"Andai saja bagaimana maksudmu Tyas?" Diriku memandangnya tidak mengerti. Dia bukannya menjawab pertanyaanku, tapi menatapku lama tidak berkedip. Tentu saja diriku penasaran dengan apa yang ia lakukan. Entahlah, lama kami beradu pandang, dan aku merasakan seperti ada sebuah arus mengalir dan menggetarkan dada.
Wanita berkulit kuning langsat yang duduk di sampingku kemudian tersenyu. Dia memainkan jari-jari lentiknya. Aku pun hanya bisa membalas senyumnya tanpa tahu arti dari semua ini.
"Jhon, kamu tetap di Jakarta saja ya,"
"Maksudmu?"
"Ya jangan pulang dulu ke Jawa, begitu,"
"Lha, kalau aku di Jakarta terus suruh apa Tyas?! Aku kan tidak punya kerja, uang dan tempat tinggal," Kataku. Tyas terdiam, sepertinya ada yang lagi ia pikirkan. Sebentar kemudian senyumnya mengembang dan menjelaskan maksudnya kepadaku.
"Nanti kamu nyari kerja di sini, dan akan kubantu mencari kerjaannya.
Sementara kamu tinggal di tempatku sambil menunggu teman-temanku kembali,"
"Lha misalkan kerjaan belum juga dapat, sementara teman-temanmu sudah balik ke rumah yang kalian tempati? Apa aku masih boleh tinggal di tempat kalian?!"
"Tenang saja Jhon, hal itu sudah aku pikirkan. Maksudku.. besuk kita nyari kost-kost-an buat kamu. Bagaimana Jhon?"
"Kan aku tidak punya uang untuk membayar kost Tyas.., bagaimana kamu ini,"
"Nanti kan pakai uangku dulu Jhon.., mau tidak..?!" Kata dia. Aku mengiyakan saja apa yang ia rencanakan tadi, toh diriku kan tidak punya apa-apa saat itu.
Hari telah gelap. Malam telah tiba, aku dan Tyas masih duduk di bangku berwana putih di taman kota.
Semilir angin mulai dingin, mengusir hawa gerah yang sedari tadi kami rasakan.
Lampu-lampu kota menghiasi malam itu bersama kerlap-kerlip bintang di langit nan cerah.
Wajah kami sesekali menghindar dari silau sorot kendaraan yang melintas di jalan dekat kami berada.
Sekali lagi Tyas memandang ke arah ku. Sepertinya ada yang hendak ia katakan kepadaku, namun di simpannya.
"Ada apa denganmu Tyas, kok tampak gelisah,"
"Emm, tidak ada apa-apa kok Jhon,"
"Benar tidak ada apa-apa? Ya sudah kalau memang tidak ada apa-apa," Pandangan mataku kemudian tertuju ke tengah jalan. Ku lihat tampak ada sebuah mobil sedan melaju lumayan cepat dan menyalip kendaraan lain. Diriku terpekik ketika sedan tadi hampir menyenggol sebuah sepeda motor yang melaju dengan kecepatan sedang.
"Kenapa Jhon?!" Tyas kaget dengan suaraku yang berteriak namun tertahan. Ia menatapku. Aku menunjuk ke ruas jalan dan kemudian mengatakan apa yang tadi hampir terjadi. Dia pun menarik nafas.
Sebentar kemudian kami beranjak dari taman kota, pulang ke rumahnya Tyas.
Tyas, wanita berusia 21 tahun itu kemudian membuka pintu rumah. Kami masuk dan duduk di kursi ruang tamu. Kami sama-sama terdiam. Suasana pun tampak hening. Wanita yang telah berbuat baik kepadaku itu kemudian menyalakan pesawat televisi.
"Wow, ada drama Korea malam-malam begini," Kataku.
"Iya Jhon, tumben juga nih malam-malam ada drama Korea," Timpalnya. Dia kemudian ke belakang, dan kembali dengan dua buah cangkir teh panas yang tampak mengepulkan asap.
"Tapi jujur saja, aku kurang begitu suka sama drama Korea Tyas,"
"Ganti saja kalau kamu tidak suka. Silahkan Jhon, mumpung masih panas,"
"Biar saja deh, mungkin kamu suka sama drama Korea," Ku tuang teh panas ke lepek. Ku tiup sebentar dan kuminum. Tyas pun melakukan hal yang sama.
"Sebenarnya aku sendiri juga tidak suka dengan drama itu," Dipindahnya acara tersebut oleh Tyas.
"Aduh duh," Di sengaja atau tidak. Setelah memindah acara televisi itu (karena tv nggak ada remote), Tyas malah duduk di pangkuanku. Terang saja aku kaget dan juga malu, begitu juga dengan dia. Tyas tampak mengulum senyum sebelum tawanya pecah juga.
"Hahaa.. Maaf Jhon, nggak sengaja,"
"Tidak apa-apa kok,"
"Bener nih nggak apa-apa? Ah paling kamu keenakan kan? Mau lagi?!"
"Tidak tidak," Diriku malah malu, namun sepertinya wanita cantik dengan bodi lansing berkulit kuning langsat itu berkata lain. Ia duduk memepetku yang mana membuatku menjadi berdebar saja.
"Lihat itu Jhon, mereka serasi sekali ya,"
"I..iya," Jawabku agak gugup atas perkataannya tadi.
Kami terus menikmati acara televisi hingga larut malam. Setelah mata kami lelah dan mengantuk, kami pun menyudahi menonton acara di tv. Tyas masuk ke kamarnya, sementara diriku berbaring di lantai berkarpet dan bertikar.
Sepi, ruangan menjadi sunyi setelah tv di matikan dan kami tidak lagi mengobrol disertai canda.
Pikiranku kembali mengembara bersama bayangnya Renita, dan aku pun terlelap.
Tubuhku menggeliat. Hawa dingin ku rasakan. Aku terkejut saat mencari selimut yang sudah tidak lagi menempel di tubuhku, dan tanganku menyentuh sosok tubuh manusia.
Aku memicingkan mata, kulihat Tyas ada di sampingku. 'Gila!' kataku dalam hati.
Aku tidak menyangka kalau dia seperti itu. Berbaring di sampingku dengan pakaian tidur yang teramat tipis.
Buru-buru aku pindah tempat ke kursi panjang di ruangan itu.
Kupandang tubuh wanita yang membujur di tikar tempatku tadi tidur. Entah kenapa tiba-tiba dada ku berdegup kencang, darah mengalir dengan derasnya hingga nafasku tersengal. Namun, buru-buru kupalingkan muka dari tubuh yang tengah tergolek tersebut. Aku memejamkan kedua mata dan selimut ku tutupkan di muka. Namun kini pikiranku telah terusik olehnya hingga aku pun hanya bisa berbaring dalam nafas gelisah.
"Uuughhh..," Suara Tyias dalam geliat tidurnya.
(bersambung).
0 Response to "Mencari Sebuah Cinta Yang Hilang, Part 6"
Posting Komentar