Badanku menggigil hebat. Selimut rangkap yang aku kenakan tidak mampu mengusir rasa gigil di sekujur tubuh.
Badanku gemetaran, mulut serasa terkunci saat ibu menanyaiku.
"Dilla, kamu kenapa?!" Raut wajah ibu tampak cemas. Telapak tangan beliau di tempelkan ke keningku.
Aku terpejam, seakan ada sesuatu yang hendak lepas dari ragaku.
"Hememememememmm," Gigiku saling beradu seperti lagi mengunyah sesuatu karena saking menggigilnya tubuh.
Melihat diriku yang seperti itu, ibu langsung mengambil air hangat dan mengompres wajah, leher, tangan serta kaki ku. Hawa hangat merasuk ke pori-pori kulit. Tapi itu hanya sebentar, karena kemudian aku merasakan hawa dingin yang teramat sangat.
Aku coba membuka kelopak mata, namun terasa berat. Hanya sebentar-sebentar kelopak mataku terangkat ke atas, aku memandangi wajah ibu yang tampak semakin gusar dan cemas.
"Pak.., lihat anakmu ini," Suara ibu pada bapak yang lirih kudengar langkahnya di depan pintu kamar.
"Ada apa dengan dia Bu?" Suara Bapak yang kemudian duduk di tepi tempat tidur, tangannya memegang lenganku.
"Tidak tau pak. Tadi dia habis pulang dari Pramuka, terus seperti ini,"
"Apa karena kelelahan? Kita bawa dia ke Mantri suntik saja," Bapak tampak mengernyitkan dahi. Bapak kemudian meraih tubuhku dan membangunkan aku. Sungguh, saat itu badanku terasa lemas sekali, seperti tidak ada tenaga lagi.
Aku di bawa ke Mantri suntik oleh bapak dan ibu. Aku duduk di tengah, diboncengan sepeda motor. Sesampai di tempat Mantri suntik, aku diperiksanya. Katanya aku kena demam berdarah, dan harus cepat ditangani biar tidak semakin parah.
Kami kemudian pulang kembali ke rumah setelah mendapatkan obat dari Mantri suntik itu.
Obat dari Mantri suntik telah aku minum, tapi belum ada reaksi apa-apa atas demamku.
Aku menderita sakit demam selama seminggu. Selama itu badanku terasa lemas dan sering terbaring di tempat tidur.
Siang itu, diriku lagi tiduran. Kedua mata kupejamkan. Selang beberapa saat kemudian, aku merasakan seperti terbang melayang-layang. Mataku terpejam, sebentar kemudian diriku seperti berada di suatu tempat yang tidak aku kenal.
Aku memandang ke sekitar tempatku berdiri. Hamparan awan putih tampak jelas di mataku.
"Aneh, tempat apa ini? Ibu, Bapak," Aku mencari kedua orang tuaku. Tapi mereka tidak berada di dekatku. Aku terkejut saat pakaianku berwarna serba putih dan aneh menurutku, karena selama ini aku tidak pernah mengenakan pakaian yang serba putih, kecuali saat Shalat, yakni mengenakan Mukhena/Rukuh.
Aku berjalan menyisir jalan setapak terselimut awan putih. Dari kejauhan aku melihat segerombolan orang berpakaian serba putih tengah duduk-duduk. Aku mendekat ke arah mereka.
"Maaf, kalian ini siapa?" Mereka tidak menoleh ataupun menjawab pertanyaanku tadi.
Aku menatap mereka dengan rasa penasaran, siapakah mereka itu sebenarnya.
Belum juga rasa penasaranku terjawab, diriku dikejutkan oleh hilangnya mereka dari hadapanku. Mereka menghilang tanpa bekas.
Aku menatap ke sekitar, hanya awan putih tampak berjalan ber-arak. Sayup-sayup aku mendengar suara Ibu dan Bapak memanggil-manggil namaku. Aku mencari mereka, tapi tidak kutemukan.
Badanku terasa ringan, berjalan pun seperti melayang.
Aku merasakan badanku berguncang.
Ku buka kedua mata, kulihat Ibu dan Bapak sedang menangisi diriku.
"Ibu, Bapak," Suaraku lirih mengucap. Ibu dan Bapak seperti terkaget. Mereka menguncang-guncangkan tubuhku, mereka seakan tidak percaya.
"Dilla anakku. Kamu masih hidup nak?" Suara Ibu membuatku bingung.
"Memang Dilla kenapa Bu?" Tanyaku dengan suara pelan karena lemas.
"Tadi, tadi.., bukankah kamu..," Ibu tampak mundur dari duduknya.
"Tadi kenapa Bu?" Aku semakin bingung saja.
"Tadi kami mengira kamu sudah meninggal nak," Kata Bapak dan raut wajahnya tampak kebingungan.
"Iya Dilla, tadi kamu seperti sudah meninggal. Badanmu dingin dan kaku," Imbuh Ibu yang masih kebingungan. Aku menarik nafas pelan, lalu kuceritakan kejadian yang tadi ku alami. Ibu pun memeluk tubuhku dengan erat.
Pengalaman perjalanan jiwa saat mati suri itu telah membuat banyak perubahan pada diriku. Aku yang dulunya jutek, cerewet, bawel, sekarang menjadi pendiam dan rajin beribadah. Entahlah, pengalaman mati suri tersebut telah membuat hatiku tertunduk dan lebih taat dalam beribadah.
Aku tidak pernah menyangka kalau diriku yang sebelumnya tidak tahu dan tidak bisa apa-apa tentang penyembuhan penyakit, kini diriku sering diminta oleh orang banyak untuk melantari pengobatan penyakit mereka, dan semua itu terjadi pasca diriku mati suri.
Aku sadar bahwa semua ini hanya lah titipan dari Tuhan Yang Maha Esa, kelak pasti akan di ambilnya. (*)
0 Response to "Perjalanan Saat Aku Mati Suri"
Posting Komentar