Template information

Kegersanganku

kegersanganku


Lama aku duduk di bangku tua depan rumah, sendirian.
Sesekali mata jalangku menatap
orang berlalu lalang yang tidak kutahu tujuannya. Secangkir kopi hitam yang tadi mengepulkan uap panas, kini hanya tersisa ampas tiada terapung. Kedua mataku masih memperhatikan mereka sementara tanganku
menggerayangi bungkus rokok yang tadi kugeletakan begitu saja tanpa ku tata. Sebentar aku menggerutu, karena bungkus
rokok sudah tiada isi.
"Huh!" Suaraku kecewa.Mataku menatap puntung rokok tergeletak di lantai yang tadi kubuang, memelas.

Sedetik pikiranku melayang, lantas hinggap pada sebuah nasib yang membuatku terkungkung pada kesedihan. Aku merasa, semua yang selama ini ada pada diriku telah menghilang. Kekasih hati yang lama menemani dalam asa dan cinta telah pergi dengan meninggalkan kecewa dan luka. Dia pergi mencampakkan diriku begitu
saja.
Beberapa kali aku telah berusaha membuang jauh rasa sakitku. Namun, semakin aku berusaha membuangnya, ia malah serasa semakin melekat saja, hingga sering diriku termenung dalam ratap.

Setahun telah berlalu, tapi kegetiran yang kurasakan belum mau pergi dari kehidupanku. Hal itu mungkin karena terlalu dalam diriku mencintainya.
Diriku yang dalam kegersangan ini, merasa sudah tidak mampu lagi untuk berbuat sesuatu yang berguna.

"Kamu kenapa Plin? Dari tadi kulihat seperti orang kebingungan," Kipli datang mengagetkanku.
"Ah kamu Pli, bikin kaget saja.
Iya bingung,"
"Bingung kenapa?"
"Sudah setahun Aku dan Sari berpisah. Tapi nyatanya aku tidak mampu melupakan dia," Kataku.
"Ah kamu. Jangan cengeng jadi orang. Masih banyak cewek lain yang lebih setia dari si Sari,"
"Iya, tapi...,"
"Tapi kenapa? Sudahlah, kamu harus bisa melupakan semuanya tentang Sari. Kamu harus bangkit," Kata Kipli menasehati dan memompa semangatku.
Sebenarnya sudah ada banyak teman dan orang-orang di sekitarku yang menasehati seperti Kipli, tapi memang akunya yang belum bisa menjalankan semua nasehat itu. Malah aku merasa semakin jauh dalam rintihan kegersangan jiwaku.

Jiwaku terasa sangat gersang. Apapun yang aku lakukan selalu saja menuai kegagalan.
Kegagalanku yang kudapat mungkin karena tidak fokusnya aku pada sesuatu hal yang kukerjakan. Sering diri meradang dan marah oleh ketidakpuasan.
Kupandang satu, dua, tiga orang yang melintas. Mereka tersenyum kecut kepadaku, seakan ingin mengatakan kalau aku memang teramat tolol untuk hidup.

Kipli menatapku tajam. Sebuah senyuman sinis dia lemparkan, seakan menampar wajahku sebelum ia berlalu pergi.
Aku menarik nafas, panjang berulang kali. Aku hembuskan, dan serasa ingin merobohkan tiang-tiang penyangga gubug reot, sereot jiwaku kini.
Entah sampai kapan kegersanganku berubah menjadi kesejukan.

Matahari telah terik, sinarnya panas menyengat kulit, juga menyilaukan terpantul tanah menampar wajahku. Peluh pun bercucuran tiada terbendung membasahi tubuh.
Kuseka wajahku dengan tangan telanjang beraroma debu melekat pilu, mengiris kalbu, menyanyikan lagu sendu.
Aku terus berjalan pada sisi derita yang telah lama mengurungku. Ingin aku berlari, jauh menghindari semua ini. Namun aku tidak mampu, karena kaki ku pun terbelenggu oleh rantai kegetiran nasibku.
Aku berharap, di depan sana ada telaga bening yang akan menyejukkan dahagaku. Namun harapanku belum terpenuhi, karena disana juga tampak gersang kering kerontang, dan lemaslah aku, terkulai dipeluk kegersanganku.

Aku mencoba bangkit meski harus merangkak. Beberabapa bagian tubuhku tampak luka oleh kerikil tajam nan panas terbakar matahari, berserakan menusuk pandangan bola mataku.
Aku terus berjalan, berjuang untuk menjauh dari semua ini, meski tubuhku penuh luka menganga dan terasa perih oleh derasnya keringat.
Aku kembali terjatuh, terjerembab bersama kegersangan jiwaku. (*)

Related Posts :

0 Response to "Kegersanganku"

Posting Komentar

wdcfawqafwef