"Namamu Sasa? seperti nama penyedap rasa saja, hehee," kataku dengan sedikit meledek cewek di dekatku. Ia langsung mencubit lenganku dengan gemasnya.
Sasa adalah gadis pintar yang baru beberapa hari aku kenal di sebuah Swalayan tidak jauh dari tempat tinggalku.
Sasa sendiri kini masih tercatat di sebuah sekolah. Hal itu karena saat kami berkenalan ia mengenakan seragam sekolah.
"Ah kamu Pret, selalu saja bilang gitu. Dari pada kamu, nama kok Njepret! Memangnya karet?! Hikhikhiiik," Sasa malah terkikik. Keceriaan Sasa memang sangat terasa bila dibandingkan hari kemarin yang selalu saja manyun tanpa sebab.
Aku dan Sasa mulai sering bersama meski sekedar bercuap-cuap tidak jelas pangkal ujung cerita.
Kami sering lupa dengan waktu bila lagi bersama. Ujung-ujungnya kami sering di marahi orang tua karena tugas kami di rumah jadi terlupakan dan pekerjaan pun terbengkalai.
"Eh Sa. Benarkah dulu ibumu ngidam bumbu dapur bermerk Sasa?" tanyaku dan tertawa renyah.
"Emang iya. Lha kamu sendiri? Ibumu nelen karet gelang ya waktu hamil, hahahaa," kami saling mencubit. Tawa kami membahana memantul di antara dinding-dinding Swalayan.
"Keterlaluan kamu Sa. Masa ngatain ibuku nelen karet elang sih,"
"Lha kamu sendiri yang memulainya kan?
Ya sudah Pret Njepret. Lihat tuh disana itu, es kelapa muda kayaknya seger banget dech," kata Sasa dengan centhilnya.
"Memang, dari dulu es kelapa muda seger banget. Kamu mau?"
"Jelas mau banget..., kamu mau traktir aku?"
"Enggak,"
"Kenapa enggak?"
"Aku tidak punya duit,"
"Ah kamu selalu gitu. Dasar pelit! Yuk ah kita kesana,"
"Kemana?"
"Ya ke depot es kelapa muda itu Pret, kemana lagi,"
"Tapi aku tidak punya duit Sa, serius,"
"Udah dech, tenang saja. Yuk Pret," Sasa menarik lenganku. Seperti sapi di cokok hidungnya, aku pun mengikuti ajakannya.
"Es kelapanya 2 ya pak," kata Sasa.
"Ya non," jawab si penjual.
"Lihat itu Pret, mobil itu keren ya,"
"Mana? Halah, paling kalau disiram air keras atau tinner juga akan jelek,"
"Ah kamu Pret, selalu njepret ngomongnya. Kamu juga, kalau disiram air keras akan tambah hancur mukamu yang jelek itu, hikhik,"
"Ini non es kelapanya," kata si penjual yang meletakkan es itu di meja. Tangan Sasa langsung menyambar es tersebut, mungkin karena kehausan jadi ia lang menyeruput es tersebut.
Setelah kami selesai menikmati es kelapa muda, lantas aku dan Sasa kembali nongkrong di Swalayan.
"Sasa, kamu sudah punya pacar belum?"
"Belum, kenapa?"
"Tidak kenapa-kenapa, tanya saja,"
"Memang kamu mau jadi pacarku ya Pret?"
"Kalau situ mau, kenapa tidak,"
"Aih, hahahaa. Siapa juga yang mau sama kamu, kamu jelek kok," Sasa tertawa ngakak.
"Wuih, menghina ya! Awas, nanti bisa cinta sama aku lho,"
"Wuidih GR-nya kamu Pret Pret...! Noh, kamu pacaran saja sama tante berbaju coklat itu, hahaa,"
"Wuih, amit-amit dech. Eh Sa, beneran ini,"
"Beneran apanya?" Sasa menatapku penuh tanya.
"Beneran sudah punya pacar belum? Soalnya ada temanku yang naksir habis sama kamu Sa,"
"Iya beneran Pret. Siapa sih temanmu itu?"
"Zacky,"
"Zacky? Zacky siapa?"
