Cuaca langit tampak cerah dengan warna biru terseliput awan putih.
Sebentar aku memandang barang dagangan yang tadi ku tata rapi menggantung dipikulan terbuat dari belahan bambu.
Pagi ini, rencanaku kembali mengais rejeki dengan berdagang peralatan rumah tangga, berkeliling kampung dan komplek perumahan.
Baru saja secuil ubi sisa semalam kumasukkan ke mulut dan belum aku kunyah. Terdengar suara memanggilku di luar sana.
"Pak Bagyo..," Aku bergegas menyahut panggilannya, dan kemudian kulangkahkan kakiku menuju teras.
"Oh bu Wati. Ada apa bu?" Kataku.
"Gayungnya masih ada tidak pak?"
"Gayung, oh masih bu. Silahkan bu Wati pilih sendiri," Kataku yang mempersilahkan tetanggaku itu untuk memilih gayung yang dicarinya. Ia pun masuk ke dalam rumah.
"Yang ini berapa harganya pak Bagyo?" Bu Wati memegang sebuah gayung berwarna hijau.
"Enam ribu saja bu,"
"Enam ribu, ini pak. Eh, pak Bagyo sudah sarapan belum? Kalau belum, nanti saya antarkan nasi kesini," Bu Wati menyodorkan uang sepuluh ribuan, aku pun langsung merogoh saku celana. Aku buka ikatan plastik putih yang sudah kucek tempat menyimpan uang daganganku, dan memberikan uang kembalian.
"Terima kasih bu. Ini tadi lagi sarapan ubi rebus," Kataku. Bu Wati tampak melongok ke arah piring plastik yang sudah pudar marnanya, tergeletak di dipan.
"Ubi rebus? Sebentar ya pak," Bu Wati kemudian membalikkan badan dan melangkah keluar rumah. Aku menatap langkah Bu Wati, sebentar kemudian aku kembali duduk di dipan dan meneruskan memakan ubi rebus.
"Kalau saja kamu masih ada bu, dan kita diberikan anak," Kataku lirih. Aku sering teringat sama istriku yang sudah wafat beberapa tahun lalu.
Semenjak meninggalnya istriku, kini aku hidup seorang diri, karena kami tidak diberi keturunan oleh Yang Maha Kuasa.
"Pak Bagyo, ini pak buat sarapan," Kata bu Wati, lantas meletakkan sepiring nasi putih dengan lauk sayur lodeh, dan segelas teh manis.
"Terima kasih bu,"
"Saya tinggal dulu, ya pak. Mau nyuci pakain dulu," Bu Wati langsung meninggalkan aku. Aku pandangi makanan dari Wati tersebut, kemudian aku memakannya.
Aku sempat memejamkan mata dan menitikkan air bening disela kelopak mataku saat sesuap nasi berada di dalam mulutku. Bukan karena apa, karena memang sudah lama aku tidak bisa menikmati nasi. Aku tidak mampu membeli beras untuk aku masak. Uang hasil daganganku tidak cukup untuk hal itu, karena kalau aku belikan beras, maka nanti aku tidak bisa kulakan barang lagi. Maklum, harga beras perkilo di tempatku sangat mahal untuk ukuran orang sepertiku. Pembagian beras miskin atau raskin pun tidak pernah aku terima. Entahlah, mungkin aku terlewatkan saat ada pendaftaran untuk menerima beras itu atau bahkan memang aku tidak pantas menerimanya karena keadaanku yang memang tampak gembel di mata mereka. Hanya keluarga bu Wati lah satu-satunya yang bisa mengerti dengan keadaanku. Beliau sering membagikan makanan kepadaku. Yaaah, mungkin karena keluarga bu Wati merasa kasihan dengan keadaanku.
Selesai sarapan dan membereskan peralatan tempat makan, aku langsung berangkat untuk berdagang.
Seperti biasa, sesekali aku menawarkan barang dagangan dengan menyebutkan nama-nama seperti gayung, sapu dan lainnya dalam langkahku berjalan.
"Gayung gayung, sapu, kemunceng/sulak," Kataku dengan terus berjalan menyusuri jalan atau gang perkampungan dan komplek perumahan yang aku lewati.
"Pak pak, sini pak," Panggil seseorang sepertinya ditujukan kepadaku. Aku menoleh ke arah suara tadi. Ternyata seorang ibu muda berdiri di teras rumahnya dan memanggilku.
