Ku hempaskan tubuh di atas sebuah dipan tua. Rasa penat kurasakan di sekujur tubuhku setelah seharian berkeliling menjajakan barang dagangan yang kujual tidak semuanya laku. Begitu juga dengan barang yang ku titipkan di warung-warung pun banyak yang tersisa.
Aku sangat pusing, beberapa kali kepala kupijit agar rasa pusing cepat hilang, tapi tidak kunjung pergi rasa pusingnya.
Aku menoleh ke dinding, jam menunjukkan pukul 17.05 WIB.
"Bagaimana ini, sebentar lagi pak Karsa datang menagih hutang," Aku semakin pusing saja. Sebentar lagi pak Karsa datang ke rumah dan pasti dia marah-marah, kalau aku tidak bisa melunasi hutangku.
Benar saja, di halaman rumah tampak berhenti sebuah sepeda motor. Aku melongok ke luar rumah, ada pak Karsa dan seorang lelaki turun dari motor itu.
"Budi, aku datang," Suara pak Karsa di depan pintu. Terang saja aku kelabakan karena merasa tidak bisa melunasinya. Tapi mau bagaimana lagi, aku pun menemui pak Karsa.
"Silahkan pak," Kataku. Pak Karsa dan temannya masuk ke dalam rumah, lantas duduk di sebuah dipan yang tadi kubuat tiduran, karena rumahku memang tidak ada meja kursi tamu.
"Mana janjimu?!" Suara pak Karsa dengan menatap tajam kepadaku. Aku menundukkan wajah sebentar sebelum diriku menjelaskan kepadanya.
"Anu pak Karsa.. maaf.. saya belum ada uang hari ini," Kataku dengan agak takut.
"Lha bagaimana sih kamu ini?! Sudah dikasih waktu tenggang panjang tapi tidak punya uang juga. Aku sudah berusaha halus kepadamu Bud, tapi kalau seperti ini terus ya aku bisa bertindak kasar lho Bud,"
"Tapi benar pak, saya belum memegang uangnya,"
"Ah, aku tidak mau tau dengan alasanmu itu. Sekarang juga kamu harus melunasinya, kalau tidak... Aku akam mengambil barang-barang di rumahmu ini. Bagaimana?" Ancam pak Karsa. Aku pun terdiam.
"Kenapa diam Bud?! Baiklah, Sukri, kamu angkut itu sepeda, keranjang tempat jualannya, radio itu. Sekalian kamu ambil semua peralatan dapur kalau perlu," Kata pak Karsa yang berdiri berkacak pinggang.
Perkataan pak Karsa tadi bukanlah ancaman semata buatku. Lelaki yang disamping pak Karsa tadi langsung melaksanakan perintah pak Karsa. Dia langsung menyambar pesawat radio yang tergeletak di atas dipan dan memasukkannya ke keranjang yang kugunakan untuk berjualan.
Tidak hanya pesawat radio yang ia ambil. Peralatan dapur seperti Panci, wajan, periuk pun di ambilnya. Semuanya dimasukkan ke dalam keranjang tadi.
"Hutangmu belum lunas! Semua barang-barang itu tidak cukup untuk melunasi hutangmu yang segudang!
Nanti aku akan datang lagi menagihmu. Ayo Kri," Kata pak Karsa dengan amarah. Mereka pergi meninggalkan rumahku dengan kata-kata cibiran. Aku hanya bisa menahan rasa sesak di dada atas semua itu.
"Kamu kenapa Bud? Mukamu tampak amburadul begitu,"
"Tidak apa-apa tante,"
Tante Sariyem menatapku tajam. Sepertinya ia sedang mencari tau apa yang sebenarnya terjadi pada diriku.
"Kamu lagi ada masalah ya Bud? Masalah apa," Tanyanya tante Sariyem. Aku kemudian menceritakan semua apa yang barusan terjadi.
"Begitulah tante," Kataku dengan lesu.
"Oala Bud.. Bud, kenapa kamu tidak bilang kepadaku kalau punya hutang segitu banyaknya,"
"Memang tante mau bantu melunasinya, ya?"
"Ya paling tidak kan Tante bisa mencarikan jalan keluarnya," Tante dan Aku sama-sama terdiam. Kami saling pandang, lalu tante Sariyem malah tertawa cekikikan.
