"Ada apa bu?"
"Ini kamu bawa kesana," Kata ibunya Silvi.
"Wuih, asik benar ini," Kiranya ibunya Silvi tadi menggoreng pisang. Pisang goreng dalam piring itu pun dibawanya keluar.
"Apaan ini Vi, pisang goreng?" Syahputra langsung ngiler dibuatnya, apalagi sedari tadi perutnya juga keroncongan.
"Silahkan di embat Syah, Rat. Mumpung masih panas," Kata Silvi. Mereka mengangguk dan langsung menyantapnya.
"Hahahaa, panas Syah," Suara Ratna.
"He'em, vanas eh panas huhuu," Syahputra mengipaskan telapak tangan ke mulutnya. Ratna dan Silvi terkekeh.
"Lapar ya Syah? Hikhik," Kata Silvi. Ia kemudian masuk ke dalam rumah untuk mengambil air minum lagi.
Sebentar-sebentar Ratna tampak mencuri perhatian pada Syahputra. Hati Ratna tiba-tiba berdesir ketika mereka beradu pandang.
"Em emm, kenapa Rat," Kata Syahputra.
"Tidak Syah,"
"Oh, aku kira ada yang aneh padaku," Syahputra tersenyum.
"Hayo pada ngapain.. Jangan pada kaku begitu ah, seperti baru kenal saja," Suara Silvi yang muncul dari dalam rumah.
Mereka bertiga terus berbincang dengan sesekali bercanda.
Syahputra dan Ratna pamit pulang karena jam sudah menunjukkan pukul 9 malam.
Sepulangnya Syahputra dan Ratna, Silvi tampak berdiam di dalam kamar. Dia coba memejamkan kedua matanya, namun sebentar-sebentar malah wajah Wijaya hadir di pelupuk matanya.
Silvi menghela nafas, dia menatap kejadian tadi siang dimana ia dan Nita bertemu dengan cowok bernama Wijaya tersebut.
"Ada apa denganku? Kenapa wajahnya melintas terus?!" Disibakkannya selimut di tubuhnya. Ia duduk menghadap jendela kamar.
Cewek itu kemudian mendekati jendela, disibaknya tirai penutup kaca jendela.
Silvi memandang ke arah luar kamar, tampak sepi suasananya. Sebentar matanya menatap langit, gelap tanpa bertaburan bintang ataupun sinar rembulan.
"Sepi sekali, padahal belum malam benar," Lirih kata Silvi.
"Wijaya, sepertinya dia cowok baik yang cerdas.
Handoko, dimanakah kamu kini.?" Seketika tampak kesedihan di raut mukanya. Silvi kembali teringat akan seorang pemuda yang pernah menjadi kekasihnya, yakni Handoko.
Handoko adalah seorang pemuda bersahaja yang cukup lama menemani hari-harinya Silvi. Mereka pacaran saat keduanya masih duduk di bangku SMP.
Hubungan mereka kemudian terkatung-katung, karena Handoko saat itu pamit pergi, pindah ke kota lain.
Semenjak perpindahannya Handoko itu, hubungan keduanya menjadi tidak jelas. Handoko tidak pernah menghubungi Silvi. Sementara Silvi pun tidak bisa menghubungi Handoko. Semua itu karena Handoko tidak memberikan alamat jelas dimana ia akan tinggal bersama keluarganya. Aneh memang, dan mungkin hal itu terjadi karena tergesa-gesanya Handoko untuk pindah.
Waktu itu pertemuan mereka memang sangat singkat. Handoko menemui Silvi, menceritakan maksud pindahnya kemudian pamit.
Silvi sendiri memang sempat terbengong dan bertanya-tanya, kenapa cowoknya seperti itu, datang, bercerita sebentar lantas pamit tanpa bisa Silvi cegah.
Silvi sempat sedih dengan perpindahan kekasihnya tersebut, karena harinya dirasa menjadi sepi. Namun kemudian ia membiarkan hal itu terjadi, dan mungkin hal itu memang harus menjadi jalan cerita cintanya antara dia dan Handoko.
Beberapa tahun lamanya Silvi kesepian dalam cinta. Hampir enam tahun cinta yang ia bina bersama Handoko akhirnya terkatung-katung cintanya tersebut.
Pernah dalam benak Silvi untuk bercinta dengan cowok lain, tapi nyatanya ia tidak bisa melupakan Handoko. Wajah cowok bernama Handoko itu selalu hadir saat ada niat darinya untuk mencari cowok lain.
Sampai sekarang, sering Silvi teringat akan diri Handoko, tapi apa mau dikata, ia tidak bisa berbuat banyak untuk bisa mendapatkan alamat tempat tinggal sang kekasih.
Apa yang Silvi rasakan tersebut dipendamnya sendiri, hingga teman-temannya pun pada tidak tau apa yang sebenarnya ia rasakan, termasuk Ratna, Nita dan teman yang lain, mereka tidak pada tau, meskipun mereka adalah teman dekatnya.
Silvi menghempaskan tubuhnya ke kasur. Kedua matanya menatap langit-langit kamar. Tampak jelas cewek itu sedang dirundung kegalauan.
Silvi meraih hp di sampingnya. Diangkatnya telephon yang baru masuk ke nomernya.
"Iya," Suara cewek tersebut.
"Maaf Vi kalau diriku mengganggu dirimu," Suara seorang lelaki dari seberang.
"Tidak apa-apa kok mas. Ada apa kiranya mas Wijaya menelphonku?" Lelaki itu ternyata adalah Wijaya.
"Tidak ada apa-apa kok Vi. Hanya ingin mengajakmu mengobrol, itupun kalau kamu tidak keberatan," Kata Wijaya.
"Tidak kok mas, aku malah senang karena ada yang menemaniku ngobrol,"
"Ok lah kalau begitu.
Oh iya Vi, kamu sangat pantas menjadi pembalap lho," Kata Wijaya.
"Yang benar mas? Tapi aku kan tidak punya motor balap,"
"Gampang itu Vi, nanti kamu bisa memakai motorku yang lama tidak kupakai itu," Sambung Wijaya.
"Tapi kalau nanti motornya rusak bagaimana?"
"Tenang saja, nanti aku sendiri yang akan memperbaikinya. Bagaimana Vi?"
"Emmm, boleh deh kalau begitu," Kata Silvi.
"Ok. Nanti biar aku cek dulu motornya sebelum kamu gunakan.
Malam itu, kesedihan yang tadi dirasakan Silvi berlahan menyingkir karena Wijaya telah menemaninya. Mereka terus berbincang hingga tengah malam. Perbincangan berakhir setelah Silvi mengatakan kalau dirinya telah mengantuk, dan Wijaya pun pamit pada cewek cantik tersebut.
(bersambung)
Ceritanya bagus, menarik untuk selalu di ikuti.
BalasHapusApakah Silvi akan merajut cinta sama Wijaya? Perlu di ikuti terus ini cerita Cintaku Di Arena Balap.