"Sudahlah Ren, jangan kamu larut
dalam kesedihanmu," Kata Fauzan
yang lantas memberikan kacu/sapu
tangan pada Reni. Gadis bernama
Reni tampak tersedu. Ia baru saja
diputus oleh Kurniawan, kekasih
yang sangat dicintainya.
"Terima kasih Zan. Tapi aku sangat
menyintainya Zan.., sulit buatku
untuk menerima kenyataan ini,"
Kata Reni sembari mengelapkan
sapu tangan ke kedua matanya.
Kedua mata gadis bernama Reni itu
tampak sembab karena sedari tadi
ia menangis. Fauzan yang baru
datang menemuinya sampai tidak
tega melihat temannya tersebut.
"Iya, bersedih sih boleh saja.
Namun jangan terlalu Ren, apakah
dengan kamu menangis seperti ini
lantas Kurniawan akan balikan?
Tidak bukan?!" Kata Fauzan. Reni
terdiam. Dipandanginya langit
yang tampak murung karena
mendung hitam menggantung.
Ditariknya nafas panjang,
kemudian dihembuskannya penuh
kesedihan, seakan ingin berbagi
dengan alam, dan mengatakan
"Langit, aku tidak ubahnya seperti
kamu kini, yang diliputi
kegelapan,".
Kembali Reni menyeka air matanya
yang masih berlinang. Sebentar ia
menatap Fauzan, pemuda itu masih
setia menemaninya. Senyum kecut
tersungging di bibirnya Reni.
"Zan, apakah aku akan sanggup
menerima semua ini," Serak suara
Reni.
"Kenapa tidak Ren. Putus cinta
bukanlah akhir dari segalanya,"
Kata Fauzan.
"Tapi Zan, hal ini terasa berat
buatku,"
"Jangan seperti itu Ren. Kamu
harus kuat.
Ada banyak yang mengalami
serupa denganmu, bahkan lebih
berat, tapi mereka bisa
melewatinya dengan ketegaran,
karena mereka tau kalau hal itu
bukanlah akhir dari semuanya.
Mereka bisa bangkit dari
keterpurukannya karena mereka
yakin kalau masih ada kebaikan di
dunia ini untuk mereka, dan kamu
harus bisa seperti mereka Reni,"
Ujar Fauzan, dan tanpa disadari,
tangannya telah menggenggam
telapak tangannya Reni. Reni
memandang wajah Fauzan, ingin
dia meminta pada pemuda itu agar
melepaskan genggamannya.
Namun, entah kenapa, ia malah
merasakan ada ketentraman atas
remasan lembut yang dilakukan
Fauzan.
Keduanya saling pandang. Fauzan
tersenyum, Reni membalasnya
dengan menundukkan wajahnya.
Ada rasa malu pada diri gadis
tersebut.
"Reni, apakah kamu sudah
merasakan sedikit kelegaan
sekarang?" Tanyanya Fauzan
dengan tatapan lembut. Reni
menghela nafas, diangkatnya
tangan pemuda itu dari tangannya.
"Sedikit," Jawabnya.
"Syukurlah. Aku yakin, kalau kamu
bisa menjalani ini semua, dan bisa
seperti dulu lagi, ceria, selalu
tersenyum pada dunia,"
"Iya Zan,"
"Karena sudah malam, sekarang
aku pamit pulang, ya,"
"Tapi Zan,"
"Tapi kenapa Ren?"
"Aku masih perlu ditemani kamu,"
"Iya Ren. Sebenarnya aku juga
masih ingin menemanimu, tapi
karena sudah malam dan tidak baik
buat kita berlama-lama berduaan,
meskipun ini adalah rumahmu.
Sudah dulu, ya. Aku pulang dulu
Ren," Fauzan berdiri dari duduknya.
Reflek, tangan Reni memegang
lengan Fauzan. Pemuda itu
memandangi wajah gadis tersebut,
ia heran saja sepertinya Reni tidak
mengijinkan dirinya pulang.
"Zan," Reni tidak meneruskan
ucapannya.
