Suara kecapi merdu mengalun dari sebuah pita kaset yang ku putar.
Aku duduk sendiri di teras rumah memandangi tetes demi tetes air hujan sisa semalam.
Entah kenapa, tiba-tiba suasana hatiku menjadi sedih, perih teriris alunan kecapi tersebut.
Berlahan kuhela nafas, tersentuh bayang wajahmu yang kini entah dimana.
"Sarapan dulu sana Zack," suara ibuku mengingatkan.
"Iya bu," jawabku dengan malas. Aku terus memandangi tetesan air hujan yang jatuh dari ujung genting menghantam tanah dan kerikil hitam.
Secangkir kopi hitam nan kental yang tadi tersajikan, kini tinggal sisa 'ampas' tidak tergenang.
"Sudah sana sarapan. Nanti kamu ke sawah untuk memanen Jagung," ibu memperingatkanku.
"Ughhh, ke sawah lagi?"
"Lha iya, memangnya kamu mau ke mana, ke kantor?! Kayak punya kantor saja kamu ini," ibu cemberut menatapku.
"Iya iya..," jawabku. Aku masih duduk di tempat semula dan tidak segera sarapan.
"Cindy, dimanakah kamu kini," ucapku lirih diujung mulut yang berasa asam, karena rasa manisnya kopi hitam telah luntur bersama air liur yang membuncah keluar menyeberang bibir.
Hari ini aku sangat ingin bertemu Cindy, gadis manis yang pernah singgah di hati.
Dulu, aku dan Cindy pernah bersama merajut hati, namun akhirnya pupus setelah ada cowok lain yang mengambil hatinya Cindy.
Kisah cintaku dengan Cindy tidaklah manis-manis sangat, tapi perpisan itu ternyata cukup membuatku merana dalam lingkar kepedihan.
Cindy meninggalkan aku setelah seucap kata tegas 'Kita putus' meluncur dari bibirnya. Saat itu aku bingung, karena tanpa memberikan penjelasan detail, ia langsung pergi dari hadapanku.
Rasa sesak seketika membekap dadaku. Aku mencoba menerima karena aku mengerti, bahwa dia ada yang lain selain aku.
Suara kecapi dalam pita kaset itu kini tinggal nada akhir. Habis dan meninggalkan kesunyian. Namun tidak dengan rongga jiwaku, yang ramai ingin bertemu denganmu.
"Cindy, aku ingin bertemu denganmu, menatapmu lantas menamparmu dengan janji yang dulu sempat kita ucap," kataku dalam batin.
Aku sandarkan tubuh ke pagar rumah terbuat dari papan kayu.
Aku menoleh sejenak kebelakang "Memang engkau akan lapuk dimakan usia, begitu juga denganku nanti," kataku lirih dalam batin.
Aku membanting pandangan ke arah kerikil-kerikil hitam menghampar, akankah cintaku nanti membatu? karena memang sudah ada sayatan tajam melukai hatiku.
Aku tersentak kaget, sekilas kulihat Cindy berjalan ke arahku. Aku bangkit dari tempat dudukku. Tajam mataku memperhatikannya, namun kemudian ia hilang tersapu angin dan debu.
Sebuah lagu dengan iringan musik kecapi nan merdu kembali kuputar. Hatiku merintih dalam tangisan.
Perih, pedih kembali mengantarku ke masa nan silam, dimana Cindy masih berdiri dihadapanku dan berkata 'Putus'.
Saat itu seluruh persendianku terasa melemas. Aku pun roboh ke dalam kekalahan dengan bersimbah peluh dingin menggigilkan jiwa.
Kucoba menggapai selimut jiwaku, namun ia telah berlalu dan hingga kini tiada lagi bertemu.
"Huh! Aku harus bangkit dari keterpurukan ini," sekelebat semangat melintas dipikiranku. Membuka jendela yang lama telah terkunci untuk sebuah cinta yang lain nanti. (*)
Kamis, 27 Agustus 2015
Cerpen
0 Response to "Syair Laraku Atas Cindy"
Posting Komentar