada Security di pos penjagaan.
"Ada yang bisa kami bantu?" Kata seorang Security pada Chelsie.
"Iya pak. Maaf, apa pengumuman lamaran kerja disini sudah di umumkan pak,"
"Anda melamar disini juga, ya. Coba kamu lihat di pengumuman yang tertempel di kaca itu," Tunjuk Security.
Aku lihat, Chelsie mengamati kertas yang tertempel di kaca pos penjagaan. Kemudian ia memanggilku.
"Mas, sini," Panggilnya. Aku pun ke tempat itu.
Aku meneliti nama-nama yang berderet di kertas tersebut, bolak-balik. Namun namaku tidak tertera disitu.
"Ah, namaku tidak ikut tercatat disini. Hemmm, gagal maning son," Kataku.
"Namaku juga kok mas, tidak ada disini," Chelsie tampak kecewa.
"Berarti kita tidak diterima dong Chel? Hehee,"
"Begitulah," Kata Chelsie dengan enteng.
"Bagaimana? Apa nama kalian ada disitu?!" Tanyanya Security yang berdiri di dekat kami.
"Tidak pak.
Terima kasih, ya pak. Kami permisi," Kataku. Aku dan Chelsie meninggalkan tempat itu dengan perasaan kecewa.
"Kita mau kemana ini Chel, langsung pulang atau kemana,"
"Langsung pulang saja mas," Jawabnya dengan raut muka yang lesu.

"Beginilah mas, aku malas kalau akhirnya seperti ini. Sudah capai-capai tapi tidak juga diterimanya," Suara Chelsie putus asa.
"Iya Chel, aku juga malas ngelamar pekerjaan kalau selalu seperti ini. Gagal lagi, gagal lagi," Seperti halnya Chelsie, aku pun tidak bisa menyembunyikan kekecewaanku. Rasa lelah pikidran dan tenaga tapi belum juga pekerjaan kudapatkan. Memang lebih baik berwirausaha sendiri dari pada mengharapkan kerja di tempat orang lain, pikirku. (*)

0 Response to "Perjuangan Belum Menghasilkan"

Posting Komentar

wdcfawqafwef