"Kamu penasaran?"
"Tidak,"
"Ya sudah kalau tidak penasaran. Lewatin saja dech...
Eh Sa, bener dech namamu lucu bagiku," kataku dengan tersenyum-senyum.
"Lucu bagaimana?"
"Pokoknya lucu gitu,"
"Halah.. paling-paling kamu akan bilang kalau namaku sama dengan bumbu dapur kan?"
"Emang iya,"
"Hiiiiiiiichhh, itu kan...! Rasakan ini," Sasa mencubit lenganku.
"Aduh duh aduh, satit Sa," kataku dengan meringis menahan sakit.
"Makanya..., sudah yuk, kita pulang," ajaknya kemudian. Kami pulang meninggalkan Swalayan. Sepanjang perjalanan pulang, kami terus bercanda tiada habisnya.
Kami berpisah di persimpangan jalan dan meneruskan perjalan ke rumah masing-masing.
*
Seperti kemarin dan hari sebelumnya. Aku mampir ke Swalayan setelah pulang sekolah sebelum sampai di rumah. Aku duduk di dekat pintu masuk Swalayan. Kuamati disekitarnya, tapi tidak ada tanda-tanda kalau Sasa berada di Swalayan. Padahal aku sudah kangen banget sama dia, apalagi ada hal penting yang ingin kusampaikan padanya.
"Sasa, kemana ya kamu? Kenapa sampai jam segini kamu belum juga nongol," mendadak aku merasakan kegelisahan atas Sasa. Dia yang biasanya muncul dan menemaniku bercanda, tapi hari itu tidak kunjung datang, hingga kutunggu sampai pukul 14.30 WIB. Aku kemudian memutuskan untuk pulang ke rumah.
Sesampai di rumah, aku langsung melucuti seragam sekolahku dan berganti dengan pakaian biasa.
Aku berbaring di tempat tidur sebentar. Pikiranku kembali teringat sama Sasa, temanku yang begitu memberikan keceriaan.
"Ada apa denganmu Sa? Kenapa perasaanku tidak enak seperti ini?!
Alamatnya Sasa, ya alamatnya. Mungkin ada apa-apa dengan dia. Aku harus ke tempatnya. Tapi dimana alamat yang kemarin diberikan olehnya?" aku bangkit dari tempat tidur. Aku cari alamatnya di dalam tas dan buku, barang kali saja terselip di buku-buku, tapi tidak kutemukan juga.
Aku duduk di pinggir tempat tidur, diam dan mematung. Saat itu yang terlintas hanya bayang wajahnya Sasa.
"Sebenarnya ada apa sih denganku ini? Kenapa aku selalu teringat pada Sasa?!
Hufff, ada dengan Sa, apa yang terjadi denganmu Sa?" tidak habis pikir. Aku selalu teringat pada dia. Padahal dia juga bukan pacarku, atau karena sudah ada rasa cinta di hatiku terhadapnya? Pikiran itu terus menggelayuti benakku.
**
Hari telah berganti. Seperti yang sudah-sudah, aku kembali mampir ke Swalayan sepulang sekolah.
Kucari dan kutunggu Sasa di dekat pintu masuk Swalayan hingga sore. Namun dia tidak datang, akhirnya aku pun pulang. Kejadian ini terus berlangsung hingga semingguan lebih dimana aku tidak bertemu dengan Sasa.
Rasa kangenku dengan Sasa semakin hari terasa besar. Kalau saja alamatnya bisa aku temukan, pastilah aku sudah mendatangi rumahnya.
Saat seperti ini aku hanya bisa berharap, semoga Sasa kembali hadir di dekatku, bercanda dan tertawa bersama.
Aku hanya bisa berharap, semoga dia memberi kabar padaku atas apa yang terjadi padanya, karena memang aku sempat memberikan alamat rumahku pada dia.
Tiba-tiba aku tersentak, saat aku teringat akan sekolahannya.
"Bodohnya aku! Kenapa tidak dari kemarin aku mendatangi sekolahannya? Huh, dasar begonya aku!" aku ngedumel sendiri. Setelah aku ingat akan sekolahannya Sasa, maka besuk aku berniat hendak menemuinya di sekolahan tersebut.
