"Vi, aku tidak masuk kuliah hari ini," Kata Ratna via phonsel.
"Kenapa Rat?"
"Tidak enak badan nih,"
"Ya sudah. Minum obat, ya," Lantas keduanya menyudahi perbincangan singkatnya.
Silvi beranjak dari tempat duduk hendak mandi, dan kemudian berangkat ke Kampus.
"Selamat pagi Vi," Suara lelaki di phonselnya Silvi yang baru di angkatnya panggilan itu.
"Hei Wijaya. Selamat pagi juga,"
"Pagi ini kamu kuliah kan?" Tanyanya Wijaya.
"Iya. Kenapa Jay?" Jawabnya Silvi yang lantas memasukkan potongan biskuit kemulutnya.
"Emm, nanti kita berangkat bareng, ya,"
"Memangnya kamu kuliah dimana Jay?" Kemudian cewek itu meneguk air putih dalam gelas.
"Aku tidak kuliah, tapi mau ngantor, kebetulan kantor tempat kerjaku satu arah dengan kampusmu," Wijaya menjelaskan.
"Oh, dimananya itu kantormu?"
"Kira-kira 500 meter dari kampusmu ke arah utara," Kata Wijaya atau lebih akrab dipanggil dengan Jay.
"500 meter dari kampusku? Dimananya, ya?,"
"Bagaimana Vi, apa kamu bersedia kita berangkat bareng?"
"Emmm, tapi nanti kamu repot tidak?" Kata Silvi.
"Tidak. Bagaimana?"
"Ok kalau merepotkan,"
"Jam berapa biasanya kamu ke kampus?"
"Hari ini aku berangkat agak pagi, jam 07.30 WIB,"
"Ok, nanti aku sampai di tempatmu sebelum jam setengah delapan.
Ya sudah, aku bersiap-siap dulu, bye," Wijaya menutup pembicaraan. Silvi termangu sejenak, dia kemudian tersenyum dan melangkah keluar kamar untuk mandi.
Silvi tengah mempersiapkan buku-buku untuk ngampus ketika ibunya memanggil.
"Iya bu, sebentar,"
"Itu ada yang menunggumu di luar," Kata sang ibu. Silvi melongokkan kepalanya, tampak seorang cowok berdiri tidak jauh dari sepeda motornya.
"Wijaya. Bu, Silvi berangkat dulu ya,"
"Kamu tidak sarapan dulu?"
"Tidak bu," Silvi berjalan menghampiri Wijaya di luar rumah.
"Bagaimana Vi, sudah siap?" Wijaya tersenyum.
"Siap Jay," Kata Silvi.
"Kita berangkat sekarang yuk," Ajak Wijaya. Agak canggung Silvi naik ke atas motor, membonceng. Mereka langsung melaju meninggalkan rumah menuju Kampus dan tempat kerjanya Wijaya.
Selama dalam perjalanan, mereka banyak berdiam. Namun begitu, Silvi merasakan kesan lain atas diri Wijaya di pagi itu. Sebuah kesan yang sedikit telah menyentuh ruang hatinya.
Hampir satu jam mereka melaju dengan kendaraan roda dua itu. Mereka pun telah sampai di depan Kampus dimana Silvi kuliah.
"Kita sudah sampai Vi," Suara Wijaya setelah melepas helm pengaman kepala.
"Iya Jay," Silvi menatap ke dalam kampus. Sebentar kemudian ia memandang Wijaya, cowok itupun tersenyum.
"Nanti kamu pulang jam berapa Vi?"
"Belum tau Jay,"
"Emmm, nanti kamu kabari aku kalau hendak pulang, ya,"
"Ok. Sekarang aku mau masuk dulu ya, bye," Silvi melangkah masuk Kampus. Wijaya memandangi langkah cewek yang belum lama ini dikenalnya. Ada senyum penuh arti di bibir Wijaya sebelum ia melaju meninggalkan tempat itu.
"Ahaiii, Wijaya tampak ceria sekali hari ini. Ada apa gerangan denganmu Jay?" Kata seorang teman kerja Wijaya.
"Kalau dilihat-lihat sih dia lagi jatuh cinta Wan, hahaa. Benar tidak Jay?" Sambung teman yang lain.
"Bisa saja kamu Gus. Emmm begitulah," Wijaya menepuk pundak Bagus, teman Wijaya.
