Sudah hampir setengah hari diriku menunggu disini. Namun ibu belum juga kembali. Rasa haus dan lapar sudah tak kuat kutahan. Mana cuaca langit tampak mendung bergelayut di atas sana.
Berulangkali kuseka keringat mengucur di wajah. Kulit tubuhku pun tampak memerah tersengat terik matahari.
Aku hanya bisa menatap mereka yang berlalu lalang di jalan. 'Klotak!' sebuah botol air mineral dilempar dari dalam mobil yang melaju lumayan kencang, dan hampir mengenaiku.
Ku amati botol tersebut, ada sisa air di dalamnya. Tanpa berpikir lagi, aku ambil botol itu kemudian meminum isinya. Terasa segar mengguyur kerongkongan. Kini pandangan mataku sudah sedikit terang.
"Ibu, kenapa kamu belum kembali...," Aku menoleh kesana kemari, siapa tahu saja ibuku tengah berjalan ke arahku, tapi tak kunjung terlihat.
Aku serba salah. Ingin diriku menyusul ibu, tapi tak tahu kemana. Sementara mau pulang ke rumah pun aku tidak hafal jalannya yang tadi kami lewati.
Ibu menyuruhku menunggu di sini, katanya beliau mau bertemu teman dan hanya sebentar. Tapi telah berjam-jam beliau tidak kembali. Sebagai seorang anak tentu saja aku khawatir jika terjadi sesuatu terhadap ibu. Apalagi aku masih kecil, semakin gelisahlah diri ini.
Langit yang tadi mendung telah menitikkan air hujan. Aku beringsut dari dudukku dan menutupi kepala dengan telapak tangan.
"Kenapa kamu masih disini nak, menunggu siapa?" Seorang kakek menyentuh pundakku dan membuatku kaget.
"Eee, anu kek, lagi menunggu ibu,"
"Menunggu ibumu? Memangnya kemana ibumu nak?"
"Tadi ke sana kek," Kataku dengan menunjuk kesebuah arah. Kakek itu manggut-manggut.
"Kita tunggu ibumu disana saja yuk,"
"Nggak mau kek, biar saya menunggunya disini,"
"Tapi ini kan gerimis nak, ayolah nak," Kakek itu menarik tanganku, aku pun
mengikutinya.
Hujan turun dengan derasnya. Kakek yang duduk disampingku mengambil kain dari dalam buntalan yang dibawanya, kemudian mengenakannya di tubuhku.
Aku tersenyum pada kakek tersebut. Dengan kain darinya, tubuhku menjadi hangatan sedikit.
Dengan detail sekali kakek menanyaiku, mulai dari siapa namaku, orang tuaku, dan tempat tinggalku. Aku pun menjawabnya dengan detail pula.
Aku memandang ke sudut jalan, sepertinya itu ibuku yang tengah berjalan ke arah kami. Beliau tampak setengah berlari. 'Brak, sraaaaakkk!" Sebuah mobil pick up warna putih menabrak ibu. Diriku langsung menjerit keras tak tertahan. Tanpa bisa dicegah kakek itu, aku berlari sekuat tenaga menuju tempat ibu yang terbujur di pinggir jalan.
"Ibu...! Hu hu hu huuu...," Tangisku pecah. Langsung kutubruk tubuh yang terbujur di hadapanku. Darah mengalir deras di kepala ibu. Ibuku telah meninggal.
Kakek tadi memegang pundakku, lantas dia jongkok di sampingku yang tersimpuh dengan memeluk tubuh ibu.
Banyak orang datang ke tempat kejadian. Mereka pada bertanya kenapa dengan ibuku, tapi tak ku jawab. Dadaku sudah sesak oleh kepiluan hingga tak mampu lagi berkata-kata.
Sopir mobil yang menabrak ibu tidak berhenti untuk mempertanggung jawabkan kelalaiannya. Aku yang masih kecil cuma bisa menangisi kepergian ibu tanpa bisa berbuat sesuatu. Kemudian kakek itulah yang mengurusi jenazah ibu. Kakek juga yang kemudian merawat diriku karena ayahku juga telah meninggal sewaktu aku masih kecil. Sementara aku juga tidak pernah tahu siapa saudara ibu dan ayah karena diriku belum pernah diajak ke kampungnya kedua orang tuaku.
Hari-hari aku jalani bersama kakek Wangsa, orang yang telah merawat diriku.
Aku tinggal bersama kakek Wangsa. Beliau juga yang telah membiayai hidupku. Dari urusan makan, pakaian, sampai bersekolah, semua di urusi sama kakek.
Aku tidak dapat menyembunyikan perasaan sedih ini karena sekarang kakek Wangsa tengah sakit keras dan terbaring di tempat tidur. (*)
Jumat, 06 November 2015
Cerpen
0 Response to "Ibu, Aku dan Kakek Wangsa"
Posting Komentar