Hp di kamar berdering tiada henti saat diriku cuci muka di kran kamar mandi. Bergegas aku mengambil smartphone yang tergeletak di atas kasur itu setelah selai membersihkan muka dari debu jalan.
Kuamati sebentar, kiranya ibu yang baru saja menelphon ku. Aku pun menelphon balik.
Mulanya biasa saja saat ibu dan diriku berbincang. Namun semua menjadi luar biasa saat ibu menanyakan kapan aku pulang dan menikah. Kata ibu, adikku yang bernama Rita akan segera menikah. Dia sudah mendapatkan lelaki yang nanti akan menjadi suaminya. Dan kata ibu lagi, sebentar lagi Rita akan dipinang. Jadi mau tidak mau diriku diminta harus bisa pulang.
Percakapanku sama ibu cukup lama, dan ibu selalu menanyakan kapan aku menikah disela pembicaraan. Hal ini cukup membuatku kelimpungan, mengingat aku yang belum punya calon.
Sebenarnya diriku juga ingin lekas menikah karena memang usiaku yang sudah berkepala tiga lebih. Di kantor pun diriku sering diledek teman-teman karena hanya diriku yang belum berkeluarga dengan umurku yang sudah menginjak tiga puluh lima itu.
Kini aku sering terdiam dalam kesendirian memikirkan kapan menikah. Memang sih, ada dua orang wanita di kantor tempatku bekerja yang masih single. Umur mereka kira-kira dua puluh lima tahun dan dua puluh tujuh tahun.
Kedua wanita itu bila kuperhatikan juga menaruh rasa kepadaku. Namun aku sendiri ragu untuk mengungkapkan desir di hati kepada mereka. Pernah dulu aku menyatakan cinta pada teman sekantor yang kini telah bersuami, dan dianya menolak diriku. Jadi hal itu lah yang membuat harus berpikir berulang kali untuk menyatakan cinta kepada wanita teman sekantor.
Pada bulan berikutnya setelah diriku di telphon ibu mengenai adikku itu, aku pun pulang ke rumah.
Ibu, bapak, dan adik menyambutku dengan rasa senang. Maklum, aku sudah setahun lebih tidak pulang ke kampung, meskipun di hari raya lebaran.
Aku menatap mereka dengan tersenyum. Ibu yang duduk disampingku mengelus-ngelus rambut ku seperti yang sering beliau lakukan saat puluhan tahun silam dimana aku masih anak-anak dan remaja.
Rita menatapku penuh rindu dengan senyum khasnya yang masih utuh seperti beberapa waktu lalu.
"Kapan kamu menikah nak?" Suara ibu memecahkan keheningan kami. Aku terdiam, lantas tersenyum. Kupandangi wajah ibu yang di wajahnya sudah banyak kerutan.
"Iya ini, kapan kak Han menikahnya...?" Tanyanya Rita yang semakin membuatku terpaku dalam diam. Aku berpikir sebentar untuk menjawabnya. Namun mulut terasa tertutup untuk sementara waktu.
Aku alihkan pandangan ke bapak yang tengah membetulkan roda sepeda kayuhnya, beliau diam dengan sesekali tersenyum.
"Emmm, nanti kalau sudah mendapatkan wanita yang mau diajak menikah, bu, dik," Kataku dengan tidak percaya diri.
"Jangan lama-lama, lihat itu semua temanmu sudah pada punya momongan," Kata ibu yang serasa memvonisku agar secepatnya menyusul teman-teman sebayaku.
"Oh iya kak, aku ada teman cewek, orangnya cantik juga baik. Nanti Rita perkenalkan kalau kak mau," Ucapnya Rita. Aku hanya memandangnya agak malu. Malu jika diriku harus menjawabnya 'Ya', dan ibu mengiyakan tawaran adikku tadi.
Sudah dua hari aku berada di rumah. Benar saja, adikku mengajak seorang temannya ke rumah. Wanita yang diajak ke rumah itu memang cukup cantik dan kelihatannya juga orangnya baik.
Kami lantas berkenalan dan mengobrol panjang lebar. Benar apa yang dikatakan oleh adikku, temannya itu seorang yang baik, sopan, supel, inspiratif dan dedikasi. Pokoknya super enak diajak mengobrol.
Setelah berkenalan dan puas mengobrol ngalor ngidul. Dia pun pamit pulang. Semenjak kepulangannya wanita bernama Risma itu, diriku merasakan kalau diri ini ada timbul niat menggebu-gebu untuk segera berumah tangga.
Aku sering menemui Risma di tempat tinggalnya. Waktu cuti kerja yang hanya seminggu itu aku pergunakan untuk mendekati Risma. Akhirnya, di hari terakhir cutiku itu, kuberanikan untuk mengatakan kalau diri ini suka kepada Risma.
Diluar dugaanku yang akan ditolaknya, ternyata Risma menerima ungkapan perasaanku kepadanya. Jadilah hatiku berbunga, aku kini telah mempunyai seorang Risma yang akan kupersunting menjadi seorang istri nanti.
Dengan perasaan berat meninggalkan Risma yang telah menjadi kekasihku, aku berangkat kembali ke kota untuk bekerja.
Sesampainya di tempat kerja, banyak teman-teman yang heran atas perubahan pada diriku. Kata mereka, sekarang wajahku tampak sumringah dan penuh semangat luar biasa. Aku hanya tersenyum saja menanggapi apa yang teman-teman katakan. Sementara itu, aku dan Risma terus melakukan kontak hubungan meskipun lewat telphon.
Kekuatan cinta memang luar biasa. Jika dulu aku jarang pulang ke rumah dalam setahun bekerja. Kini, diriku pulang ke rumah bisa sampai empat kali dalam setahun. Hal ini karena adanya Risma di hatiku.
Pada tahun kedua setelah kami sama-sama menjalin hubungan, akhirnya kami menikah juga.
Rita terkekeh melihat diriku duduk di pelaminan bersama Risma. Terima kasih adikku, kamu membuat kakakmu bahagia. (*)
0 Response to "Pulang Menikah"
Posting Komentar