"Iya, ada apa Ren?" Fauzan
mengernyitkan dahi.
"Tidak apa-apa kok. Hati-hati di
jalan, ya," Kata Reni kemudian.
"Iya Ren. Aku pulang dulu, ya,"
Fauzan melangkah meninggalkan
temannya tersebut. Reni menatap
langkah Fauzan dengan senyum
mengembang.
*
"Perasaan apa ini? Kenapa aku
merasakan kedamain kalau dekat
dengan Fauzan?!
Sangat berbeda saat Aku bersama
Kurniawan waktu itu. Meski dia
pacarku waktu itu, tapi aku tidak
pernah merasakan ketentraman
saat dekat dengannya," Reni
termenung sendiri di dalam
kamarnya. Rasa sakitnya pada
Kurniawan dicobanya dibuang
jauh-jauh. Kini ia menatap kedepan
untuk meraih yang lebih baik, yang
tentu saja bisa di dapatnya.
Dia menoleh ke arah sapu tangan
milik Fauzan yang tadi
diletakkannya di atas meja. Gadis
itu meraih sapu tangan tersebut,
dibentangkan dan di amatinya,
tidak ada yang menarik pada sapu
tangan tersebut. Namun entah
kenapa, Reni tampak senyum-
senyum sendiri.
Berlahan desahan keluar mulutnya.
"Arggghhh, Fauzan," Reni
menghempaskan tubuhnya ke
tempat tidur. Matanya dipejamkan,
perlahan bayang wajah Fauzan
menghampiri pikirannya.
Reni bangkit dari tidurannya. Ia
menatap cermin disebuah lemari
pakaian miliknya. Kedua telapak
tangan ia tempelkan ke pipinya
yang mulus menggemaskan. Reni
tersenyum. Wajahnya yang tadi
kusut, sekarang sudah tampak
rona keceriaan.
"Fauzan, apa aku... Ah tidak," Gadis
itu tidak meneruskan ucapannya.
Ia meraih sapu tangan
disampingnya, kiranya ada sesuatu
yang membuatnya pada cercah
keyakinan. Yach, keyakinan untuk
mendapatkan kembali cinta yang
sempat porak poranda, tapi cinta
itu bukan dari Kurniawan, lelaki
yang telah menyakitinya.
**
Langit mendung telah
mengguyurkan hujannya, meski
tidak lebat.
Fauzan bergegas mengenakan jas
hujan yang lantas menuju ke
tempat Reni. Pagi itu, Fauzan
memang diminta oleh gadis
tersebut untuk datang ke
rumahnya.
Sebagai teman yang baik, tentu
saja Fauzan memenuhi permintaan
sahabatnya tersebut, apalagi ia
tahu benar keaadaan Reni yang
sangat membutuhkan ditemani
karena keguncangan jiwa yang lagi
membelitnya.
Tanpa ada perasaan apa-apa pada
Reni, pemuda itu terus melaju
dengan sepeda motor bututnya.
Berulangkali ia menghindar dari
lubang jalan yang tergenangi air.
Tidak berapa lama, Fauzan sudah
tiba di depan rumah sahabatnya
tersebut.
"Assalamu'allaikum.., permisi..,"
Ucap Fauzan. Reni yang mendengar
salam tersebut langsung
membalasnya, dia bergegas keluar
dari kamarnya.
"Wa'allaikum mussalam, Fauzan.
Silahkan masuk Zan," Kata Reni
dengan senyum mengembang.
Fauzan pun masuk dan duduk di
kursi ruang tamu.
"Emmm, sepertinya kamu ceria
banget Ren?" Kata pemuda itu
dengan terus memperhatikan Reni.
"Masa sih Zan," Reni tampak tersipu
malu.
"Iya benar. Hal apa yang
membuatmu ceria sih Ren?!"
"Ada deh,"
"Kok ada deh. Hal apa sih..?"
"Rahasia dong,"
"Wuih pakai rahasia segala. Ya
sudah kalau rahasia.
Kok sepi? Pada kemana orang
tuamu," Fauzan mengelap
wajahnya yang tampak basah oleh
air hujan.
