Template information

Rintihanku Hingga Di Jembatan Ampera

Pertengkaran yang sering terjadi antara kedua orang tuaku membuat diriku harus pergi dari rumah, karena aku kerap menjadi sasaran kemarahan mereka.
Bermodalkan uang 20.000,- pemberian kakek selama aku membantu pekerjaanya membuat tampi, aku nekat pergi dari rumah selepas maghrib.
Aku tidak tau harus pergi kemana. Aku melangkah mengikuti apa yang kurasa saat itu. Hingga aku pun sampai di Kota kecamatan.

Aku berhenti di depan sebuah kedai makan, karena perutku keroncongan, lantas aku masuk ke kedai tersebut dan memesan makanan.
Selesai makan sepiring nasi dengan lauk seadanya plus minuman air putih. Aku membayar makanan tadi dengan uangku yang hanya dua puluh ribu.
Kini uangku tinggal 16.500,- dan aku tidak tau harus kemana.
Aku terus berjalan mengikuti naluriku. Akalku serasa tidak mampu lagi untuk berpikir.

Disebuah depan pertokoan, aku berhenti dan duduk melepas penatku setelah cukup jauh berjalan.
Rasa haus kembali terasa. Aku membeli air mineral dalam kemasan botol 500 ml dan sedikit kue. Praktis uangku kini tinggal 11.000,-

Di tengah kebingungan yang aku hadapi, datanglah seorang wanita setengah baya mendekatiku. Dia mengajakku mengobrol. Mulai dari menanyakan siapa aku sampai hal-hal yang saat ini aku alami.
Kami terus mengobrol kira-kira sampai 1 jam di emperan pertokoan tadi. Entah karena kasihan atau apa, kemudian wanita itu mengajakku untuk ke rumahnya.
Mula-mula aku ragu, takut pada ajakannya, karena meskipun kami sudah berkenalan tapi kan aku tidak tau bagaimana sifat dan maksudnya mengajakku. Namun setelah ibu itu meyakinkan aku dan bilang mau memberikan pekerjaan untukku, akhirnya aku menerima ajakan tersebut.

Kami menaiki sebuah angkot untuk menuju ke tempatnya. Di sepanjang perjalanan, ibu itu banyak bercerita kalau pekerjaan yang bakal diberikan kepadaku sangatlah enak dan gajinya pun besar.
Sebagai seorang gadis kampung yang berusia masih bau kencur dan jauh dari yang namanya teknologi informasi, aku pun cukup senang mendengarnya apalagi dengan keadaanku saat ini yang sangat memerlukan pekerjaan dan uang guna menopang hidupku.

Hampir satu jam kami menuju rumahnya. Setelah itu kami sampai di tempat ibu itu kira-kira jam 20.42 malam.
Rumahnya ibu tersebut tidaklah besar dan mewah, namun cukup sederhana dengan bangunan rumahnya berdinding semen.

"Silahkan kamu makan dan minum dulu, karena kamu pasti lapar dan haus bukan?" kata bu Sherly, seperti waktu dia memperkenalkan diri kepadaku. Aku mengangguk, tidak lama kemudian kusantap makanan yang dia berikan hingga tidak tersisa.
Setelah itu aku disuruhnya beristirahat di sebuah kamar kosong yang tampaknya cukup lama tidak digunakan.
Bu Sherly sendiri sudah berkeluarga tapi belum mempunyai anak. Sedangkan suaminya sedang pergi merantau entah kemana. Kata dia, suamianya sudah ada sekitar 6 tahun tidak pernah pulang dan berkirim kabar.

Aku berpikir. Aku sangat beruntung sekali karena dalam pelarianku dari rumah bisa mendapatkan tumpangan tempat tidur, bahkan mau diberikan pekerjaan yang enak dan bergaji besar. Aku tersenyum, kemudian membaringkan tubuhku yang terasa pegal karena berjalan kaki lumayan jauh.

*
Sinar mentari tampaknya sudah dari tadi bersinar, ketika kulihat cahayanya dari celah jendela kamar.
Aku membuka pintu kamar dan keluar. Kulihat bu Sherly sudah berpenampilan rapi dengan polesan makeup tampak tebal menempel di wajahnya. Bu Sherly tersenyum ketika melihatku sudah terbangun.
Bu Sherly kemudian menyuruhku untuk mandi. Setelah mandi, aku disuruhnya sarapan untuk kemudian dia mengajakku ke suatu tempat yang cukup aneh menurutku.

