Template information

Dia Cinta.. Dia Cinta.. Aku Mabuk! Episode 5

Sesampai di rumah. Aku menceritakan kejadian tentang roda sepeda motor itu pada ibu. Aku harus membetulkannya sebelum bapak pulang dan mengetahuinya.
Bukan karena aku takut akan di omeli bapak, tapi menghindari omelan datang kan lebih baik, pikirku.

"Aku minta uangnya bu, buat ke bengkel membetulkan pelek/veleg itu," Kataku pada ibu.

"Nanti saja nunggu bapakmu pulang. Ongkos ke bengkel kan tidak sedikit," Jawab ibu.

"Kok nunggu bapak? Iya kalau bapak pulang, kalau tidak?" Kataku.

"Pokoknya nunggu bapakmu saja," Tukas ibu.

"Ah ibu, pelit!" Aku berlalu dari depan ibuku. Maksud hatiku minta uang pada ibu agar bisa secepatnya membetulkan veleg itu. Eh, malah disuruh nunggu bapak. Kalau nunggu bapakku, kan sama saja nanti bapak tau dan pasti beliau mengomel. Lagian pulangnya bapak juga tidak tau. Bapakku sudah lama tidak pulang ke rumah, beliau sibuk di kota sebagai kuli bangunan.
Aku termenung. Aku teringat kalau di dalam lemari bajuku dulu aku simpan sejumlah uang hasil kerjaku waktu ikut nguli bersama bapak.
Bergegas aku masuk ke kamar dan mencari uang tersebut. Alhamdulillah, uang itu masih ada tergeletak di dalam lemari itu.
Uang tadi aku ambil dan menghitungnya. Jumlahnya masih utuh, yakni 350.000,- aku pun tersenyum.
Dulu, uang tersebut mau aku belikan sebuah perangkat hp, tapi kemudian tidak jadi karena ada saudaraku yang memberiku hp meski hp jadul.

"Mumpung masih siang, aku mau ke bengkel dulu ah, membetulkan veleg tadi," Kataku. Aku bergegas keluar kamar dan membawa uang tadi berjumlah 150.00, buat berjaga-jaga sih andaikata ongkosnya nanti mahal. Uang yang sebagiannya tetap aku simpan dalam lemari pakaianku.

"Kamu mau kemana Joni," Tanyanya ibu.

"Mau ke bengkel bu,"

"Ibu bilang nunggu bapakmu. Memangnya kamu punya duit buat ongkosnya?"

"Tenang saja bu. Aku pakai uang simpananku. Sudah dulu ya bu, Assalamu'alaikum," Aku langsung menyalakan mesin kendaraan dan melaju menuju kesebuah bengkel.

*

"Berapa ongkos membetulkan veleg ini mas?!" Tanyaku pada pemuda di bengkel tersebut. Dia bangkit dari tempat duduknya, lantas memeriksa veleg sepeda motorku.

"30.000 mas," Jawabnya.

"Kok mahal? Kurangi ya,"

"Itu murah mas. Biasanya malah 40.000 untuk membetulkan seperti ini. Bagaimana?" Kata dia.

"Emmm, okelah," Aku mengiyakan ongkos segitu. Meski aku rasa mahal, namun aku mengalah karena memang aku tidak bisa membetulkannya, lagian uang di kantungku juga cukup, pikirku.
Pemuda bengkel itu dengan cekatan mempreteli roda tersebut. Kelihatannya dia cukup terampil dalam menangani veleg penyok. Sehingga dengan cepat dia menyelesaikan pekerjaannya dan hasilnya cukup baik.

"Kamu orang mana mas, sepertinya bukan orang sini ya?" Tanyanya pemuda bengkel.

"Aku orang kampung mawar mas," Jawabku.

"Kampung mawar? Kampung mawar Desa Lumansari maksudmu?"

"Iya mas. Kenapa mas?"

"Tidak kenapa-kenapa. Saudara ibuku ada yang di kampung itu," Kata dia.

"Benarkah? Siapa saudara ibumu itu," Aku menatapnya. Dia kemudian duduk disampingku. Dia mengeluarkan rokok, lalu menawariku.

"Rokok mas. Dia bernama pak Ridwan Sasongko,"

"Pak Ridwan Sasongko?,"

"Iya. Kenapa kamu seperti terkejut?"

"Tidak. Istrinya pak Ridwan Sasongko itu bernama siapa?" Tanyaku. Dalam hatiku, jangan-jangan yang dia maksud adalah bapakku. Bapakku juga bernama Ridwan Sasongko.

"Emmm, kalau tidak salah istrinya pak Ridwan Sasongko itu bernama Wiji Wulandari. Ya, bu Wiji Wulandari," Terang dia.

"Wiji Wulandari? beliau kan ibuku. Maksudku, pak Ridwan Sasongko dan bu Wiji Wulandari itu adalah orang tuaku," Kataku menjelaskan. Pemuda bengkel itupun terperanjak.