"Orang tuaku pada kerja.
Sebenarnya aku ceria seperti ini
karena kamu Zan. Mau minum
apa?"
"Kok bisa karena aku sih?
Memangnya aku telah berbuat apa
sama kamu," Fauzan mengerutkan
kening.
"Mau minum apa?"
"Apa saja, yang penting
menghangatkan tubuh,"
"Ok. Sebentar, ya," Kemudian gadis
itu meninggalkan Fauzan guna
membuat minuman.
Sebentar kemudian, Reni telah
kembali dengan dua gelas teh
hangat dan beberapa pisang
goreng yang tadi dibelinya di
warung sebelah rumahnya.
"Silahkan Zan," Reni meletakkan
minuman dan makanan
ditangannya dan menawarkan
sama sahabatnya, Fauzan.
"Iya Ren, terima kasih. Wah wah
wah.., cocok banget ini dengan
cuacanya, hehee,"
Mereka kemudian saling mencicipi
teh hangat dan pisang goreng di
hadapan mereka. Reni tampak
senyum-senyum melihat Fauzan.
Melihat Reni seperti itu, Fauzan pun
lantas bertanya kepada Reni, apa
yang membuatnya senyum-
senyum.
"Kenapa kamu tersenyum Ren?
Adakah yang lucu pada diriku,"
"Emm, tidak,"
"Lalu?"
"Aku seneng saja melìhatmu,"
"Seneng? Oh, kirain ada hal lain,"
"Memang iya,"
"Maksudnya?"
"Aku seneng kalau kamu ada di
dekatku," Reni kemudian sedikit
menundukkan wajahnya.
"Emm, aku tidak faham Ren. Tapi,
bukankah aku sering berada di
dekatmu,"
"Iya Zan. Aku merasakan ada
ketentraman saat kamu di
dekatku," Kemudian Reni terdiam.
Fauzan memandangi gadis di
depannya dengan seksama. Apa
yang dirasakan oleh Reni tersebut
sebenarnya telah lama juga ia
rasakan.
Sebenarnya ada perasaan aneh
bagi Fauzan pada Reni. Namun dia
tidak tau perasaan apa itu.
Mereka saling beradu pandang,
desir darah serasa mengalir dengan
cepat pada diri masing-masing.
"Kenapa Zan?" Tanyanya Reni saat
ia melihat Fauzan agak gugup
ketika beradu pandang
selanjutnya.
"Tidak kenapa-kenapa Ren,"
"Oh. Zan, apa kamu akan menerima
ungkapan seorang cewek yang
menyatakan perasaannya
kepadamu, sementara kamu tau
kalau cewek itu adalah temanmu,"
Sejenak Fauzan tertegun, ia
mengira-ngira apa maksud dari
perkataan Reni barusan.
"Maksudmu Ren?"
"Maksudnya, ya itu tadi," Reni
menatap Fauzan tidak berkedip.
"Entahlah Ren. Emm, kalau boleh
tau, siapa orang yang kamu
maksud hendak mengungkapkan
perasaannya kepadaku,"
"Aku,"
"Kamu?"
"Iya, aku. Apa kamu akan
menerimanya?"
"Emm, apa maksudmu kamu
mencintaiku?" Kata Fauzan.
"Iya," Jawab Reni dengan tegas.
Fauzan yang mendengar hal itu,
sejenak terdiam.
"Apa kamu tidak salah ngomong
Ren,"
"Tidak. Aku baru sadar Zan kalau
ternyata aku mencintaimu,"
Ruangan itu kemudian terasa
hening. Masing-masing diri terdiam
dalam perasaan. Tidak lama
berselang, Fauzan pun mengatakan
pada Reni, bahwa ia pun
mengalami hal sama, yakni merasa tentram saat mereka berdua
bertemu, berdekatan dan saling
mencurahkan.
Saat itu juga, Reni dan Fauzan mulai merajut tali cinta mereka berdua. (*)
Selasa, 01 September 2015
Cerpen
0 Response to "Sedihku Terhapuskan Oleh Dia"
Posting Komentar