"Kenapa tante tertawa?"
"Tidak Bud. Itu burungmu nongol," Kata tante Sariyem. Aku langsung menutupkan kedua telapak tanganku ke burung yang katanya nongol.
Benar saja, setelah ku raba, ternyata resleting celanaku terbuka. Buru-buru aku membetulkan resleting celanaku. Aku sangat malu sama tante Sariyem yang melihat burungku yang tidak aku kurung dengan celana dalam. Aku pun jadi tersenyum-senyum sendiri.
"Jadi bagaimana ini tante?"
"Bagaimana apanya, burungmu..?"
"Kok burungku sih. Hutangku tante..,"
"Nanti aku pikirkan. Sekarang tolongin tante sebentar, ya,"
"Tolongin apa tante?"
"Tolongin angkat lemari di rumah tante. Mau tidak?!"
"Mau mau," Kami kemudian menuju ke tempat tante Sariyem.
"Kita geser ke sana saja lemarinya Bud," Kami menggeser lemari itu. Tampak tante Sariyem ngos-ngosan setelah menggeser lemari tersebut.
"Mana lagi yang mau digeser nte?"
"Emmm itu," Tunjuknya. Aku dan Tante menggeser lemari kecil di sebelahnya.
"Sial," Kataku dalam hati dan langsung menundukkan muka. Aku melihat, benjolan di dada tante Sariyem tampak menyembul keluar, karena kancing baju bagian atas terbuka.
Aku terus menarik lemari itu, sementara tante Sariyem mendorongnya. Entah kenapa, tiba-tiba saja ada yang bergerak-gerak di daerah sensitifku.
"Kenapa itu Bud?" Tante Sariyem menatapku. Terang saja aku, karena anuku telah berdiri dengan tegaknya. Buru-buru aku setengah membalikkan badanku agar tante Sariyem tidak melihatnya lagi.
Lemari sudah selesai kami geser. Aku pun hendak pamit pulang. Tapi aku terkejut ketika tante Sariyem memegang lenganku."
"Tante," Suaraku.
"Sebentar. Itu jempol kakimu," Tante Sariyem mengamati jempol kakiku, kemudian dia berlalu dari hadapanku. Jempol kakiku tadi memang menabrak sisi lemari saat menariknya.
"Waduh, sampai tidak tidak terasa sakit ini jempol karena melihat tadi itu," Aku tersenyum sendiri.
"Ini Bud, kamu bettadien lukamu,"
"Iya tante," Buru-buru aku meneteskan obatanti septik ke luka tersebut.
"Anu Bud, sekalian kamu pasangkan lampu di kamar, ya,"
"Kamar mana tante?"
"Kamarku,"
Aku menurut saja saat tante Sariyem memintaku untuk memasang lampu kamar. Dengan menggunakan anak tangga stainles, aku memasang lampu tersebut.
"Aduh duh, kok goyang-goyang sih," Aku menoleh ke bawah, di situ tante Sariyem tampak memegangi anak tangga.
"Tenang saja Bud, tidak apa-apa. Tante pegangi ini," Tante Sariyem tersenyum. Aku melanjutkan memasang lampu itu.
"Eits eits, jangan digoyang-goyang tante, nanti aku bisa jatuh lho," Lagi-lagi tante Sariyem yang berwajah molek itu melempar senyum padaku.
"Sudah apa belum Bud,"
"Sebentar nte. Sudah..," Aku pun turun. Tapi tante Sariyem kembali mengguncang-guncang anak tangga hingga bergoyang-goyang. Aku pun melompat dan hampir menabraknya.
"Aduh.. kenapa tante menggoyangnya sih,"
"Ya biar kamu jatuh dipelukan tante,"
"Apa?" Aku terbengong.
"Ini ada sedikit uang untuk membayar hutangmu pada pak Karsa itu,"
"Tidak usah tante. Terima kasih,"
"Ya sudah kalau tidak mau menerimanya. Terima kasih telah membantu tante," Uang itupun diselipkannya di antara belahan dada yang sudah tertutup oleh baju. Aku melongo, lantas pamit pulang dan tidak menghiraukan ucapannya 'Biar kamu jatuh dipelukan tante' karena aku tau itu hanya gurauan saja. (*)
0 Response to "Biar Kamu Jatuh Dipelukan Tante"
Posting Komentar