Aku melihat tempat itu cukup ramai dengan banyak wanita-wanita cantik berpenampilan sexy dan tidak sopan menurutku.
Aku diajaknya masuk kesebuah bangunan rumah yang di dalamnya ada beberapa wanita sexy sedang duduk-duduk di sofa ruang tamu. Pandangan mata mereka sepertinya tidak bersahabat waktu itu.

"Ini mam, aku bawakan dia untuk mami," suara itu lirih aku dengar dari bu Sherly.

"Oh bagus. Mari ikut aku," kata yang tadi dipanggil mami oleh bu Sherly. Mereka kemudian masuk ke dalam, sementara aku tetap duduk di sofa tersebut sambil sesekali mencuri pandang ke arah mereka, wanita-wanita berpenampilan sexy yang tidak jauh dari tempatku berada.
Tidak lama kemudian, bu Sherly dan mami itu keluar. Mereka duduk di dekatku.

"Begini Mawar. Nanti kamu tinggal disini. Nanti mami ini yang akan memberikan pekerjaan enak dan bergaji besar. Sekarang aku mau pulang dulu, nanti kapan-kapan aku akan menjengukmu," kata bu Sherly. Belum juga aku berkata-kata, kulihat bu Sherly pergi dari hadapanku.
Aku bingung, campur aduk perasaanku saat itu, karena aku tidak tau apa yang harus aku lakukan. Aku seperti kerbau di cokok saja saat yang bernama mami itu mengajakku masuk untuk kemudian menunjukkan sebuah kamar untuk aku tempati.

"Ini kamarmu. Bereskan dulu tempat tidur ini, karena sebentar lagi akan ada tamu buat kamu," kata mami itu. Aku terbengong. Tamu apa yang dia maksudkan, pikirku.

"Maksudnya tamu apa?" tanyaku pada mami itu.

"Tamu laki-laki. Kamu harus melayaninya sebaik mungkin. Jangan pernah mencoba kabur dari tempat ini, mengerti!" mami itu kemudian keluar dari kamar. Aku terbengong. Aku mencoba menututinya, namun pintu di kuncinya dari luar.
Aku yang tidak tau apa-apa dengan semua ini hanya bisa diam, duduk di pinggir ranjang.
Pikiranku melayang. Seketika teringat rumah dimana kedua orang tuaku tinggal. Aku tersadar, aku sudah semalaman meninggalkan rumah tanpa pamit pada orang tua.

Tiba-tiba terdengar pintu di buka dari luar. Aku terperanjak kaget ketika kulihat seorang laki-laki masuk ke kamar yang aku tempati.
Laki-laki itu kemudian mengunci pintu dan kemudian duduk disampingku.

"Wow, cantik sekali tapi masih kecil. Berapa umurmu?" tanyanya laki-laki itu dengan bau minuman keras keluar dari mulutnya. Aku menggeser dudukku. Aku menatapnya, ada ketakutan pada diriku saat itu.

"Kamu ini siapa? Kenapa kamu masuk ke kamar ini," dia hanya tersenyum kecut kepadaku. Dia mendekatkan duduknya ke arahku lantas merangkul pundakku.

"Aku bukan siapa-siapa. Yang jelas aku mau menikmatimu," kata laki-laki itu.

"Menikmati apa?! Sana menjauh dariku!" kataku dengan mendorong tubuhnya. Namun dia malah tertawa, sebentar kemudian mendekap tubuh kecilku dan membantingnya ke tempat tidur. Dia kemudian menggerayangi tubuhku. Aku mencoba berontak, melawan dia dari kekurang ajaran itu. Namun dia malah semakin nekat dan garang.

"Aku sudah membayarmu mahal pada mami. Jadi kamu harus melayaniku, sekarang!" kata dia yang lantas berusaha melepaskan pakaian yang kukenakan. Jelas saja aku melawannya sekuat tenagaku. Tapi satu tamparan keras mendarat di wajahku. Aku menjerit, aku menangis. Aku menatap laki-laki itu dengan tajam. Aku memohon pada dia agar tidak melakukan hal itu padaku. Namun dia tidak memperdulikan tangisan dan permohonanku.
Laki-laki itu dengan beringasnya melucuti pakaianku hingga aku pun tampak telanjang tanpa sehelai benangpun.
Di tengah isak tangisku, dia menindih tubuhku, yang pada akhirnya aku merasakan sakit di alat vitalku.
Dia telah mengambil sesuatu dariku. Dia telah merusak ke gadisanku. Dia telah menodaiku.

