Aku termenung di tengah sepinya malam. Rumah kost yang kutempati sudah tampak lengang dari hiruk pikuk para penghuninya. Memang sih tadi selepas maghrib suasana ramai dengan mereka yang berbincang dan sesekali terdengar tawanya.
Aku buka plastik bungkus kacang yang tadi sore dibelikan Tyas, dan sebotol air minum mineral.
Satu biji kacang ku kupas dan memakannya. Mendadak aku berhenti mengunyah, diriku kembali teringat akan diri Renita, orang yang masih kucintai.
Ingin suatu hari nanti diriku kembali mencarinya. Biar bagaimanapun diriku dan Renita harus bertemu, meskipun hanya bertatap muka tanpa jabatan tangan karena aku tahu kalau dirinya sangat marah kepadaku saat itu.
Sekelebat bayang dari Renita telah membuatku tersedak. Ku buka tutup botol air mineral lantas meminum airnya. Aneh, seakan dirinya tersenyum dalam botol di air jernih itu.
Sebuah ilusi, mungkin iya, karana pikiranku yang teramat memikirkan Renita.
"Renita..," Lirih suaraku menyebut namanya. Bayang gadis cantik yang telah tiga tahun bersamaku itu kembali bermain di benak.
Aku tersenyum dikala teringat masa-masa menyenangkan bersamanya. Masa dimana kami selalu berdua dalam suka maupun duka. Namun sedih bila teringat kejadian yang pahit.
"Tolong aku Jhon...," Suara Renita meminta tolong. Aku menoleh dan mencari asal suara itu. Renita tampak terperosok di bibir jurang yang tidak dalam saat kami sama-sama mendaki pegunungan. Bergegas aku ulurkan tangan kepadanya. Dia yang tampak tengah berjuang agar tidak jatuh ke dasar jurang itu, kulihat ia meronta dan menggapai-gapai satu tangannya. Tangan yang satunya memang telah berpegangan pada tumbuhan disitu. Namun sepertinya tumbuhan itu akan tercabut dari tanah karena tidak kuat menopang beban tubuh Renita.
Secepat kilat kusambar tangan Renita, lantas menariknya ke atas. Aku tidak peduli kalau tubuhnya yang mulus akan lecet tergores tanah keras dan tumbuhan perdu, yang penting dia bisa selamat, pikirku.
Meski agak susah, akhirnya Renita berhasil ditarik ke atas, dan terselamatkan.
Nafas kami tersengal-sengal. Degup di dada sangat kencang. Aku menatapnya, ia tampak ketakutan dan masih gemetaran.
Andai saja diriku telat menariknya, kemungkinan besar Renita akan jatuh dan tubuhnya akan menghantam bebatuan di bawah sana.
"Kamu tidak apa-apa kan Ren?"
Renita hanya mengangguk tanpa berucap. Ia masih gemetaran dalam menatapku. Ia memelukku erat, hal yang belum pernah aku dapatkan darinya meskipun kami sudah sebulan pacaran.
Renita tampak menitikkan air mata dalam pejamnya. Entah kenapa ia sampai seperti itu, mungkin karena rasa takutnya yang berlebihan, pikirku.
"Kenapa kamu menangis Ren, ada apa?"
"Tadi aku melihat bayangan Ayah sebelum terperosok Jhon..,"
"Bayangan Ayahmu? dimana,"
"Di depanku. Tiba-tiba saja Ayah muncul dan tersenyum,"
"Oh, itu mungkin karena kamu terlalu memikirkan kepergiannya. Sudahlah, mari kita lanjutkan perjalanan ke atas, atau kita balik saja? Ku lihat sekarang kamu tidak enak badan begitu," Kataku. Renita memilih melanjutkan perjalanan. Kami pun kemudian meneruskan perjalanan ke atas perbukitan. Meski Renita tampak letih, namun ku lihat dia tetap bersemangat dengan sesekali tersenyum kepadaku.
Saat itu, memang hanya aku dan Renita saja yang mendaki. Sementara Evi dan yang lain tidak ikut bersama kami berdua karena mereka lagi disibukkan oleh kuliahnya.
Akhirnya aku dan Renita sampai juga di puncak Gunung setelah melewati perbukitan. Senyum puas mengembang di bibir ku. Namun kemudian aku dikejutkan oleh tubuh Renita yang tiba-tiba ambruk dan tak sadarkan diri.
Aku berusaha memberikan pertolongan semampuku dengan mengoleskan minyak angin dan memijit bagian-bagian tertentu dari tubuhnya. Syukur, tidak lama kemudian ia siuman dari pingsannya.
"Kamu tidak apa-apa kan Ren?"
"Iya, tidak apa-apa kok Jhon,"
Kami saling melempar senyum. Kami merasakan senang karena telah mencapai puncak Gunung itu dengan selamat. Namun gerimis turun dan dengan cepat berubah menjadi hujan sangat lebat. Kami bergegas mencari tempat berteduh di bawah sebuah pohon besar yang tidak jauh dari tempat kami tadi.
Aku dan Renita sama-sama basah kuyup, menggigil kedinginan. Pakaian dan jaket yang kami kenakan tidak mampu menahan terpaan angin dingin yang kencang.
GREPAAAK BRUK!!! suara pohon tumbang. Cabangnya menghantam tubuh Renita yang kebetulan robohnya pohon itu disampingnya dia.
Aku terpekik keras. Tubuh Renita roboh tersambar cabang pohon yang lumayan besar. Dengan cepat kuraih tubuh gadisku tersebut.
Aku memeriksa sekujur tubuhnya. Ada darah segar di sisi pundaknya. Dengan cepat kuperiksa pundak Renita. Ada luka menganga di situ. Renita tampak meringis menahan sakit.
"Lukanya tidak terlalu dalam kok Ren," Kataku.
Ku bersihkan lukanya tadi memakai air minum yang kami bawa, lantas membalutnya.
Hujan belum juga reda, sedangkan kami sudah menggigil hebat. Kulihat Renita memejamkan matanya lalu ambruk di pangkuanku.
Aku lepas jaketku yang basah kuyup dan menyelimutkan ke tubuhnya.
"Renita, Renita..," Aku guncang-guncang gadis cantik di pangkuanku. Namun ia diam saja. Diriku semakin gusar karena hujan belum juga berhenti, malah suara guntur menggelegar di atas kami.
Di tengah hujan lebat dan petir yang menyambar-nyambar, aku mematahkan ranting-ranting pohon yang tadi roboh, kemudian ku tata sedemikian rupa untuk berteduh kami.
Hujan reda tiga jam kemudian. Tubuh kami basah kuyup. Renita tampak masih lemas. Kuperiksa lagi luka di pundaknya. Aku hanya bisa menarik nafas dalam-dalam. Luka itu pastilah sangat perih dirasakannya, gumamku.
Setelah mengelap bagian sekitar luka tersebut, barulah aku meneteskan obat antiseptik yang sengaja kami bawa dari rumah.
Renita menggeliat, ia tampak meringis menahan perih dan rasa pegal di tubuhnya.
Aku mengulas senyum, begitu juga dengan dirinya. Lalu satu ciuman aku daratkan di kening gadisku tersebut.
'KLETEK KLETEK!' suara itu mengagetkan aku, membuyarkan lamunanku. Aku bangkit dari tempat tidur dan menengoknya, ternyata seorang lelaki keluar dari kamarnya.
(bersambung).
0 Response to "Mencari Sebuah Cinta Yang Hilang, Part 8"
Posting Komentar