
Aku menatapmu dengan perasaan takut saat piring itu jatuh dan pecah hingga nasi berhamburan di tanah
Aku menangis sesungukan saat engkau menjewer telingaku, sudah ku jelaskan tapi engkau tidak mengerti
Aku berlari dari hadapanmu mencari ayah, tapi beliau tidak ada karena sedang bekerja
Engkau mencariku dengan nasi di atas piring yang ibu pegang, tapi aku bersembunyi dibalik tumpukan kayu dan engkau tidak melihatnya, ibu
Aku menggigil dalam ketakutan karena engkau tidak pernah marah kepadaku seperti itu, ibu
Selama ini engkau selalu membelaiku dalam kasih sayangmu
Selama ini engkau tidak pernah menghardikku, ibu
Dan kini aku benar-benar takut kepadamu, ibu.
"Jarot.............!!!" Suara ibu yang melihat piring nasi di tanganku jatuh ke lantai tanah. Aku menatapnya takut, beliau melotot marah.
"Aduh bu, sakit. Hu hu hu hu huuuuu...," Tangisku karena telinga kiri dijewernya kencang.
Ibu mencak-mencak menghardik diriku. Aku yang masih kecil itu hanya bisa menangis. Sudah aku jelaskan bahwa tidak sengaja piring itu menyenggol tiang rumah dan jatuh saat aku berjalan, tapi ibu tidak mau tahu.
Aku yang belum pernah melihat ibu semarah itu pun ketakutan. Aku berlari dari hadapannya dan bersembunyi karena hendak memeluk ayah pun beliau tak ada di rumah.
Dengan sesungukan, aku menutupi tubuhku memakai lembar karung goni yang tergeletak di tumpukan kayu samping rumah.
Aku lihat ibu mondar-mandir mencariku dengan masih memegang sepiring nasi yang baru diambilnya.
"Jarot....., dimana kamu?! Ini nasinya!" Suara ibu itu tak membuatku keluar dari tempat persembunyian, malah aku semakin ketakutan.
Aku lihat dari celah karung goni, ibu terlihat panik karena tidak menemukan diriku.
Setelah beberapa jam diriku bersembunyi akhirnya keluar juga karena sudah tidak tahan menahan rasa mules. Aku berlari masuk ke dalam rumah. Ibu memandangku penasaran dan menanyaiku, tapi aku diamkan saja. Diikutinya diriku yang masuk ke WC.
"Kurang ajar kamu Jarot..., ditanya meringis saja, diikuti malah masuk ke WC, beol. Huh, dasar!" Suara ibu ngedumel sendiri.
Sebagai orang tua yang baik, ibu tidak lagi memarahiku karena ia sangat sayang kepada anaknya.
Di dudukkannya diriku di kursi, lalu ibu menuturkan beberapa kalimat nasehat kepada diri ini agar berhati-hati dan bersikap sopan saat makan ataupun dalam melakukan apa saja dan dimanapun diriku berada.
Ibuku memang suka seperti itu, jika beliau marah-marah kepadaku tidak sampai lama dan habis itu diriku dinasehati dengan perkataan lembut meskipun dan tidak menghardik lagi.
Belaian seorang ibu sangat aku rindukan saat diri ini sudah besar dan pergi meninggalkannya untuk merantau ke tanah orang. Sering aku menatap kosong jauh memandang karena rinduku kepada ibu.
Ibu, beliau telah membesarkan diriku hingga aku bisa berbuat sesuatu untuk khalayak banyak, meskipun aku sendiri merasa tak mampu.
Apa yang sudah aku capai hingga kini adalah tidak lepas dari peran seorang ibu yang sangat kuhormati, kusegani, kusayangi, karena beliau telah mendidikku dengan baik sampai diri ini menjadi orang berguna. Do'a ibu selalu mengiringi disetiap langkah dan nafasku.
Sungguh besar kasih sayang yang telah ibu berikan kepada sang anak.
Sungguh nista jika srorang anak yang kemudian menyengsarakan ibu dan bapaknya.
Aku terkejut, telfon berdering. Ku angkat telfon tadi dan... kakak menelfonku, kemudian phonsel itu diberikannya kepada ibu. Suara ibu dari seberang menggetarkan jiwaku. Seketika menetes butiran bening membasahi pipi kusam ku.
Aku sesungukan menahan tangis dalam kerinduan kepada ibu.
Suara beliau serak kering seperti tengah terjadi sesuatu.
"Iya bu, ini aku anakmu.
Ibu kenapa, sakit kah?" Tanyaku karena suara beliau berubah.
"Iya nak, sudah sebulan ibu tergeletak di tempat tidur, tidak bisa apa-apa," Ibu membuatku semakin tak kuasa menahan kesedihan. Saat itu juga setelah aku pamit sama sang majikan tempatku bekerja, diriku langsung terbang menuju kampung halaman.
Perjalanan dari rantau ke kampungku memakan waktu cukup lama, hampir seharian penuh naik pesawat dan bus.
Diriku langsung shock setibanya di rumah. Kulihat di rumah ada banyak orang berkerumun.
"Ada apa ini pak lek, kok ramai sekali?" Tanyaku pada pria berpeci hitam lusuh.
"Tenangkan dirimu Zak, ibumu telah meninggal tiga jam yang lalu,"
"Apa?!!!" Aku langsung berlari masuk ke dalam rumah dengan tas masih tergantung di pundak.
Semua orang menatap ke arahku. Aku menangis tersedu. Aku peluk jasad yang telah terbungkus kafan itu. Aku luruh dalam tangis kesedihan.
Ibu yang selama ini mengarahkan anak-anaknya dalam kasih sayang, kini telah berpulang dan tak akan pernah kembali lagi.
Aku terduduk lusuh di lantai dengan bersandarkan dinding papan yang sudah lapuk, hingga diriku dibangunkan oleh bapak dan kakakku.
"Ibu, aku selalu merindukanmu meskipun engkau telah tiada," Ucapku lirih dengan mengusap air mata. Kupandangi gundukan tanah itu dengan perasaan sangat kehilangan, sebelum kami melangkah meninggalkannya, sendirian.
Kini aku rindu akan belaian kasih sayangmu, ibu. (*)
0 Response to "Kerinduanku Pada Ibu"
Posting Komentar