Rapuh, itu yang kurasakan. Perpisahanku dengan Talia telah merubah sebagian hidupku.
Diriku yang dulu ceria dan banyak kata, sekarang lusuh, sering terdiam.
Cinta memang bukanlah segalanya dari hidup ini. Namun semua serasa hilang setelah cinta pudar dan pergi dengan seenaknya.
Talia adalah sosok membanggakan dibalik tawa candaku. Talia juga penyemangat hariku. Namun semua itu telah berlalu seiring kepergiannya dari sisihku.
Aku terkadang berpikir, andai saja diriku nggak melakukan perbuatan konyol yang membuatnya marah dan memutuskan diriku. Mungkin saat ini aku masih bercanda dengannya.
"Kamu sengaja ya Den, membuatku marah?!
Nggak seharusnya kamu bersikap seperti itu pada Nila. Keterlaluan kamu Den, sekarang juga kita putus!" Talia berlalu dari hadapanku dengan muka cemberut bersungut-sungut.
"Talia, tunggu!"
"Buat apa kamu mengejarku?! Tidakkah jelas apa kataku tadi, kita putus!" Wajah Talia memerah. Sepertinya dia sangat marah terhadapku. Aku hanya bisa memandang langkahnya dengan perasaan bersalah.
Ingin aku meminta maaf pada Talia. Namun aku sangat tahu jika dia tak akan memberikan maaf atas kesalahanku. Talia seorang yang keras kepala bila dirinya sudah merasa dirugikan dan disakiti.
Berhari hari aku mencoba menemui Talia untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi antara diriku dan Nila, tapi rupanya Talia memang tak mau menemuiku. Permohonan maafku pun melayang menghambar tertiup angin.
Sebenarnya apa yang aku lakukan pada Nila bukan lain untuk menguji rasa cinta Talia kepadaku. Namun dirinya keburu disekap api cemburu yang mana pada akhirnya menelantarkan cintaku.
Aku merasa, apa yang kulakukan masih di batas kewajaran, tapi lain di mata Talia yang selalu memegang teguh kesetiaan dan tak pernah macam-macam untuk melakukan seperti yang aku perbuat.
Seminggu telah berlalu semenjak Talia mengucapkan 'Putus'. Tak kusangka, Talia mengirimkan sepucuk surat kepadaku yang isinya sangat membuatku merenung.
"Deni, kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Semua antara kita telah berakhir. Jadilah kamu seorang yang dewasa, dalam berfikir ataupun tindakan.
Aku tidak suka kepadamu. Ternyata kamu masih coba-coba atas kesetiaan yang aku berikan.
Lebih baik kita berjalan sendiri-sendiri daripada nanti ada pertengkaran antara kita.
Sekali lagi, aku tidak suka dengan sikap dan coba-cobamu itu.
Hidup ini bukan hanya untuk kata cinta saja. Ada banyak hal yang harus kita lakukan dalam menjalani hidup di dunia ini. Talia."
Berulang-ulang aku baca surat dari Talia dan mencoba untuk mengerti. Namun rupanya aku terlalu bodoh untuk hal itu. Dan yang ada malah semakin rindunya diriku kepadanya, tapi tak mungkin aku menemuinya apalagi kembali mendapatkan cintanya karena dia memang sudah tak mau lagi menemuiku.
Sebulan telah berlalu. Diriku masih belum mampu melupakan Talia yang teramat istimewa buatku. Hingga diriku sering merenung, melamunkan diranya.
Lama kelamaan kerapuhan menghinggapi diriku. Aku mulai gampang terbujuk rayu oleh teman-teman. Minuman beralkohol yang dulu sangat aku benci pun sekarang sering masuk ke kerongkongan.
Hampir tak dapat kupercaya. Dia datang dan menepuk pundak ku saat diriku dalam keadaan setengah sadar karena pengaruh minuman.
Talia menatapku. Diamatinya diriku yang sudah sipit matanya.
Dalam picingan mata, aku melihat kesedihan tampak di raut mukanya.
Dia duduk disampingku. Lembut suaranya terdengar olehku.
"Deni, kenapa sekarang kamu seperti ini? Apa karena diriku?" Suara Talia serasa dekat di telingaku. Aku terdiam. Ingin ku jawab YA, tapi untuk sementara lidahku terasa kelu. Aku hanya bisa bersandar di sebuah bangku, dan menatap jauh ke angkasa.
Dia meraih tanganku dan menggenggamnya. Sebuah kalimat ia ucapkan yang mana membuatku tersentak dan hampir tidak percaya. Talia mengatakan jika dirinya masih mencintaiku dan berharap diriku mau memaafkannya.
"Benarkah apa yang kamu katakan tadi Talia?"
"Iya Den. Tapi dengan syarat kamu tidak berbuat aneh-aneh lagi. Dan tinggalkan minuman memabukkan itu," Dia mengusap pipiku. Aku langsung menegakkan tubuhku. Aku pandangi wajahnya dalam-dalam, sepertinya memang benar apa yang ia katakan barusan.
"Iya Talia, aku memaafkan dirimu kok. Aku akan jauh dari minuman itu, asalkan..,"
"Asalkan apa Den?"
"Asalkan kamu tidak meninggalkan aku lagi,"
"Iya Den, Aku nggak akan meninggalkan dirimu lagi,"
"Janji?"
"Ya, janji. Tapi kamu juga harus janji nggak akan macam-macam lagi," Seulas senyum mengembang di bibirnya.
Talia telah kembali kepadaku. Kami sama-sama menatap hari esuk yang pastinya akan menyenangkan karena kembali pada kebersamaan. (*)
0 Response to "Kembali Pada Kebersamaan"
Posting Komentar