"Weleh weleh..., aku kira kamu tidak bisa jatuh cinta lagi Jay," Canda Wawan, juga temannya Wijaya. Mereka terkekeh atas apa yang tampak di diri cowok bernama Wijaya tersebut.
Memang sih, selama ini Wijaya dikenal sebagai cowok yang sulit jatuh cinta, apalagi menerima ungkapan isi hati seorang cewek. Jadi teman-temannya hampir tidak percaya kalat Wijaya jatuh cinta.
Pernah teman sekantornya terang-terangan mengutarakan cinta pada Wijaya, tapi Wijaya tidak menanggapinya, padahl cewek itu lumayan cantik dan sexy menurut beberapa orang di tempat kerja itu.
"Bagaimana dengan pembalap dari Suka Motor kemarin Wijaya? Apa kamu sudah menemuinya?!"
"Belum pak. Rencananya hari ini saya akan menghubunginya," Baru saja Wijaya di telepon oleh Manager perusahaan tempatnya bekerja. Wijaya agak gelagapan dengan pertanyaan itu, karena memang pembalap seperti Deni lagi dibutuhkan oleh perusahaan tersebut.
"Cepat kamu hubungi dia Jaya," Kata pak Budi.
"Iya pak. Tapi bagaimana dengan harganya?"
"Harganya bisa disesuaikan nanti, yang terpenting kamu dapatkan dia,"
"Iya pak iya," Kata Wijaya. Sebentar kemudian pembicaraan antara atasan dan bawahan itupun selesai.
Wijaya menatap sekeliling, ia merogoh saku celana mengeluarkan phonselnya.
"Hallo Vi, maaf. Apa kamu tau nomer telepon si Deni? Pembalap yang kemarin itu,"
"Hallo mas Jay. Sebentar," Silvi langsun mencari nomer telepon Deni.
"Bagaimana Vi?"
"Ini mas, 081xxxxxxxxx,"
"Ok Vi, terima kasih ya Vi. Sudah dulu ya, selamat belajar aja, bye," Wijaya langsung menutup pembicaraan. Dia langsung menghubungi Deni.
"Hallo Deni,"
"Hallo, siapa ya?" Suara Deni.
"Saya Wijaya, dari perusahaan Swiwi Motor,"
"Swiwi Motor? Oh. Ada apa pak?"
"Bisakah kita bertemu?"
"Bertemu untuk hal apa pak?" Tanyanya Deni.
"Saya akan menawarkan posisi pembalap utama di perusahaan kami untuk Anda.
Perusahaan kami sedang membutuhkan seorang pembalap seperti Anda. Mengenai bayarannya, nanti bisa disesuaikan atau berapa yang Anda minta. Bagaima mas Deni?" Ujar Wijaya.
"Maaf pak. Bukannya saya tidak merespon tawaran dari bapak. Tapi kami telah berkomitment untuk tidak menerima ajakan masuk ke tim manapun, dan dari siapapun," Kata Deni. Keduanya terdiam sebentar. Wijaya tampak berpikir keras untuk merayu Deni agar mau menerima tawarannya. Namun, Deni tetap pada komitmentnya.
"Maaf pak Budi, saya tidak berhasil mendapatkan Deni. Dia bersikukuh tetap pada tim Suka Motor," Kata Wijaya.
"Apa kamu sudah mengatakan kalau kita akan memberikan bayaran lebih tinggi?"
"Sudah pak. Bahkan saya mengatakan kalau dia akan kita bayar 3x lipat dari bayarannya di Suka Motor, tapi dia tetap tidak mau,"
"Terus bagaimana dengan rencana kita untuk pertandingan balap tropi Gubernur bulan depan Jaya?"
"Emm, nanti saya yang akan maju pak,"
"Kamu? Kamu akan kembali terjun ke arena balap maksudnya Jaya?!"
"Iya pak. Saya akan kembali berlatih untuk tropi itu,"
"Bagus Jaya, bagus. Nanti aku akan memenuhi apapun yang kamu perlukan," Pak Budi merasa senang dengan keputusan yang di ambil Wijaya tersebut, karena pak Budi tau betul seperti apa kemampuan balap bawahannya itu. Wijaya dulunya sebelum ia memutuskan berhenti dari balapan, adalah seorang pembalap handal yang disegani, pembalap dengan segudang prestasi dan pengalaman di arena balap.
(bersambung)
0 Response to "Cintaku Di Arena Balap, Episode 8"
Posting Komentar