Template information

Kesedihan Junet


"Celaka! Angin puting beliung?!" Mendadak Junet gusar. Dia langsung berlari dengan sekuat tenaga guna menghindari dari amukan angin puting beliung itu.
Dia terus berlari menjauh dan tidak menoleh ke belakang.
Sesampainya dia di dekat lapangan bola, dia menoleh. Angin puting beliung itu seperti terus mengejarnya, hingga ia pun buru-buru menjatuhkan diri ke tanah dan langsung berpegangan pada rerumputan.
"Sial! Hampir saja aku dibawa olehnya," Kata Junet dengan nafas tersengal dan wajah memandang pusaran angin yang tampak sudah menjauh mengecil.
Junet bergegas bangun. Dia berdiri dan menatap ke arah dimana tadi ia pertama kali melihat angin puting beliung.
"Subhanaallah, banyak atap rumah yang terbawa oleh angin itu," Junet berjalan kembali ke tempat semula.
"Tolong..," Terdengar sayup-sayup di telinga Junet. Tampak ia mencari asal suara tersebut.
Belum jauh Junet melangkah, suara minta tolong itu kembali terdengar olehnya.
"Dimana suara itu?" Suara Junet.
"Ju... Juuunet," Lirih suaranya. Junet menoleh.
"Bapak!" Tampak orangtuanya Junet sedang sekarat meregang nyawa. Ada besi dan kayu tertancap ditubuhnya.
"Bapaaaak!" Junet langsung langsung menangis sejadi-jadinya. Bapaknya Junet telah menghembuskan nafas terakhirnya. Bapaknya Junet telah meninggal.
Raungan suara tangis si Junet langsung mengagetkan orang yang berada tidak jauh darinya.
"Suara tangis siapa itu? Oh Junet. Ada apa dengan dia," Orang itu mendekath Junet yang disusul yang lainnya.
"Innalillahi Wa'innaillahi Roj'un.., kenapa dengan bapakmu Ju?" Kemudian tubuh orangtuanya Junet di angkat dan dibawa ke tempat teduh lainnya, karena tidak mungkin dibawa masuk ke dalam rumah, karena atap rumah sudah porak poranda dan bangunan rumah pun seperti sudah miring.
"Awas! Pada menjauh dari rumah pak Broto," Suara salah seorang dari mereka. Tidak lama kemudian 'GREPAAAK, BRUK!' rumah pak Broto (orangtuanya Junet) itupun ambruk. Bukan hanya rumah pak Broto yang roboh, tapi dua rumah disampingnya juga ikut ambruk karena tertimpa material/bangunan rumah itu.
"Waduh! Gara-gara angin beliung tadi, rumah pak Broto, pak Kasno, dan pak Damiri, jadi ambruk," Warga menatap ketiga rumah tersebut dengan wajah terbengong.
"Sudah, biar saja dulu. Sekarang kita urus pak Broto," Suara warga yang lain. Mereka kemudian mengurus jasad bapaknya Junet.
Junet sendiri tampak masih menitikkan air mata. Dia sedih, bapaknya meninggal, rumahnya roboh. Junet tidak tau akan hidup sama siapa, karena ibunya pun sudah lama meninggal. Junet juga tidak punya saudara kandung.


*

Junet tampak menatap langit malam di antara puing rumahnya yang ambruk rata dengan tanah.
Perasaannya tidak karuan. Sepertinya Junet terbelenggu oleh kebimbangan akan hidup. Maklumlah, kini Junet hidup seorang diri. Kedua orangtuanya telah tiada, saudara pun tidak punya.
Junet tampak menghembuskan nafas menghalau embun yang mulai turun.
Sebentar ia menoleh kebelakang. Dipandangnya sekelebat bayang yang tampak karena sorotan sinar rembulan dan lampu jalan.
"Hei Jun, kamu sudah makan belum?" Suara orang yang baru datang dari arah belakangnya Junet.
"Belum," Jawabnya dengan lemas.
"Ke rumahku yuk, kita makan bareng," Kata pak Cahyo, tetangga Junet yang lain. Namun Junet menggelengkan kepala.
"Aku malas makan pak,"
"Kenapa malas makan? Nanti kamu sakit kalau malas makan.
Baiklah, biar aku bawa kesini nasinya, ya," Pak Cahyo kemudian meninggalkan Junet. Sementara Junet memandangnya dengan kedua mata penuh kesedihan.
Tidak berapa lama pak Cahyo datang dengan sepiring nasi dan segelas air minum.
"Makanlah Jun, aku temani disini," Kata pak Cahyo. Junet diam saja, ia masih larut dalam perasaannya.
Junet kemudian memandang pak Cahyo dengan raut muka sedih.
"Pak," Junet kemudian diam, tidak melanjutkan bicaranya.
"Kenapa Jun?"
"Ehmm tidak,"
"Lho.. kalau ada yang mau di omongkan, ya bilang saja," Kata pak Cahyo.
"Apa yang harus saya lakukan pak? Saya benar-benar bingung hidup sendiri tanpa ada bapak dan ibu," Kata Junet yang tampak mau menangis.
"Banyak Jun. Kamu bisa melakukan apa saja meskipun tidak ada orangtuamu.
Nanti akan aku kasih tau, apa saja yang harus kamu lakukan. Sekarang dimakan dulu nasinya, ayo," Kata pak Cahyo. Junet menatap laki-laki di dekatnya tersebut, lantas dia memakan makanan di hadapannya meskipun sedikit.

"Junet, ada banyak yang bisa kamu lakukan dalam hidup ini.
Nanti aku akan membelikan kamu beberapa ekor kambing. Nanti kamu bisa menggembalanya.
Jangan takut, nanti kamu akan aku bayar, atau apa kamu minta bagian kambing kalau nanti induk kambingnya sudah beranak? Itu gampang Jun, terserah kamu mau pilih yang mana.
Mengenai rumahmu, nanti kami para warga akan bergotong royong mendirikan rumah ini. Jadi kamu jangan sedih dan jangan takut untuk menjalani hidup ini Jun," Kata pak Cahyo menjelaskan.
Seperti mendapatkan suntikan semangat, Junet pun tersenyum sumringah, kesedihannya sedikit berkurang. (*)

0 Response to "Kesedihan Junet"

Posting Komentar

wdcfawqafwef