Hampir setengah hari aku berkeliling kota Jakarta bersama Sapto dan temannya yang bernama Irwan. Namanya juga aku orang kampung yang belum hidup di kota sebesar Jakarta. Jadi wajar saja kalau diriku terkagum-kagum atas pembangunan kota, kemajuan dan juga suasananya.
Hampir tiap kali aku berdecak karena melihat gedung-gedung yang tinggi menjulang. Rasanya aku mau turun dari dalam mobil yang kami naiki saat melintas di jalan dekat Monumen Nasional (Monas). Selama ini diriku tahu Monas kan dari televisi. Jadi aku ingin sekali melihat bangunan itu dari dekat. Tapi sayang, Sapto bilang nanti saja, karena sebentar lagi ini jamnya harus cepat kembali ke perusahaan. Mau tidak mau, diriku harus menunda dulu rasa penasaran itu.
"Kamu tunggu di sini dulu ya Jhon. Nanti aku ke sini," Ucapnya Sapto. Aku pun turun dari mobil box warna putih, kemudian diriku duduk di bawah sebuah pohon akasia. Sementara itu si Sapto dan temannya melanjutkan langsung masuk ke pabrik.
Aku memandang sepanjang jalan di mana aku duduk di pinggirnya. Puluhan bangunan pabrik berjajar di sana. Mungkin ini kawasan perindustrian, ucapku.
Diriku terus memperhatikan puluhan bangunan pabrik itu dan membuatku ada secercah harapan untuk bekerja di salah satu tempat tersebut.
"Kita makan siang di sana yuk Jhon," Suara Sapto datang dengan menaiki sepeda motor. Entah motor kepunyaan siapa yang dia naiki. Aku mengiyakan saja. Kami kemudian makan siang di sebuah warung kecil di kawasan pabrik tadi.
"Bu Ida? Benarkah beliau ibu Ida, orang tuanya Renita?" Aku terkejut setelah masuk ke dalam warung. Aku lihat seorang ibu setengah baya, mirip ibu Ida, orang tuanya Renita Saraswati.
Aku juga melihat kalau ibu di dalam warung itu terkejut melihat diriku. Kami sama-sama tertegun sejenak sebelum saling berkata.
"Kamu.., kamu mirip sekali sama Jhon Maulana," Suara ibu setengah baya tadi.
"Maaf, apakah ibu ini bu Ida? Ibunya Renita Saraswati?!" Tanyaku.
"Apa kamu Jhon Maulana?"
"Iya bu, benar," Jawabku.
"Oh alaaaaa Jhon.. Jhon. Kapan kamu ke Jakarta? dan sama siapa," Tampak kebingungan di wajah bu Ida, kemudian aku ceritakan semuanya kenapa aku ke Jakarta. Bu Ida tampak tersenyum. Kami kemudian memesan makanan.
Sembari menikmati makan, aku menjawab semua yang bu Ida tanyakan kepadaku. Begitu sebalik, beliau bercerita tentang Renita yang mengalami kecelakaan hingga dirinya harus di operasi dan kini jalannya harus terpincang.
"Oh.. begitu iya bu," Kataku dan mengangguk-angguk kecil.
"Iya Jhon. Sekarang Renita lagi kerja. Oh iya, kamu tidur di mana Jhon," Tanyanya bu Ida sembari menuangkan air teh ke gelas kami.
"Tidur di tempat kost bu, sama mas Sapto ini," Sapto menoleh ke arah ku dengan sedikit melotot.
Selesai makan siang, Sapto kembali ke pabrik untuk melanjutkan bekerja. Sementara diriku ditahan bu Ida untuk tetap di tempat. Katanya, bu Ida masih kangen sama diriku. Jadilah aku di warung itu sambil menunggu Sapto kembali dan mencarikan tempat kost buat aku.
Aku kaget dan terdiam saat mengetahui kalau Renita Saraswati telah menikah. Hal itu disampaikan sendiri oleh ibunya.
Mendadak terasa sesak dada ku mendengar penuturan bu Ida itu. Jadi, sia-sia sudah harapanku untuk selalu bersama dia, orang yang sangat kucintai.
"Iya Jhon, Renita sudah menikah delapan bulan yang lalu, sebelum dia mengalami kecelakaan itu," Kata bu Ida yang duduk di dekatku.
"Emmm, delapan bulan yang lalu ya bu, suaminya orang mana bu?" Tanyaku dengan menyembunyikan pesaan sedihku.
"Suaminya orang Jepara. Suaminya kerja satu pabrik dengan Renita.
Oh iya Jhon, bagaimana dengan kamu sendiri, apa kamu sudah punya calon istri?"
"Belum bu," Aku menggeleng lemah.
"Oh, ya nanti nyari disini saja. Ada banyak itu cewek temannya Renita.
Emmm, kalau kamu mau beristirahat, bisa istirahat di dalam sana Jhon. Ibu mau memasak dulu, ya," Kata bu Ida. Namun aku tetap duduk di bangku warungnya. Aku menatap jauh ke ujung jalan beraspal. Tampak beberapa karyawan pabrik berseragam abu-abu, keluar dari dalam pabrik. Tampaknya mereka akan menuju ke warung bu Ida. Bergegas aku keluar dari warung. Diriku duduk di depan warung.
Udara terasa panas menampar wajah ku. Namun begitu aku menyulutkan api ke ujung rokok filter yang tadi tinggal sebatang.
Benar saja, orang-orang tadi masuk ke dalam warung bu Ida. Mereka menatapku seakan curiga. Mungkin karena mereka baru pertama ini melihatku berada di warung tersebut.
"Aduh!" Suaraku mengaduh. Sebuah kerikil mengenai kaki ku setelah terlindas roda mobil yang baru saja melintas. Orang-orang di dalam warung pun menoleh ke arah ku.
(bersambung).
0 Response to "Mencari Sebuah Cinta Yang Hilang, Part 19"
Posting Komentar