"Bisa rusak ini desa. Aku harus menghentikan ini semua!" Ucap Kipli dengan memandangi hamparan tambang pasir di desanya.
Sebagai seorang warga yang tidak ingin tempat tinggalnya rusak dan tercemar oleh penambangan pasir liar, Kipli kemudian punya rencana untuk berdemo menolak kehadiran penambang-penambang pasir liar itu.
Kipli sangat prihatin atas penambangan pasir di desanya yang tidak mendapatkan ijin dari pemerintah daerah maupun kelurahan tempatnya tinggal. Mereka menambang secara liar tanpa memperhatikan nasib warga yang bisa terancam atas kegiatan mereka tersebut.
Sebenarnya, penambangan pasir di desanya dan desa sekitar sudah berjalan sejak lama. Namun Kipli baru mengetahuinya baru-baru ini, karena ia lama tinggal di perantauan.
Kipli terus melangkahkan kakinya meninggalkan lokasi penambangan. Ia bermaksud untuk menemui pak Lurah, menanyakan kenapa penambangan itu ada di desanya.
"Selamat siang pak. Apa pak Lurah ada?" Suara Kipli pada perangkat desa yang lagi duduk di ruang kerjanya.
"Pak Lurah lagi tidak ada di tempat, beliau lagi ada pertemuan di Kecamatan. Ada perlu apa sama pak Lurah?"
"Emm anu pak, saya hanya ingin menanyakan tentang penambangan pasir di desa ini,"
"Penambangan pasir, memang ada apa dengan penambangan itu? dan kamu siapa?! "
"Saya Kipli pak, warga desa Melati sini.
Bukankah penambangan pasir di desa kita ini tidak mempunyai ijin kan pak?" Kipli menatap tajam perangkat desa tersebut.
"Kalau masalah itu, silahkan kamu tanyakan langsung sama pak Lurah nanti. Permisi," Sepertinya oknum perangkat desa itu kurang senang dengan pertanyaan dari Kipli barusan, dan ia langsung menghindar dari Kipli.
"Ada apa dengan dia? Wah, seperti ada yang tidak beres," Kipli kemudian keluar dari ruangan perangkat desa dengan kecewa.
"Apa ada permainan di antara mereka?" Kipli tampak termenung memikirkan sikap perangkat desa itu.
"Kenapa termenung seperti itu kang Kipli, ada apa?!" Seseorang menghampiri Kipli yang muncul dari ruas gang jalan depan rumahnya.
"Oh kamu kang Tarsan. Iya ini kang, aku lagi memikirkan efek buruk dari penambangan pasir liar di desa kita,"
"Oh masalah itu tho, aku juga pusing dengan penambangan liar itu. Penambangan baru berjalan beberapa bulan, tapi sudah sangat terasa dampaknya bagi pertanian dan kelangsungan hidup warga,"
"Iya kang Tarsan, dan aku melihat bahwa akan ada dampak yang lebih buruk lagi atas penambangan liar itu," Kemudian Kipli menopangkan tangannya ke dagu.
Sebentar kemudian dipejamkannya kedua matanya. Kipli menarik nafasnya dalam-dalam setelah membuka matanya yang tadi terpejam.
Tampak guratan keprihatinan di kedua wajah orang itu, Kipli dan Tarsan.
"Terus apa yang harus kita lakukan untuk menghentikan penambangan itu kang Kipli?" Tanyanya Tarsan.
"Mungkin kita harus minta sama pak Lurah agar menghentikan kegiatan pengerukan pasir itu,"
"Sudah kang Kipli. Dulu beberapa warga sudah meminta pak Lurah untuk menghentikannya, tapi pak Lurah tidak bi7a berbuat banyak dan mereka terus melakukan penggalian pasir itu,"
"Aneh, seharusnya pak Lurah bisa menghentikannya kang Tarsan. Apa permainan di antara mereka?"
"Ya entahlah kang Kipli," Tarsan menatap langit, seakan ingin mengabarkan pada langit yang terbentang luas itu kalau dirinya dan banyak warga sedang dirundung rasa prihatin. Prihatin karena alam yang dulunya tampak indah dan asri, kini menjadi gersang dan di sana-sini penuh lubang galian yang menganga.
"Kita demo mereka saja kang Tarsan, bagaimana menurutmu," Kata Kipli.