Hari itu seperti kiamat buatku. Aku harus melayani nafsu laki-laki tersebut hingga beberapa kali.
Dia tidak memperdulikan dengan keadaanku. Rasa sakit teramat sangat harus aku terima. Aku tidak bisa berbuat apapun selain menangis dan menangis.
Laki-laki itu meninggalkan sejumlah uang yang di lemparkannya ke tempat tidur sebelum dia keluar dari kamar.

"Kenapa nasibku seperti ini..?!" suaraku waktu itu sambil memukul-mukul bantal.
Tidak berselang lama, mami itu datang masuk ke kamar dimana aku sedang menangis. Dia tampak tersenyum. Lantas dengan gerakan cepat, dia mengambil uang yang tergeletak di atas kasur.

"Bagus... Bagus. Kerjamu sangat bagus. Ini untukmu," mami itu menyodorkan uang 20.000-an kepadaku. Aku diam membisu. Aku menatapnya dengan tajam. Aku benci sama dia. Aku bangkit dari dudukku. Aku meraih wajahnya, ingin aku mencakar wajah biadab itu. Tapi dengan cepat dia mengelak. Kemudian dia berteriak memanggil seseorang.
Tidak lama kemudian datang laki-laki tinggi besar datang berdiri di depan pintu. Laki-laki itu kemudian masuk ke kamar atas suruhan mami.
Laki-laki itu mengancamku. Dia bilang tidak akan segan untuk membunuhku kalau aku berbuat aneh-aneh. Jelas saja aku takut. Aku menggigil di sudut kamar. Mereka kemudian meninggalkan aku sendirian di kamar terkutuk itu.

Ingin aku pergi dari kamar terkutuk itu, namun lagi-lagi pintu dikunci dari luar.
Aku terus meratapi nasibku. Air mataku terus mengalir di tengah isakan tangisku. Apalah dayaku, untuk melawan mereka. Aku menghempaskan tubuhku ke kasur dengan perasaan perih teriris.

Aku dengar seperti ada suara langkah di depan pintu kamar. Aku bangkit dan turun dari tempat tidur.
Pintu kamar terbuka. Seorang wanita yang belum aku kenal masuk ke kamar dengan membawa makanan.
Bergegas aku berlari ke arah pintu. Aku hendak kabur dari rumah terkutuk tersebut. Belum juga langkahku melewati pintu, ketika kulihat laki-laki itu berdiri berkacak pinggak di depan pintu.

"Mau kemana kamu hah?! Masuk! atau aku bunuh kamu," suara dia. Aku mundur beberapa langkah. Selanjutnya tubuhku terhempas ke tempat tidur karena dorongan kuat dari wanita yang tadi membawa makanan.

"Hei anak kecil! Makan itu. Jangan sampai kamu tidak makan. Nanti kamu bisa mati disini.
Habis makan nanti kamu mandi dulu sebelum melayani tamu lagi," kata wanita yang tadi mendorongku.

"Apa? Aku harus melayani tamu?!" kataku dengan suara serak karena habis menangis.

"Jangan membantah! atau ini?!" laki-laki yang tadi berdiri di depan pintu itu mengangkat tangannya hendak menamparku. Aku menundukkan wajahku.
Aku tidak berani ngomong apa-apa pada mereka, sampai akhirnya mereka pergi dari hadapanku.
Aku menoleh ke arah makanan yang tidak jauh dariku. Karena rasa lapar dan letih yang teramat sangat, aku pun memakan makanan tersebut.
Selesai aku makan, wanita yang tadi mendorongku itu kembali ke kamar dan menyuruhku mandi. Wanita itu mengantarkan aku ke kamar mandi, menunggui aku mandi, kemudian mengantarkan aku kembali masuk ke kamar.

Baru saja aku selesai mandi dan berganti pakaian. Aku di kejutkan oleh wanita itu dengan mengatakan bahwa aku harus melayani seorang laki-laki yang akan segera datang.
Benar saja, seorang laki-laki berusia remaja (kira-kira umurnya 19 tahun) masuk ke dalam kamar dimana aku berada.
Dia menutup dan mengunci pintu. Dia kemudian menjamah tubuhku, mengerayangi tubuhku hingga semua pakaianku tertanggalkan.
Aku cuma bisa diam, diam dan diam. Aku membiarkan laki-laki remaja itu menelusuri setiap lekuk tubuhku. Aku membiarkan dia menikmati tubuhku dalam rintihan kepedihanku.
Remaja itu pun kemudian meninggalkan sejumlah uang kepadaku sebelum dia pergi dari hadapanku.

