Template information

Story: MEMOTRETNYA

Aku masih duduk di dalam rumah, ketika mendung bergelayut di langit.
Rasa ragu tiba-tiba menyeruak saat mataku MEMOTRETNYA. Hitam bergumpal, berarak teriring hembusan angin.
Benar saja, hujan deras tiba-tiba turun dengan derasnya disela gelegar guntur menggema di angkasa.

"Apa aku harus tetap di rumah?" Pertanyaanku dalam sedikit rasa takut. Sementara istriku yang tadi sibuk di dapur, datang dengan membawakan secangkir kopi panas.

"Bapak tidak usah berangkat ya. Hujannya sangat deras," Suara istri yang lantas merapatkan tubuhnya ke tubuhku.

"Bagaimana ya bu, pekerjaan kemarin harus terselesaikan hari ini," Kataku dengan menopangkan tangan ke dagu. Sebentar aku berdiri, keluar rumah mengamati cuaca yang rasanya tidak memungkinkan buatku untuk menyelesaikan pekerjaan.
'DUEEERRR!' Bunyi petir kembali menggelegar seperti menyambar. Aku terkejut sampai terjingkat. Buru-buru aku berlari masuk kembali ke rumah.

"Itu kan pak, petirnya keras-keras,"

"Iya bu," Kataku sambil membetulkan kain sarung yang kedodoran.
Sejurus kemudian aku menyeruput kopi panas buatan istri. Hemmm hangat dan nikmat, kataku lirih.
Aku celingak-celinguk, mencari si kecil yang biasanya jam segini sudah bermanja dipangkuanku.

"Ada apa pak?" Tanyanya istriku.

"Jagoan kita mana bu,"

"Dia masih di kamar pak. Masih tidur," Jawabnya.

"Oh," Aku lantas menuju ke kamar. Kulihat jagoanku masih terlelap dibelai mimpinya.
Aku mendekat ke arahnya. Kudaratkan satu ciuman ke kening anakku. Aku tersenyum. Aku bahagia mempunya anak seperti dia, masih kecil namun sudah menampakkan kebaktiannya pada kedua orang tua.
Aku bangga pada jagoanku, karena dia termasuk anak yang cerdas dan tidak nakal.

Dari balik bening kaca jendela kamar, terlihat kilatan-kilatan petir menyilaukan. Antara iya dan tidak, aku terus berpikir, mempertimbangkan untuk mengambil keputusan (berangkat atau tidak).
Sementara jarum jam sudah menunjukkan pukul 05.50 wib. Namun hujan belum juga reda.
Sebenarnya bukan karena hujan aku takut, tapi karena langit yang menghitam dan petir yang menggelegarlah yang membuatku gentar.
Ketakutanku akan cuaca alam seperti ini dikarenakan beberapa waktu lalu aku melihat, dua orang yang berkendara di jalan tiba-tiba tersungkur dan meninggal oleh sebab tersambar petir. Mereka meninggal dengan tubuh hangus di beberapa bagian. Potret itulah yang sampai kini membuatku takut kalau mau bepergian disaat cuaca mendung tebal disertai angin kencang dan guntur menggelegar.

*

Aku lihat tubuh jagoanku menggeliat. Aku tersenyum ketika dia membuka mata terpicing-picing. Dia bangun dan duduk di kasur.

"Bapak," Suara anakku memanggil.

"Iya nak," Aku raih tubuh jagoanku. Aku bopong tubuhnya keluar kamar dengan kasih sayang.

"Ibu," Anakku memanggil ibunya. Istriku pun tersenyum. Aku ciumi dia yang memang menggemaskan.
Sementara, kelihatannya hujan sudah mereda. Kutengok langit yang tadi hitam karena mendung tebal kini telah tersapu awan putih melukis angkasa.

"Aku akan segera berangkat bu," Kataku pada istri.

"Tapi pak," Kata istriku yang mungkin agak ragu padaku. Aku mengangguk. Bergegas aku mempersiapkan diri.

"Aku berangkat dulu bu, sayangku, emmmuaaachh," Aku berpamitan pada istri dan anakku. Tidak lupa, aku menciumi mereka sebelum aku melangkahkan kaki meninggalkan rumah.
Mereka adalah semangatku, untuk mendapatkan sesuatu dalam hidupku.
Semua yang kudapatkan adalah untuk mereka, karena itu tanggung jawabku.
Aku terus melaju ketempat kerja diantara gerimis yang belum mereda. (*)

Related Posts :

0 Response to "Story: MEMOTRETNYA"

Posting Komentar

wdcfawqafwef