Bermodalkan alamat dan uang secukupnya, hari itu aku berangkat juga ke Jakarta.
Aku naik bus kelas ekomi yang di dalamnya sudah penuh sesak penumpang lain. Mataku nanar menyapu semua kursi yang tersedia, tapi sudah terisi semuanya. Aku pun menggelantungkan diri berpegang pada pipa besi panjang di bawah atap bus.
Ku seka keringat yang mulai mengucur di wajah, gerutu pun sempat terlontar di bibir, meski lirih bersama nafas mulut yang mulai terasa bau.
"Oek.. oek oek, oek..," Aku menoleh ke suara tangisan bayi. Disana, seorang bayi mungil menangis tiada henti dalam gendongan sang ibu.
Suasana dalam bus serasa sumpek, di tambah lagi bayi yang menangis yang mana seperti membuat kebisingan saja. Benar-benar membuat kepalaku pusing.
"Cup cup cup sayang," Ibu muda tampak menenangkan bayinya yang menangis. Sambil menepuk-nepuk pelan pantat sang bayi, ibu muda itu tampak gelisah. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri seperti mencari sesuatu.
Bus berjalan pelan, kemudian minggir dan berhenti. Seorang penumpang turun. Bergegas aku menempati kursi yang ditinggalkan penumpang tadi.
"Kenapa dengan bayinya mbak..?" Tanyaku pada ibu muda di sampingku.
"Tidak ini mas," Ibu muda itu mengipas-ngipaskan lipatan kertas koran ke tubuh sang bayi. Namun ia tetap saja rewel. Sebentar kemudian ibu muda itu menyusui sang anak. Aku pun dengan cepat memalingkan pandangan, karena aku tidak ingin melihat sesuatu yang sedang bayi itu isap-isap.
Kegerahan sepertinya bukan aku saja yang merasakan di dalam bus. Ku lihat, wajah-wajah mereka pun tampak memerah menahan udara panas.
"Permisi," Jreng..!
Dua orang pengamen telah berada di dalam bus dan langsung memainkan gitarnya. Sebuah lagu bergenre Pop mereka nyanyikan. Semula aku acuh pada pengamen itu. Namun diriku bergetar ketika lagu yang mereka nyanyikan mampu menyentuh relung jiwaku. Yah, sebuah lagu yang tidak asing lagi buatku, dimana dulu Aku dan Renita sering menyanyikannya.
Tidak terasa, kedua mataku berkaca-kaca. Aku menerawang jauh ke masa silam dimana lagi duduk berduaan bersama Renita.
Saking jauhnya diriku berada di masa yang menyenangkan itu, sampai-sampai aku tidak sadar kalau ada sebuah tangan menyodorkan tempat bekas bungkus permen di depanku.
"Oh ini," Uang seribuan ku masukkan ke bungkus permen yang pengamen sodorkan tadi. Aku hempaskan kepala ke belakang. Mataku memejam. Kesedihan kembali kurasakan.
"Mbak mau ke Jakarta kan?"
"Iya mas. Kenapa mas?" Ibu muda tadi memandangku tidak berkedip.
"Emmm, sama kalau begitu mbak," Kami kemudian berbincang. Aku juga bertanya pada dia akan letak alamat yang aku tunjukkan pada ibu muda berwajah manis tersebut. Ibu muda itu pun menjelaskannya dengan gamblang. Meskipun aku belum pernah ke Jakarta dan tidak tahu seperti apa Jakarta itu. Namun dengan gambaran yang telah wanita itu jelaskan, aku menyimpulkan bahwa ibu kota Jakarta itu memang terasa angker buat pendatang baru seperti halnya saya.
Bus terus melaju. Menjelang pagi kami sudah tiba di terminal Pulau Gadung. Aku mengamati kondisi sekitar dengan bersikap tenang seolah sudah mengerti situasi terminal tersebut.
Ku amati beberapa kendaraan umum yang keluar masuk dan berjajar di terminal. Sengaja diriku tidak bertanya pada orang-orang di terminal itu karena dengan alasan agar mereka tidak memanfaatkan diriku yang di anggapnya sebagai mangsa empuk bagi mereka. Kita kan tahu bagaimana beringasnya orang-orang terminal jika mengetahui ada mangsa empuk dari daerah bukan?