***
"Permisi pak. Apa Sasa Marcella ada?" tanyaku pada seorang pria yang tampaknya seorang Guru. Hari itu aku sengaja minta ijin pulang lebih awal dan hanya mengikuti satu jam pelajaran. Kemudian aku pulang ke rumah, berganti pakaian dan langsung meluncur ke sekolahannya Sasa.
"Sasa Marcella? Kelas berapa dia," Guru tersebut balik bertanya padaku.
"Kelas 2 IPA," kataku.
"Saya kurang tau ya dik. Coba kamu tanya ke ruang kelasnya. Itu disana kelasnya," kata pak Guru tersebut. Setelah pamit, aku langsung menuju ke ruang kelas yang tadi ditunjukkan.
Aku menghentikan langkahku saat mau sampai di depan pintu kelas. Ada perasaan ragu, malu bercampur jadi satu.
Aku terkejut ketika ada seseorang menegurku dari belakang, ternyata dia pak Guru yang tadi kutanyai.
"Kok berdiri saja disini dik? Sudah ketemu?" tanya pak Guru tersebut.
"Belum pak. Saya belum bertanya ke dalam," jawabku.
"Oh. Kalau begitu biar saya tanyakan ke dalam. Tunggu sebentar ya," pak Guru itu masuk ke dalam kelas. Tidak lama kemudian beliau keluar dan menemuiku.
"Anu dik, katanya sudah semingguan ini murid yang bernama Sasa Marcella itu tidak masuk kelas. Katanya dia lagi sakit di rawat di Rumah Sakit," kata pak Guru itu. Mendadak keningku mengerut, aku berpikir, bisa jadi hal itu.
Mendengar keterangan tadi, lalu aku mencoba mencari tau dimana Rumah Sakit yang merawat Sasa. Pak guru tadi telah membantuku dengan mencarikan dan memberi tau Rumah Sakitnya.
Setelah aku pamit sama pak Guru itu, aku langsung meluncur ke Rumah Sakit yang ditunjuk.
****
Udara jalanan terasa panas menampar wajah dan tubuhku. Aku terus melaju dengan sepeda motor menyusuri jalan beraspal menuju Rumah Sakit Harapan Bunda.
Setelah cukup lama aku meliuk-liuk dan menyelinap diantara kendaraan lain, aku pun sampai di Rumah Sakit tersebut.
Bergegas aku menuju ruang lobi setelah memarkirkan kendaraan yang kunaiki.
"Permisi mbak. Disini apa ada pasien yang bernama Sasa Marcella?" tanyaku pada orang yang duduk di balik meja ruang lobi.
"Sebentar mas," orang tersebut tampak memeriksa sebuah buku tebal di hadapannya.
"Bagaimana mbak?" tanyaku tidak sabaran.
"Ada. Sasa Marcella penderita kanker otak. Dia di rawat di ruang VIP MELATI," kata orang itu. Aku terhenyak, aku kaget, lantas aku menanyakan dimana letak ruang yang dia maksut. Setelah mendapat penjelasan, aku segera menuju ruang tersebut.
Aku mengetuk pintu ruang VIP MELATI. Sebentar pintu itu dibuka. Tampak seorang ibu berdiri dan memandangiku.
"Permisi bu. Maaf, apa benar disini Sasa Marcella di rawat?" tanyaku.
"Iya benar. Kamu ini siapa?" kata ibu tersebut.
"Saya temannya Sasa Marcella. Nama saya Njepret. Bolehkah saya menemuinya bu," kataku. Kulihat ibu itu tampak tersenyum mau tertawa, mungkin karena mendengar namaku 'Njepret' yang dirasanya aneh.
"Njepret? Boleh, silahkan," aku lantas masuk ke ruangan dimana Sasa sedang di rawat. Di ruang itu ada beberapa orang yang menunggui Sasa. Aku lihat Sasa sedang tertidur. Aku mengenalkan diri pada orang-orang itu dengan perasaan agak malu. Kulihat mereka senyum-senyum setelah mendengar namaku.
