Raungan suara sepeda motor begitu keras memekakan telingaku. Seorang anak remaja sedang duduk di atas sepeda motor 'Satria' sambil memain-mainkan gas tangan sepeda motor tersebut.
Kulihat remaja tadi berulang kali menjongkokkan tubuhnya dengan tangan kiri mengotak-ngatik kaburator mesin, sedang tangan kanannya memainkan gas tersebut.
Aku terus mengamati remaja tadi. Bukan karena apa, tapi aku heran dan penasaran saja pada remaja itu. Tidak seperti biasanya ada orang memblayer-blayerkan motor di depan sekolahanku.
Sebentar remaja dengan berseragam SMA itu menoleh ke arahku. Aku lihat ada kekesalan terpancar dari wajahnya. Mungkin sepeda motornya lagi rewel, pikirku.
Aku hendak membalikkan tubuh menuju ke dalam kelas. Namun, 'Duer!' suara benturan aku dengar. Remaja itu kulihat telah turun dari sepeda motornya dan menendang body kendaraan tersebut.
'Sial!' seucap kata terlontar keluar dari remaja tadi. Aku pun hanya tersenyum melihat tingkahnya. Aku berjalan masuk ke dalam kelas karena bell pelajaran sudah berbunyi.
Entah kenapa, sewaktu aku berada di dalam kelas, wajah remaja itu malah sering melintas di pelupuk mataku.
Aku mencoba mengingat-ingat wajahnya. Ternyata tidak lain dan tidak bukan, dia adalah teman dari kakakku. Yach, ia teman kakakku. Dia bernama Aan Al Hasim.
Aku jadi tidak konsen pada pelajaran sekolah waktu itu. Aku jadi kepikiran Aan, remaja yang tadi memblayer-blayerkan motornya. Aku hanya merasa kasihan saja andai sepeda motor itu macet kemudian dia harus mendorongnya ke bengkel terdekat.
Sepulang sekolah. Aku seperti biasa, duduk di depan rumah sebentar sambil melihati kendaraan yang berlalu lalang di jalan, karena memang rumahku berada persis dipinggiran jalan raya.
Pandanganku tertuju pada seorang anak remaja yang masih berseragam sekolah SMA. Dia berhenti di depan rumahku, lantas kendaraannya di parkirkan begitu saja di halaman rumah yang sempit.
Aku tersenyum. Dia adalah mas Aan teman kakakku.
"Kakakmu ada?" tanyanya kepadaku. Penampilannya cuek tapi asik, menurutku.
"Kakak lagi keluar. Sebentar juga balik," jawabku.
"Oh. Ya sudah, biar aku tunggu saja. Keluar kemana kakakmu?" tanyanya, lantas duduk di kursi sebelahku.
"Keluar ke warung. Katanya mau beli obat sakit gigi," aku tersenyum sendiri, karena teringat kejadian tadi saat mas Aan menendang body motornya.
Aku memandang ke arah mas Aan, dia tampak cuek tapi mengasikkan.
"Dia sakit gigi? Hahaa,"
"Kenapa tertawa mas?"
"Tidak. Oh iya, tadi itu kamu kan yang berdiri di sekolahan saat aku membetulkan motor?!"
"Iya mas. Emm, tadi aku kira siapa, eh ternyata kamu mas. Memangnya tadi itu kenapa sepeda motornya?" setelah aku bertanya begitu, aku minta pamit untuk masuk ke dalam rumah. Tidak lama kemudian aku kembali keluar dengan membawakan air putih dan kacang kulit sisa semalam.
"Anu, motorku ngadat. Hufff, padahal nanti mau ikut balapan," kata dia yang lantas menatap sepeda motornya.
"Balapan? Mas Aan suka balapan?"
"Iya. Kenapa?"
"Tidak kenapa-kenapa. Silahkan mas, tapi maaf cuma adanya ini," aku menawarkan segelas air putih dan kacang kulit dalam toples kecil. Kami saling beradu pandang sebentar, lantas aku menundukkan wajahku. Kemudian aku kembali memandangnya, ternyata mas Aan terus memandangiku. Aku pun malu karenanya.
"Hei An, sudah lama?" tanyanya kakakku yang baru datang dari warung.
"Baru saja kok Ndik. Kamu sakit gigi ya?"
"Kok tau,"
"Kata adikmu.
Bagaimana ini? Motorku lagi rewel-rewel Ndik," kata mas Aan dengan memandang motornya. Aku yang tidak ingin mencampuri urusan mereka, kemudian aku masuk ke dalam rumah.