"Demo? Tapi kita perlu mengajak warga lain yang tidak setuju dengan adanya penambangan itu,"
"Iya kang Tarsan. Nanti kita ajak warga desa yang tidak setuju dengan pengerukan pasir itu,"
Kipli dan Tarsan mempersiapkan segala sesuatunya guna berdemontrasi di lahan penambangan pasir ilegal di desanya.
Kipli dan Tarsan terus bergerilya pada warga yang tidak mengharapkan adanya penambangan liar tersebut. Hingga pada suatu hari, gelombang demontrasi dari warga pun terjadi.
Suasa di area penambangan pasir liar tampak memanas. Mereka saling ngotot mempertahankan pendirian masing-masing.
Warga yang jumlahnya puluhan itu merangsek ingin bertemu dengan pengelola tambang. Tapi di pihak lain, puluhan orang berwajah garang menghalangi mereka.
Suasana menjadi ricuh tidak terkendali ketika beberapa orang berwajah garang mendorong, memukul dan menendang warga. Mereka terus bersitegang yang kemudian pecah bentrok dengan saling memukul.
Keadaan semakin parah dengan jatuhnya beberapa korban dari pihak warga. Melihat kejadian tersebut, Kipli dan Tarsan bertambah marah. Ia tidak lantas mundur dari demonya sampai akhirnya pihak kelurahan datang ke lokasi itu karena mendengar bahwa telah terjadi bentrokan di lokasi penambangan.
Pak Lurah melerai kedua belah pihak yang telah disulut emosi tersebut. Pak Lurah berjanji bahwa ia akan menyelesaikan masalah itu secara kekeluargaan. Para pendemontrasi pun menarik diri dari lokasi.
Beberapa bulan kemudian, apa yang dijanjikan oleh pak Lurah tidak terbukti. Kipli, Tarsan dan warga yang pro penolakan penambangan pun berang, karena kondisi desa semakin hari bertambah parah saja.
Entlah, nyatanya para pamong kelurahan tidak ada yang mencoba menghentikan ataupun memberikan solusi terbaik atas pengerukan pasir di wilayah kerja mereka. Kipli dan Tarsan pun kemudian bersiap akan menggelar demontrasi besar-besaran di area penambangan pasir.
Niat demontrasi yang dipimpin oleh Kipli dan Tarsan tersebut juga mendapat dukungan dari warga desa tetangga. Warga desa tetangga juga tidak setuju jika wilayah mereka dijadikan penambangan ilegal.
Pagi itu, Kipli, Tarsan dan para warga sudah bersiap menggelar demo dan orasi di tempat penambangan. Ditambah lagi puluhan warga desta tetangga yang juga telah siap berangkat.
"Baiklah saudara-saudara sekalian. Hari ini kita akan menuntut hak kita yang telah dirugikan oleh mereka.
Semuanya sudah siap?! Mari kita berangkat," Lantang suara Kipli menyemangati. Mereka berangkat ke lokasi penambangan dengan gagah berani. Mereka akan memperjuangkan hak-haknya.
Sementara itu, dari arah lain warga desa tetangga juga sudah bergerak. Mereka dengan semangat menggebu menuju tempat penambangan liar tersebut.
Sebentar kemudian area penambangan pasir liar itu penuh dengan para pendemo. Melihat hal itu, para pekerja dan penjaga penambangan langsung berkumpul. Mereka hendak mengadakan perlawanan pada para pendemo kalau warga yang berunjuk rasa itu tidak mau meninggalkan tempat dimana mereka bekerja.
Belum juga Kipli dan Tarsan selesai dalam berorasi, tiba-tiba beberapa alat berat pengeruk pasir melaju ke arah pendemo dengan suara menderu-deru. Warga pun tampak panik, kemudian aksi saling lempar tidak bisa di elakan.
"Woy kalian orang-orang kampung bodoh! Kalian mau mencari mati ya!" Suara seseorang dari pekerja tambang liar dengan suara keras menantang. Mendengar perkataan seperti itu, warga semakin murka.
Bentrokan di area penambangan semakin sengit. Mereka sama-sama dalam emosi.
Kerusuhan di lokasi penambangan terdengar oleh pak Lurah dan stafnya. Tidak ingin terjadi hal-hal yang tak di inginkan atas warganya. Pak Lurah kemudian menghubungi nomer Kepolisian. Beberapa saat kemudian pihak kepolisian langsung meluncur ke lokasi.