"Nak Njepret ini teman sekolahnya Sasa?" tanya seorang ibu yang ternyata adalah ibunya Sasa.
"Bukan kok bu. Saya cuma teman main saja," aku lantas memandang Sasa yang terkulai. Berlahan kelopak mata Sasa terbuka. Dia sepertinya terkejut melihatku, kemudia bibir pucatnya tampak mengembang tersenyum.
"Njepret?! Kenapa kamu keluyuran sampai sini sih, ehem hehee," dia terbatuk, kemudian terkekeh.
"Memangnya tidak boleh? Ini kan bukan tempat kekuasaanmu, wuek," dalam keadaan seperti itu, Sasa masih mengajakku bersitegang dalam canda. Mereka yang melihat kami seperti itu hanya terbengong dan senyum saja.
"Hei karet gelang. Kirain kamu tidak akan tau dengan apa yang aku alami ini. Eh, kalau boleh aku tau, dari mana kamu tau kalau aku berada di tempat ini," Sasa menyandarkan tubuhnya ke sisi tempat tidur pasien.
"Ada deh..., tadi aku ke sekolahanmu, terus dikasih tau kalau kamu di rawat di Rumah Sakit ini,"
"Oh begitu. Thank ya kamu sudah menyempatkan diri menjengukku,"
"Iya bumbu dapur, aku kan sobatmu,"
"Eits, awas lho ada ibuku, hahahaa,"
"Hehe, maaf lho bu, kami biasa bercanda seperti ini kok," kataku yang kemudian cengengesan.
"Tidak apa-apa kok nak," jawab ibunya Sasa. Sepertinya mereka yang berada dalam ruangan itu mengerti akan kami sebagai anak remaja. Mereka kemudian satu persatu keluar dari ruangan. Kesempatan ini tidak aku sia-siakan untuk menembak/mengutarakan isi hatiku pada Sasa.
"Sasa. Langsung saja ya, aku suka padamu, aku mencintaimu," kataku dengan pelan di dekat telinganya.
"Apaan sih Pret. Aku tidak ngerti dengan yang kamu omongkan,"
"Masa?
Aku mencintamu Sa. Terserah mau kamu terima apa tidak, yang penting aku sudah mengatakannya padamu," kataku.
"Tapi Pret,"
"Tapi kenapa Sa,"
"Tapi kita kan berteman belum lama, lagian keadaanku seperti ini kan?
Aku tidak ingin kamu nyesel dan meratap kalau aku tinggal mati,"
"Tidak apa-apa. Aku menerima dengan keadaanmu. Yach.. jangan mati dulu lah Sa... Bagaimana? diterima tidak?!"
"Bagaimana ya? Kapan-kapan saja aku menjawabnya ya Pret,"
"Ya... bumbu dapur. Sekarang dong, aku mengungkapkannya padamu kan sekarang bukan kapan-kapan, iya kan?"
"Kamu itu Pret, kalau dibilangin selalu ngeyel,"
"Kamu juga suka ngeyel kok. Ayolah Sa... tinggal bilang Ya atau Tidak kok," kataku. Sasa terdiam, dia menatap wajahku lekat-lekat.
"Ya," suara Sasa.
"Ya? Maksutnya Ya diterima kan?"
"Iya... diterima karet gelang...," Sasa tersenyum.
"Uhu.. terima kasih Sasa cintaku," kataku dengan gembira. Sasa memandangku dengan senyumnya meski tidak semanis saat itu karena dia kan lagi sakit.
Semenjak aku dan Sasa jadian, pastilah aku rutin memantau kesehatannya yakni dengan sering menjenguknya ke Rumah Sakit. Setelah keadaannya lumayan dan diperbolehkan pulang kerumah, aku juga sering datang ke rumahnya.
Sasa sudah dinyatakan sembuh dari kanker otak. Dia sudah kembali masuk sekolah.
Biasa, sepulang sekolah kami sering nongkrong di Swalayan untuk melepaskan rindu. Hubungan kami terus berlanjut sampai kini, meski kami telah lulus sekolah. (*)
Selasa, 18 Agustus 2015
Cerpen
0 Response to "Namamu Sasa?"
Posting Komentar