"Benarkah?!
Kalau begitu.. apa namamu mas Joni Sasongko?!" Dia menatapku. Dia memperhatikanku dari ujung rambut sampai ke ujung kaki dengan seksama.

"Iya mas. Namaku Joni Sasongko,"

"Weladhala, kok yo aku pangling denganmu mas.
Namaku Saiful. Saiful Bahkri, anaknya pak Tukijan dan bu Fatimah.
Bagaimana kabarmu mas Joni...? Hemmm, aku benar-benar pangling mas," Dia kemudian menepuk-nepuk pahaku.

"Oh.. jadi kamu anaknya bulek Fatimah istrinya pak lek Tukijan yang bernama Saiful Bahkri yang di kabarkan hilang itu ya?!"

"Iya mas, hehehee. Sekarang aku sudah kembali mas," Jawab dia.

"Kok bisa sih kamu dikabarkan menghilang? Ceritanya bagaimana itu," Tanyaku. Dia kemudian menceritakan bagaimana dirinya sampai di kabarkan hilang.

"Sebenarnya aku tidak hilang mas. Pada saat itu aku ikut merantau sama pak dhe ku. Disana aku ikut dia. Aku kerja ditempat pak dhe ku yang berada di Kalimantan. Kemudian aku pergi dari tempatnya pak dhe ku karena aku tidak betah, karena di omeli terus.
Aku pergi dari tempat pak dhe tanpa pamit. Aku kemudian ikut orang setelah sebelumnya menggelandang di terminal dan pelabuhan.
Sebenarnya aku mau langsung pulang ke kampung, tapi tidak punya ongkos mas.
Oleh orang yang aku ikuti itu, aku diajaknya bekerja di bengkel sepeda motornya.
Lama aku bekerja di bengkel itu, ada 10 tahun. Sampai akhirnya aku punya cukup uang dan pulang ke kampung. Selama aku pergi dari tempat pak dhe ku, aku tidak pernah berkirim kabar ke kampung. Begitulah ceritanya mas," Dia panjang lebar menjelaskan padaku. Aku mengangguk-ngangguk sambil menikmati rokok yang tadi dia tawarkan.

"Oh begitu ya ceritanya. Lalu kapan kamu pulang ke kampung mas,"

"Jangan panggil aku mas, karena aku adikmu. Aku kan anaknya dari adiknya bapakmu kan, hehehee.
Aku pulang ke kampung ini baru semingguan mas. Tidak lama kemudian aku mendirikan bengkel sepeda motor ini," Kata dia.

"Benar-benar hebat kamu dik," Kataku.

"Kok hebat mas?"

"Lha iya. Hidup di perantauan dengan lama tidak berkirim kabar, tau-tau pulang dan mendirikan bengkel seperti ini. Kan hebat itu namanya dik,"

"Bisa saja mas ini, hehee.
Mas Joni sendiri kerja dimana?" Tanyanya padaku.

"Aku belum kerja dik, pengangguran. Sudah mencoba melamar kesana kemari tapi hasilnya nihil, tidak dapat apa-apa,"

"Oh. Jangan berkecil hati mas. Jangan menyerah. Ada banyak peluang kerja di sekitar kita kalau kita mau dan jeli. Bukankah begitu mas," Sepertinya dia seorang berjiwa besar dan ulet, pikirku.

"Iya juga sih dik. Tapi aku tidak tau pekerjaan apa yang cocok buatku. Aku juga tidak punya modalnya," Kataku.

"Jangan bingung mas. Nanti lama-lama mas Joni akan menemukan pekerjaan yang cocok sesuai kemampuan.
Memang, tanpa adanya modal, kita akan ragu untuk melangkah, dan hal itu juga pernah aku alami. Namun dengan ketekunan dan keuletan, kita bisa mengumpulkan sesuatu untuk menjadikannya modal. Percayalah akan hal itu mas," Aku semakin kagum saja pada pemuda bengkel yang ternyata masih saudaraku.
Setelah lama berbincang-bincang, aku pun berpamitan untuk pulang.

"Baiklah dik. Karena hari sudah mau sore, aku mau pulang dulu. Nanti kita lanjut ngobrolnya dilain waktu.
Ini dik ongkosnya," Aku memberikan uang 30.000 sebagai ongkos pembetulan veleg tadi.

"Tidak usah mas, tidak usah. Gratis buat mas Joni,"

"Benar ini?"

"Iya mas, benar. Salam ya buat pak dhe Ridwan dan bu dhe Wiji," Karena dia tidak mau menerima ongkos dariku, aku pun memasukkan uang tadi kembali ke dompet.
Aku pulang ke rumah dengan tersenyum. Ketemu dengan saudara. Uang tidak jadi berkurang, dan yang terpenting aku mendapat suntikan semangat darinya akan sesuatu untuk langkahku selanjutnya.

(Bersambung).

1 Response to "Dia Cinta.. Dia Cinta.. Aku Mabuk! Episode 5"

wdcfawqafwef