Suasana keributan sempat terhenyak sebentar ketika suara sirine mobil polisi terdengar meraung-raung.
Para petugas keamanan dari kepolisian langsung teraun melerai mereka. Namun adu argumentasi antara Polisi, pendemo, pekerja dan keamanan penambangan berlangsung seru. Bahkan mereka saling dorong lagi, sehingga petugas kepolisian dengan terpaksa melepaskan tembakan peringatan ke udara. Tidak berselang lama, kericuhan dapat diredam. Para pendemo meninggalkan lokasi dengan teratur.
Beberapa kali demo telah dilakukan oleh Kipli, Tarsan dan warga. Hal itu dinilai oleh oknum penambang sebagai ancaman serius buat kelanjutan penambangan yang mereka lakukan. Maka ia melaporkan kejadian-kejadian itu kepada atasan mereka.
Tidak butuh waktu lama. Boss yang mempunyai proyek penambangan pun menyuruh bawahannya untuk membungkam warga yang dinilainya rewel dan melawan.
Mereka para penambang akhirnya menambah penjagaan di area penambangan dengan mendatangkan beberapa preman berwajah sangar dan bengis.
Para petugas keamanan penambangan kemudian menyisir perkampungan, mereka mencari orang yang bernama Kipli dan Tarsan yang di anggap orang paling berbahaya karena mereka lah penggerak warga desa untuk berdemo.
"Itu rumahnya Tarsan. Hei Tarsan, keluar kamu!" Teriak seseorang dari 40 orang yang menyisir perkampungan tersebut. Merasa ada yang memanggil, Tarsan pun keluar dari dalam rumahnya, kebetulan hari itu Tarsan tidak pergi kemana-mana.
"Siapa kalian, ada apa?!" Tanyanya Tarsan yang kaget karena puluhan orang berwajah garang bersenjata tajam dan pentungan kayu, telah berdiri berjajar di depan rumahnya.
Tanpa babibu, Tarsan langsung diseret oleh mereka menuju ke sebuah lapangan.
Di lapangan itu, Tarsan dihajar mati-matian. Bertubi-tubi tubuh Tarsan dihajar menggunakan pentungan dan senjata tajam sampai ia sekarat. Tubuh Tarsan yang sudah sekarat itu dilindas dengan sepeda motor berkali-kali, lalu mereka pergi meninggalkan tubuh yang babak belur tersebut.
Orang-orang yang mengeroyok Tarsan tadi kemudian bergerak menuju ke rumah Kipli. Beberapa menit kemudian mereka sampai di rumah Kipli.
Mereka langsung menarik tubuh Kipli yang saat itu berada di atas sepeda motor karena hendak bepergian.
Tubuh Kipli diseret beramai-ramai menuju kantor kelurahan.
Disepanjang perjalanan menuju kantor kelurahan itu, mereka menghajar Kipli menggunakan kayu, batu, dan benda tajam. Warga yang melihat aksi kawanan bengis itu tidak berani berbuat apa-apa.
Para warga kebanyakan pada bersembunyi di balik rumah.
Aneh memang, Kipli yang dihajar habis-habisan tersebut tidak ada seorang manusia pun yang menolongnya. Bahkan sesampai mereka di kantor kelurahan, para Lurah dan perangkatnya tidak berani berbuat apa-apa. Mereka diam, bersembunyi di ruang kerja masing-masing. Para pengayom masyarakat itu seakan membiarkan Kipli dianiaya.
Bongkahan batu berulang kali dihantamkan ke kepala Kipli. Berulang kali pentungan kayu mendarat di tubuhnya.
Berulang kali juga senjata tajam dihujamkan ke tubuh Kipli. Namun tampaknya manusia bernama Kipli itu tidak bergeming. Sepertinya tubuh Kipli tidak mempan oleh senjata tajam, hantaman batu dan kayu. Akhirnya mereka mengikat tubuh Kipli ke sebuah tiang. Mereka kemudian menyetrum tubuh Kipli dengan aliran listrik di kelurahan tersebut. Kipli pun meninggal dengan mengenaskan.
"Mereka memang biadab!!!" Suara seorang warga pada temannya. (*)
0 Response to "Penganiayaan Itu, Sadis!!!"
Posting Komentar