*
Kakakku yang bernama Andik memang sudah lama berteman dengan mas Aan Al Hasim. Mereka biasanya sering ngumpul di rumah kami. Kalau mereka lagi ngumpul di rumah, aku menjadi senang banget, pasalnya ada salah satu dari mereka yang sangat aku sukai, yakni Tresna.
Mas Tresna adalah seorang remaja yang tampan menurutku. Selain tampan, dia juga cakap, pintar. Ada banyak cewek yang naksir pada mas Tresna. Hal itu aku ketahui karena banyak teman sekelasku (cewek) yang bilang kalau mereka suka sama mas Tresna.
Meskipun aku naksir sama mas Tresna, tapi aku tidak punya cukup keberanian untuk mengungkapkan perasaanku kepadanya. Jadi cuma aku pendam saja perasaanku itu.
Hari demi hari perasaanku pada mas Tresna semakin besar. Apalagi kami sering bertemu di rumah, tapi aku masih saja belum berani mengutarakan perasaanku. Aku hanya bisa berandai-andai atas hal itu.
Pada suatu malam, yakni di malam minggu. Datanglah mas Aan ke rumahku. Dia bilang mau mengapeli diriku, padahal dia bukan pacarku. Perasaanku pada mas Aan juga biasa-biasa saja, tidak ada yang istimewa.
"Lagi apa dik? Bolehkah kalau malam ini aku datang kesini?!" kata mas Aan yang kujawab dengan anggukan kepala.
"Boleh. Kapanpun mas Aan datang kesini diperbolehkan kok. Tidak ada yang melarang. Bukankah mas Aan sering datang kesini toh?" kataku yang tidak mengerti akan maksut kedatangannya.
"Terima kasih. Lha Andik kemana, kok sepi?"
"Mas Andik lagi apel ke tempat pacarnya, ini kan malam minggu, hehee," imbuhku menimpali.
"Hehee, iya ini malam minggu kok ya," dia cengengesan seakan tidak tau kalau malam itu adalah malam minggu.
"Mas Aan tidak apel juga?" tanyaku.
"Apel? Emm, aku tidak punya pacar. Aku kesini juga apel kan?"
"Kok bisa?"
"Iya bisa. Ini kan malam minggu, jadi kalau aku datang kesini pada malam minggu kan sama saja dengan apel kan, hahaa," mas Aan malah tertawa. Aku hanya bisa menatapnya dengan memanyunkan bibir, kemudian aku mengambilkan segelas air minum untuknya.
Tidak berselang lama sejak kedatangan mas Aan ke rumah, mas Tresna juga datang ke rumahku. Tentu hal ini membuatku senang.
"Wew.. Kamu sudah berada disini toh An? Andiknya mana?" mas Tresna aku persilahkan duduk. Aku berdebar-debar ketika memandang wajahnya. Maklum, aku kan naksir sama mas Tresna.
"Iya Tres. Kamunya sih selalu sibuk dengan buku. Jadinya kedahuluan aku dech, hahaa," keduanya lantas tertawa. Tawa mereka menggema ke seisi ruang tamu. Sementara itu, kebetulan kedua orang tuaku lagi tidak di rumah, menyumbang pengantin. Jadi kami bisa bebas tertawa lebar.
"Mas Andik lagi apel kok mas," kataku pada mas Tresna.
"Oh lagi apel.., apel ke tempat Winda ya,"
"Mungkin," jawabku. Kami terus bersenda gurau dengan asiknya hingga jam 9 malam, kemudian mereka berdua pada pamit pulang.
**
Sebagai seorang cewek, meski aku masih duduk di banggku SMP. Tentunya aku ingin merasakan sebuah cinta dan percintaan, dan hal itu sangat aku harapkan pada datangnya ucapan cinta dari mas Tresna. Namun, apa yang aku harapkan tidak kunjung tersampaikan, karena aku tidak berani mengutarakan isi hatiku pada mas Tresna. Sementara kalau aku lihat, mas Tresna sendiri sepertinya menaruh hati kepadaku. Aku dan mas Tresna jadinya hanya sama-sama memendam rasa.
Disaat harapanku pada mas Tresna belum terwujud. Tiba-tiba datang mas Aan mengungkapkan cintanya kepadaku. Tentu saja aku kaget, namun hal itu aku hadapi dengan bijak. Biar bagaimanapun antara kami sudah lama saling mengenal dan akrab.
Pada suatu hari, mas Aan datang menemuiku. Hari itu raut wajah mas Aan tidak seperti biasanya yang acak-acakan dan boleh dibilang identik dengan anak nakal, karena memang mas Aan terbilang remaja ugal-ugalan yang suka kebut-kebutan di jalanan dan begitu garang di arena balapan liar. Hari itu mas Aan tampak kalem, rapi dalam berpenampilan.