Berbekal penjelasan dari si embak (ibu muda yang duduk di sampingku) waktu itu, kemudian aku mencari kendaraan yang menuju ke daerah dimana Renita tinggal.
Sebentar saja kutemukan kendaraan yang akan mengantarkan diriku ke daerah tempat tinggalnya Renita.
Perasaanku berdebar ketika kendaraan yang aku tumpangi telah keluar dari terminal Pulo Gadung. Saat itu, yang terpikirkan hanyalah bertemu dengan Renita.
~o00o~
Sinar matahari hangat menyinari kulit tubuh ketika diriku sudah sampai di Sub Terminal di daerah itu. Aku mengamati sebentar keadaan sekitar sebelum diriku turun dari mobil yang ku naiki.
Aku buka tutup botol air mineral yang sedari tadi ku pegang. Lantas ku kunyah sepotong roti yang telah ku gigit.
"Mau kemana Bang? biar saya antar," Suara seorang bapak berkulit sawo matang kepadaku. Aku menatapnya, ada keraguan tiba-tiba menyergap diriku untuk menjawab pertanyaannya tadi. Bapak itupun mengulangi kata-katanya.
"Mau ke Rawa Buaya pak," Jawabku dengan agak keras.
"Rawa Buaya, biar bapak antar, ya," Ucapnya.
"Berapa ongkos ke Rawa Buaya pak?"
"40 ribu,"
"Hah? mahal sekali," Kataku terperangah. Padahal aku sendiri tidak tahu berapa ongkos pastinya ke Rawa Buaya, karena Rawa Buaya itu dimana aku pun tidak tahu.
"Ya sudah, 35 ribu" Kata bapak itu memandangku dengan tatapan mata yang sayu. Sepertinya bapak itu orang baik-baik, pikirku. Aku kemudian mengiyakannya. Kami pun meluncur ke alamat yang di tuju.
Dalam perjalanan menuju Rawa Buaya, aku mengajak bapak tadi berbincang, dengan maksud agar diriku lebih mendapatkan informasi seputar metropolitan.
"Oh, jadi kamu dari Jawa. Jawa-mu mana?"
"Saya dari Jawa Tengah pak," Jawabku. Tidak kusangka sebelumnya, ternyata bapak itu juga berasal dari Jawa Tengah, dan keakraban kemudian bisa aku rasakan.
Aku menatap kepergian pak Rahmat, pria yang telah mengantar diriku sampai ke alamat Renita. Ku amati alamat rumah bapak tersebut sebelum kumasukkan ke dalam dompet.
Aku berdiri di depan sebuah rumah sederhana berpagar metalic.
"Inikah rumah yang ia tempati?" Tanyaku dalam hati. Aku lihat alamat di secarik kertas yang kemarin Jamilah berikan kepadaku. Memang benar, nomer rumahnya sama dengan di kertas lagi kupegang.
Meski ada perasaan takut, aku beranikan juga untuk mengetuk pagar pintu itu. Namun tidak juga keluar yang empunya rumah.
"Jangan-jangan dia sudah tak disini," Ucapku.
Dari dalam rumah tersebut kemudian keluar seorang wanita dan memandang ke arahku.
"Permisi bu. Apa benar ini tempat tinggalnya Renita Saraswati?"
"Kamu ini siapa? Saya tidak kenal dengan yang namanya Renita... siapa tadi?" Wanita itu tampak mengerutkan kening. Seketika diriku mulai gundah, cemas, karena tadi dia bilang kalau tidak mengenal Renita Saraswati.
"Maaf, apakah ibu tahu siapa yang menempati rumah itu sebelumnya?"
"Tidak," Jawabnya agak ketus.
"Emm, bolehkah saya tahu siapa pemilik rumah yang ibu tempati ini, dan dimana alamatnya?"
"Tidak tahu," Wanita itu kemudian masuk ke dalam rumah.
Aku benar-benar kelimpungan. Mendadak aku lemas.
Aku melangkah pergi. Pencarianku sia-sia, gumamku.
Aku pun memutuskan untuk pulang kembali ke rumahku di Jawa Tengah.
Kutinggalkan ibu kota dengan perasaan kecewa.
(bersambung).
0 Response to "Mencari Sebuah Cinta Yang Hilang, Part 2"
Posting Komentar