Hari itu, ada lima laki-laki yang menyetubuhiku. Sedangkan uang yang mereka berikan semuanya di ambil oleh mami terkutuk tersebut. Aku hanya dapat rasa sakit, kecewa, marah, letih, dan dosa.

*

Hari-hari aku lewati dengan bergelimangan dosa. Aku harus melayani laki-laki hidung belang yang datang kepadaku.
Batinku menjerit, merintih dalam kepedihan.
Aku yang baru berumur 14 tahun nyatanya harus merasakan kepahitan ini. 'Kalau saja waktu itu aku tidak kabur dari rumah, mungkin hal seperti ini tidak akan menimpaku.' gumamku lirih dengan bersandar di dinding kamar.
Aku baru tau kalau keberadaanku ini disebuah tempat maksiat, tempat bordir, tempat pelacuran di daerah Indralaya, karena tadi dibilangi oleh salah seorang tamuku.
Ingin aku pergi dari tempat maksiat ini, namun aku tidak berani untuk kabur dari tempat maksiat tersebut karena selalu di ancam dan penjagaan terhadap diriku sangatlah ketat.

Hampir tiga minggu aku berada di tempat pelacuran Indralaya. Hingga pada suatu kesempatan aku berhasil kabur. Yakni ketika aku di booking keluar oleh seorang remaja yang pernah aku layani.
Aku diajaknya berkencan di suatu tempat yang aku sendiri tidak tau namanya.
Ditengah perjalanan, remaja itu menghentikan kendaraannya di pinggir jalan. Dia bilang mau kencing sebentar dan aku disuruhnya menunggu. Tanpa membuang waktu, setelah dia lagi kencing di balik sebuah pohon, aku pun mempergunakan kesempatan ini untuk kabur.
Aku berlari, aku menyelinap diantara kendaraan yang berlalu lalang di jalan itu, hingga akhirnya aku bisa menyelamatkan diri.

Aku terus berlari menjauh dari yang membookingku. Setelah dirasa aman, aku berjalan seperti biasa dengan nafas yang tersengal-sengal.
Aku terus berjalan, berjalan dan berjalan meski tidak tau arah dan tujuan.
Menjelang petang, aku tiba di suatu tempat dimana disitu ada jembatan besar berwarna kemerahan.
Aku berhenti di atas jembatan itu. Aku mendongak, kulihat di jembatan itu tertera 'Jembatan Ampera'. Rupanya aku sampai di Jembatan Ampera Palembang, tempat yang belum pernah aku datangi meskipun aku berasal dari daerah Sumatera Selatan.

Petang beranjak ke malam. Aku yang bingung harus kemana, akhirnya memutuskan untuk tidur di bawah Jembatan Ampera.
Aku gelar selembar kertas koran yang tadi aku temukan tergeletak di dekatku setelah diterbangkan oleh angin.
Belum juga aku bisa terlelap ketika datang seseorang kepadaku. Dia mengajakku ngobrol. Menanyai kenapa aku berada di sana. Aku menjawabnya karena aku kemalaman dan tidak berani pulang.
Ternyata orang itu adalah tukang becak yang sering beroperasi di sekitar Jembatan Ampera.
Entah karena apa, tiba-tiba saja tukang becak itu memintaku untuk melayani nafsu syahwatnya.
Mula-mula aku tidak mau, namun dia memaksa terus. Akhirnya aku turuti ajakannya.
Aku tidak menyangka, setelah aku melayani tukang becak tadi, datanglah tukang becak-tukang becak yang lain memintaku untuk melayaninya. Ada 30 tukang becak yang membookingku di malam itu.
Mereka para tukang becak itu selalu memintaku untuk melayani nafsunya.
Pada malam ketiga dimana aku tinggal di bawah Jembatan Ampera itu, aku didatangi oleh segerombolan anak punk. Mereka bermaksud mengajakku berhubungan badan, namun aku menolaknya, karena aku takut dan tidak pernah melayani lebih dari satu orang.
Aku berlari hendak kabur dari anak punk tersebut. Namun aku berhasil ditangkapnya dan dibawa ke tempat sepi di bawah Jembatan.
Aku digilir oleh anak-anak punk itu. Aku tidak tau mereka berjumlah berapa. Mereka mengatakan kalau suka menghisap aibon.
Setelah mereka puas melampiaskan nafsunya terhadapku, mereka pun pergi begitu saja.
Aku yang letih, lemas tiada daya. Namun mereka tidak memperdulikanku.
Kini aku hanya bisa meratap atas kebodohan dan keputusanku saat itu. (*)

0 Response to "Rintihanku Hingga Di Jembatan Ampera"

Posting Komentar

wdcfawqafwef