Aku sungguh terkejut dengan perubahannya saat itu.
Dia tersenyum kepadaku sebelum duduk di dekatku. Wajahnya tampak ceria namun penuh harap. Lantas aku bertanya dalam hati, gerangan apa yang membuatnya seperti itu.
Kulihat mas Aan menarik nafasnya dalam-dalam, dan menghembuskannya pelan.
Aku hanya terdiam sambil sesekali melihat ke arahnya.
Bibirnya tampak bergeming, sepertinya ada sesuatu yang ingin ia ucapkan, namun di urungkannya.
"Ada apa mas? Kok sepertinya ada sesuatu yang membuatmu resah," kataku disela keterdiamannya tadi.
"Anu dik Eli. Aku mau menyampaikan sesuatu kepadamu," ucapnya.
"Sesuatu? Apakah itu mas," aku pun menjadi penasaran. Kembali ia menarik nafasnya.
"Ini, aku mau memberikan ini kepadamu," mas Aan tampak mengeluarkan amplop berwarna putih dari saku celananya.
"Apa itu mas?"
"Ini suratku untukmu,"
"Surat untukku? Surat apa sih mas," aku mengernyitkan kening.
"Surat tentang perasaanku kepadamu selama ini. Terimalah dik," mas Aan kemudian memberikan surat tersebut kepadaku. Aku menerima surat itu dengan perasaan tidak mengerti. Aku memperhatikan surat itu sebentar sebelum kuletakkan di atas meja.
"Terserah kamu dik. Kalau kamu mau membuka dan membaca isinya ya aku bersyukur sekali. Tapi kalau kamu tidak sudi membacanya ya tidak apa-apa kok," kata dia. Aku memandangnya dengan seksama. Kulihat ada keseriusan tampak dari sorot mata mas Aan. Tidak lama kemudian dia pamit pulang sebelum aku sempat membuatkan minuman untuknya.
Mas Aan pulang dengan senyum penuh harap. Sementara aku memandangnya dengan senyuman ketidak mengertian, kenapa dia bisa mengungkapkan perasaannya kepadaku.
Setelah mas Aan pulang dan laju sepeda motornya hilang ditikungan jalan, aku meraih sepucuk surat tersebut. Aku menimang-nimangnya sebentar sebelum kusobek sisi amplop dan kubaca isinya.
Aku masuk ke dalam kamarku. Aku letakkan surat tadi di atas meja kecil di sudut kamar. Aku merebahkan tubuhku ke tempat tidur, karena badan terasa letih setelah tadi mengikuti tambahan jam pelajaran di sekolahan.
Aku tatap langit-langit kamar, sebentar kemudian kupejamkan kedua mataku. Terlintas bayang wajah mas Tresna bergelayut di pelupuk mata.
"Mas Tresna. Sampai kapan aku memendam perasaan ini?
Aku tau kalau kamu juga punya perasaan yang sama denganku," aku menghela nafas. Kubuka kelopak mataku. Sebentar kulirik sepucuk surat yang tadi aku geletakkan di atas meja.
Aku tersenyum, kuambil surat tersebut lalu membukanya.
Senyumku kian lebar ketika lembut harum parfum 'surat' menyapa indera penciumanku.
"Detik telah berlalu dalam batas ingatanku tuk merangkai sebuah kata kejujuran yang timbul dari hati nuraniku yang paling dalam.
Entah mengapa sejak aku mengenalmu, hatiku jadi tak menentu dan ada rasa cemburu bila kau dekakat dengan orang lain.
Eli, aku mencintaimu. Sudikah kiranya kau terima cintaku ini." itulah isi surat dari mas Aan untukku.
Aku terdiam sejenak sebelum kembali kulipat kertas surat tadi dan kumasukkan ke dalam amplopnya.
Aku kembali tersenyum sendiri setelah kubaca isi surat tadi. Aku belum yakin kalau mas Aan mencintaiku, kataku dalam hati.
***
Aku duduk sendiri menikmati malam minggu di depan rumah.
Aku menatap bulan dan bintang yang bersinar terang. Andai saja malam ini mas Tresna menemaniku disini, tentu saja aku tidak kesepian, ucapku lirih di ujung bibir.
Tiba-tiba kulihat sepeda motor belok menuju ke rumahku. Dadaku terasa deg degan, desir rasa mengalir begitu cepat memenuhi ruang cintaku. Mas Tresna yang baru saja aku lamunkan tetah datang ke rumahku. Tentu saja hal ini membuatku senang, karena aku bisa bermalam minggu dengan orang yang aku cintai.
Seperti biasa, mula-mula mas Tresna menanyakan mas Andik kakakku. Kemudian kami ngobrol-ngobrol tentang apa saja yang mengasikkan.