"Ada apa bu?"
"Bapak jualan keset kaki tidak?" Tanyanya ibu muda tersebut.
"Emm, tidak bu," Jawabku.
"Ya sudah,"
"Mungkin ibu memerlukan barang yang lain, seperti gayung atau sapu?" Kataku menawarkan.
"Tidak pak. Saya mencari keset kaki kok," Kata ibu muda tadi yang lantas masuk ke dalam rumahnya. Aku pun melanjutkan berjalan.
"Gayung gayung, sapu, kemunceng, tempat sabun," Namun tidak ada orang yang menghentikanku untuk membeli barang-barang yang aku jual.
Hari sudah siang benar, sinar matahari sudah panas terasa menyengat kulit keriputku.
Aku mendongak ke atas, matahari hampir berada di atas kepala. Sebentar lagi akan tiba waktu dzuhur, pikirku.
Aku menyeka wajahku dari keringat yang mulai bercucuran. Sebentar aku membetulkan kopiah hitam nan lusuh dan telah pudar warnanya sebagai penutup kepala dari sengatan sinar matahari.
"Kemana lagi aku berjualan, dari tadi belum ada orang yang membeli," Kataku dalam hati. Aku duduk sebentar di bawah sebuah pohon.
Aku mengipas-ngipaskan kopiah yang tadi aku kenakan, ke tubuhku. Cuaca memang sangat panas dan membuat gerah.
"Oh, aku harus ke komplek perumahan itu, barangkali saja nanti disana ada yang membutuhkan barang daganganku," Bergegas aku berdiri dan kembali memikul daganganku, untuk selanjutnya menuju komplek perumahan.
"Pak, sini pak," Suara wanita memanggilku.
"Iya bu. Silahkan dipilih mana yang diperlukan," Kataku setelah di hadapan wanita itu.
"Kok tidak ada keset kaki, ya pak?" Kata wanita itu setelah menengok barang-barang yang kupikul.
"Iya ini bu, tidak ada,"
"Oh.., saya lagi memerlukan keset kaki lho pak,"
"Emm, mungkin untuk barang yang lain ibu juga memerlukannya?"
"Tidak pak. Saya mau beli keset kaki untuk mengganti keset kaki yang sudah rusak itu. Ya sudah pak, maaf ya,"
"Iya bu, tidak apa-apa," Aku membalikkan tubuh. Aku kembali melanjutkan langkahku.
Belum juga langkahku jauh dari wanita tadi, datang dari arah depan seorang wanita menghampiriku.
"Pak, ada gelas plastik tidak?
"Ada,"
"Coba pak, mana," Aku menurunkan dagangan dari atas bahuku. Wanita itu pun memilih gelas yang ia cari.
"Ini berapa harganya pak?"
"Itu, lima ribu saja,"
"Hah? Lima ribu? Kemahalan pak. Di supermarket saja harganya tiga ribu lima ratus kok. Tiga ribu lima ratus ya pak?"
"Belum boleh bu. Saya saja kulakannya empat ribu," Kataku yang lantas mengelap keringat di wajah.
"Tiga ribu lima ratus kalau boleh,"
"Belum boleh bu,"
"Ya sudah kalau tidak boleh. Gelas seperti itu saja kok lima ribu!" Wanita itu pergi dengan cemberut. Aku hanya bisa menarik nafas panjang.
"Kulakanku saja empat ribu bu.. bu," Aku kembali memikul daganganku dan kembali berjalan.
Mata tuaku menatap ke ujung jalan yang aku lalui. Aku berharap, di sana nanti ada pembeli.
Aku terus melangkahkan kakiku meski terasa berat, karena telah dimakan usia.
Sesekali aku menawarkan barang dagangan dengan bersuara agar mereka bisa mengetahui kalau aku berjualan. Namun apa yang aku harapkan ternyata belum terwujud.
Sesampainya aku di ujung jalan itu pun tidak ada yang membeli barang daganganku.
Rasa letih aku rasakan, penat di sekujur tubuhku. Hari ini barang daganganku tidak ada yang membelinya. Namun aku tetap sabar dalam menjalaninya. Menjalani sisi hidup yang digariskan oleh-NYA. (*)
0 Response to "Sisi Kehidupanku Kini"
Posting Komentar