Template information

Penderitaanku

"Hendak kemana kamu?!" Suara ayah mengagetkan aku.
"Emm, ke rumah teman yah,"
"Ke rumah teman? Tidak boleh! Kamu kerjakan tugas-tugasmu," Kata ayah. Aku pun menundukkan wajah, lalu berlalu dari hadapan ayah.
Begitulah yang terjadi padaku setiap hari. Sebelum dan sepulang sekolah, aku harus di rumah, tidak boleh kemana-mana. Aku harus mengerjakan semua pekerjaan rumah, mulai dari memasak sampai mencuci pakaian milik seisi rumah.
Sering aku kelelahan dalam mengerjakan semua itu, karena memang pekerjaan yang menumpuk tidak ada habisnya.
Selain dua pekerjaan tadi yang harus aku kerjakan, aku juga harus menunggu warung kelontong sampai larut malam. Hampir tidak ada waktu istirahat buatku.
Sebagai anak yang masih sekolah, seharusnya aku bisa belajar. Namun waktu belajarku habis untuk mengurusi pekerjaan rumah.

Pak Budi, dia ayah tiriku. Ayah kandungku telah meninggal ketika aku berumur 6 tahun. Aku sendiri sekarang berumur 10 tahun.
Aku masih kelas 3 Sekolah Dasar, namun aku sudah terbebani oleh semua pekerjaan tersebut, yang menurutku sangatlah berat sekali.

Menurut ibuku, ayahku meninggal karena sebuah kecelakaan di jalan raya. Katanya, ayahku ditabrak dari belakang oleh sebuah mobil pick up yang melaju kencang. Mobil itu kemudian melarikan diri tidak memperdulikan keadaan ayahku yang ditabraknya.
Ayahku langsung meninggal ditempat kejadian. Sementara sepeda kayuh yang dinaiki ayah pun ringsek hampir tak berbentuk lagi.

Setahun setelah ayahku meninggal, kemudian ibuku menikah sama pak Budi.
Sebelum pak Budi menikahi ibuku, ia terlebih dulu bercerai dengan istrinya.
Pak Budi punya empat orang anak, dan kesemua ikut sama pak Budi, karena seminggu setela mereka bercerai, mantan istri pak Budi kemudian meninggal karena kecelakaan. Itulah yang membuat kenapa semua anak ikut kepadanya.
Ayah (pak Budi) kemudian tinggal di rumah kami, karena kata ibuku rumahnya telah dijual.
Entah kenapa, mula-mula ayah dan anak-anaknya pada baik kepadaku. Namun, kemudian mereka memperbudakku seenaknya saja.
Aku pernah mengadukan hal itu kepada ibu, tapi ibu diam saja. Malahan, kemudian ibuku seperti membiarkan aku seperti itu, selalu mengerjakan semua pekerjaan rumah.
Aku pernah beberapa kali protes ke ibu, tapi ibu malah marah-marah kepadaku. Aku disuruhnya mengikuti semua perintah ayahku (pak Budi). Kalau aku tidak mau menurutinya, maka aku hendak diusirnya dari rumah.

Sering perlakuan tidak baik aku terima dari anak-anak ayah, bahkan dari ia sendiri.
Perlakuam-perlakuan tidak mengenakkan itu setiap hari aku terima. Bahkan di depan mata ibuku pun mereka berani berbuat kasar kepadaku, dan anehnya ibuku biasa-biasa saja, tidak berusaha melindungiku dari kekerasan itu.
Sering aku menangis sampai sesungukan, tapi ibuku tidak memperdulikan aku.

Penderitaan kian lengkap saat ibuku sakit dan tergolek di tempat tidur. Mereka semakin menjadi-jadi berbuat kekasaran dan memerintahku.
Sering juga tubuhku menjadi sasaran kemarahan mereka saat mereka tidak puas dengan apa yang aku kerjakan atas perintah mereka.

"Maafkan ibu nak. Ibu tidak bisa menjaga dan merawatmu.
Nanti Fitri ikut kakek saja, ya," Suara ibuku pelan dengan diselingi batuk.
Aku menatap ibu. Ingin aku marah kepadanya, tapi aku tidak bisa, karena biar bagaimanapun ia adalah ibuku.
"Tidak bu, Fitri mau bersama ibu," Kataku yang lantas menitikkan air mata. Tidak lama kemudian tampaj ibuku menangis.
"Nanti kamu ikut kakek saja. Biar kakek bisa dekat kamu Fitri.
"Tolong ambilkan ibu segelas air putih hangat, ya nak," Aku masih memandangi ibuku. Ada rasa kerinduan ingin memeluk seorang ibu.
Aku jatuhkan wajahku ke wajah ibu, aku menciumi wajah ibuku, aku mendekap erat tubuhnya yang kurasakan dingin. Aku kemudian mengambilkan air putih yang tadi dimintanya.
Aku kembali ke kamar dari ruang dapur. Betapa aku terkejut dan langsung berteriak keras memanggil nama ibuku.
"Ini airnya ibu. Ibu, ibu, ibu....! Ibu jangan mati, ibu jangan meninggakkan Fitri. Ibu...!!!" Ibuku telah tiada. Aku golek-golekan tubuh ibuku, tapi ibuku diam saja.
Ayah dan Wawan anaknya, kemudian masuk ke dalam kamar.
"Hei semprul! Ada apa dengan ibumu hah!" Suara ayah. Aku memandang wajahnya sebentar, kemudian mengatakan kalau ibu meninggal.
"Wati meninggal? Oh," Suara ayah datar seperti tidak ada perasaan kehilangan atas ibu.
Ayah kemudian keluar dari kamar yang dibuntuti oleh Wawan. Tidak lama kemudian datang para tetangga melihat ibu yang sudah terbujur kaku.

Kesedihan teramat sangat aku rasakan.
Setelah ibuku dimakamkan, aku kemudian bilang sama kakek kalau aku mau tinggal bersamanya.
Sejak aku tinggal di rumah kakek itulah penderitaanku seakan sirna. Mereka, ayah (pak Budi) dan semua anaknya tidak lagi bisa menyakiti aku. Mereka tidak bisa memerintahku dengan seenaknya.
Beberapa tahun kemudian, ayah (pak Budi) dan anak-anaknya kemudian meninggalkan rumah orangtuaku, karena mereka tidak tahan dengan ejekan dan sindiran dari para tetangga.
Sampai sekarang ini, aku heran dengan sakit yang di alami oleh ibuku waktu itu. Namun hal itu aku simpan dan tidak mengatakan pada siapa saja, termasuk pada kakek. (*)

Related Posts :

0 Response to "Penderitaanku"

Posting Komentar

wdcfawqafwef