Template information

Mencari Sebuah Cinta Yang Hilang, Part 14

Mencari Sebuah Cinta Yang Hilang


Semalaman diriku hampir tidak bisa tidur nyenyak. Pikiran terganjal oleh bayangan Renita terus, sampai berulang kali aku membolak-bolikkan badan hanya untuk mengusir bayangnya.
Entahlah, malam itu aku seperti merasakan kalau sebentar lagi akan bertemu sama Renita. Mungkin karena telah tahu foto di album milik Sapto di petang itu. Sehingga diriku merasakan kecamuk ingin segera bertemu Renita, gadis ayu yang terus mengusik relung jiwaku.

Sebelum sinar matahari terbit timur, diriku sudah bangun dari tempat tidur. Berolah raga sebentar di dalam kamar. Keluar kamar, cuci muka dan gosok gigi, lantas menjalankan ibadah shalat subuh. Setelah itu duduk-duduk di teras rumah kost.

Aku menoleh ke arah jalan depan rumah, suara orang berlari lewat di hadapanku. Ada dua cewek belia yang melintas di depan mataku.

"Enaknya kalau pagi seperti ini berjoging,," Aku berdiri dan merenggangkan otot-otot tubuh biar aliran darah lancar.
'Ngiiik..' pintu dibuka dari dalam. Shinta dan Paijem keluar.

"Rajinnya si mas ganteng ini," Suara Shinta. Aku menatapnya sebentar sambil terus menggerakkan anggota tubuh.

"Hahahaa.., ada yang nyembul Shin, lihat," Suara Paijem dengan tertawa lebar.

"Apa yang nyembul Jem?" Tanyanya Shinta tidak mengerti. Sementara diriku cuek saja dengan kata Paijem tadi.

"Itu burung si mas ganteng," Paijem menutupkan telapak tangan ke mata. Sontak saja aku kaget dengan ucapan Paijem, dengan reflek tanganku langsung mendarat ke area yang dimaksud.

"Hahahaa..," Kembali Paijem tertawa, begitu juga dengan Shinta, lalu mereka kiss bye kepadaku sambil berjalan menuju tempat kerja.

"Sial, dikerjai lagi aku. Awas kalian nanti!" Ancamku. Padahal burungku tidak tampak menyembul/menonjol lho waktu itu.


Suasana rumah kost sangat sepi karena penghuninya pada berangkat ketempat kerja masing-masing. Kini tinggal diriku yang masih menganggu, dan ibu kost yang sedari tadi belum tampak batang hidungnya.
Perlu diketahui saja, ibu kost adalah seorang janda yang tidak punya anak. Katanya sang suami telah meninggal dunia setahun yang lalu akibat penyakit kompilasi kronis.
Umur ibu kost sendiri 38 tahun, masih cukup memberi daya tarik sebenarnya untuk mendapatkan pria dan hidup bersamanya. Namun kata beliau, dirinya masih enggan untuk mencari pengganti suaminya yang telah tiada itu. Ia lagi ingin menikmati kesendiriaan.

Selesai meregangkan otot dan berkeringat, diriku masuk ke dalam dan hendak mandi.
Kubuka pintu rumah yang tertutup. Tanpa melihat ke arah depan alias pandangan mata ke lantai, aku langsung masuk ke dalam.
'Deeerrr!' aku bertabrakan dengan ibu kost. Dag dig dug diriku menatap wajahnya. Aku takut kalau beliau memarahiku.

"Aduh, maaf bu, maaf...," Kataku. Ibu kost bukannya marah, tapi ia malah tersenyum.

"Tidak apa-apa kok Jhon. Kamu dari mana Jhon..," Ibu kost menanyaiku.

"Anu bu, dari teras. Permisi," Jawabku dan bermaksud hendak ke kamar. Tapi ibu kost memegang lenganku, dan tentu saja diriku semakin dag dig dug dibuatnya.
Ibu kost yang tampak awet muda tersebut memintaku untuk duduk di kursi ruang tamu, aku pun menurutinya.
Kami kemudian berbincang ringan. Di dalam perbincangan tadi, ibu kost memintaku agar mau menerima menjadi anak angkatnya.
Sungguh tidak pernah terpikirkan oleh ku kalau diriku akan dianggapnya anak. Hal ini tentu menjadi sebuah kehormatan tersendiri buat aku.

Diriku mengiyakan saja apa maunya ibu kost selama hal itu tidak memberatkan aku dan membuatnya senang.
Selesai kami mengobrol, ibu kost kemudian mengajakku untuk sarapan, karena katanya tadi ia telah memasak buat bersarapan. Kami pun berpindah ke ruang makan.

Sebenarnya aku malu juga mendapat perlakuan yang terbilang berlebihan dari ibu kost mengingat diriku yang hanya penyewa kamar, meskipun ia telah menganggapku sebagai anaknya sendiri.
Selesai makan, ibu kost memintaku agar menemaninya ke sebuah acara pernikahan menjelang siang nanti. Aku pun kembali mengiyakannya, toh tidak ada kegiatan apa-apa yang ku lakukan di tempat kost.


Benar saja, menjelang siang ibu kost sudah rapi dan tampak cantik sekali dengan dandanannya.
Belia kemudian menyuruhku untuk bersiap sebelum berangkat ke tempat undangan.
Sebentar saja diriku sudah siap dengan tampilan seadanya. Kami pun kemudian berangkat dengan menaiki sepeda motor kepunyaannya, kebetulan aku sendiri juga sudah punya SIM. Jadi aku disuruhnya duduk di depan mengemudikan sepeda motor itu.
Kami melaju pelan menyusuri jalan perkotaan. Diriku yang belum tahu kondisi jalan maupun arah, memang harus hati-hati mengendarai sambil sesekali meminta ibu kost agar menunjukkan kemana arah yang akan di lalui.

Tidak terasa, akhirnya kami sampai juga di tempat pernikahan yang dimaksud.
Ibu kost menyuruhku menunggu di tempat parkir, sementara dirinya langsung masuk ke lokasi pesta pernikahan tersebut.
Aku memandang langkahnya dengan tersenyum tipis. Entahlah, aku merasakan ada kebanggaan tersendiri bisa bersama ibu kost. Namun, aku juga merasa kasihan mengingat dirinya yang hidup sendiri dalam kota besar seperti Jakarta.

"Hei," Sebuah suara dibarengi tepukan di pundak mengagetkan diriku.

(bersambung).

0 Response to "Mencari Sebuah Cinta Yang Hilang, Part 14"

Posting Komentar

wdcfawqafwef