Sedang asik-asiknya kami berbincang, datanglah mas Aan yang langsung ikut larut dalam obrolan kami. Namun aku bisa melihat kalau ada rasa benci dari sorot matanya mas Aan. Entah karena apa, mungkin karena ada mas Tresna disitu.
Malam minggu itu aku nikmati dengan bermacam perasaan. Perasaan senang karena ada mas Tresna. Tapi juga perasaan sedih karena mas Aan terlihat banyak diamnya, tidak banyak bicara seperti biasanya.
Mas Tresna kemudian pamit pulang duluan, karena katanya ada keperluan yang harus diselesaikan di rumahnya. Aku tau, itu hanya alasan mas Tresna saja yang merasa tidak enak atau tidak nyaman atas sikapnya mas Aan yang ditunjukkan.
Aku dan mas Aan saling pandang. Aku dikejutkan oleh kata-kata mas Aan, ternyata ia tau kalau antara aku dan mas Tresna ada perasaan cinta.
"Dik Eli, kenapa suratnya telat dibalas?" tanyanya yang memandangku dengan tajam. Aku tidak bisa menjawab apa-apa saat dia menanyakan hal itu. Aku diam dan hanya tersenyum saja.
Mas Aan kembali mengulangi pertanyaannya tadi dan mau tidak mau aku harus menjawabnya.
"Kita berteman saja ya mas," aku tersenyum.
"Aku tau kalau kamu mencintai Tresna dan lebih memilih dia dari pada aku," mas Aan menundukkan wajahnya.
"Tidak kok mas,"
"Ya sudah. Aku merhagai pilihanmu.
Sekarang aku pamit dulu ya," aku tau dia kecewa. Mas Aan pulang dengan wajah ditekuk. Sementara aku memandangnya dengan rasa bersalah.
****
Tiga minggu telah berlalu, aku tidak bertemu dengan mas Aan. Dia tidak pernah lagi datang ke rumahku seperti biasanya. Ada rasa kangenku kepada mas Aan saat itu.
Aku bertanya pada mas Tresna tentang mas Aan. Kata mas Tresna, mas Aan sedang kursus di bengkel motor.
Pada hari Jum'at, dimana aku biasanya ikut acara Pramuka, tiba-tiba dikagetkan oleh kakakku. Kakakku menjemputku, katanya di rumah ada tamu yang ingin bertemu denganku.
Berbagai pertanyaan berkecamuk di benakku dalam perjalanan pulang ke rumah. Kakakku hanya diam tidak mau menjelaskan saat kutanya kenapa menjemputku dan siapa tamu yang ingin bertemu denganku.
Seorang laki-laki paruh baya kulihat duduk di kursi ruang tamu dengan di temani oleh ibuku.
"Ada apa ya bu kok aku disuruh pulang," tanyaku pada ibu.
"Ini, pamannya Aan ingin bertemu denganmu nak. Ada yang ingin beliau sampaikan kepada kamu," jawab ibuku.
"Ada apa dengan mas Aan om?" tanyaku pada pamannya mas Aan.
"Anu nak, Aan kecelekaan kemarin. Dia sekarang berada di RS Islam Mendolo," seketika darahku seperti berhenti mengalir. Tubuhku serasa bergetar. Aku tidak menyangka kalau rasa kangenku pada mas Aan ternyata seperti akan seperti ini.
Aku kemudian diajak oleh pamannya mas Aan untuk ke Rumah Sakit Islam tersebut.
Tanpa mengenakan jaket untuk melawan udara dingin di Wonosobo, aku berangkat menuju kesana. Di dalam perjalan, aku sempat menitikkan air mata beberapa kali. Entah kenapa, aku merasakan kesedihan yang teramat sangat atas musibah yang menimpa mas Aan.
Setelah kami sampai di Rumah Sakit Islam Wonosobo, ternyata mas Aan sudah dipindahkan ke Rumah Sakit di Jogjakarta. Kami langsung meluncur ke Jogjakarta.
Sekitar jam 9 malam, kami sampai di Jogjakarta.
Tangisku tidak dapat terbendung lagi, saat aku tau kalau nyawa mas Aan tidak tertolong lagi.
Mas Aan telah meninggal, jasadnya mas Aan telah dibawa pulang ke rumahnya jam 5 sore. Aku kembali bersama mereka ke Wonosobo dengan perasaan sedih.
Maafkan aku mas Aan, cintamu belum sempat aku balas, namun kamu telah pergi mendahului kami untuk selamanya. (*)
Senin, 17 Agustus 2015
Cerpen
0 Response to "Dia Pergi Sebelum Cintanya Terbalas"
Posting Komentar