Template information

Janda Itu Menjadi Istriku

Aku melongo saat melihat seorang wanita sedang sibuk menggoyang-goyang sesuatu di hadapannya. Sedetik kemudian aku hanya bisa berucap 'hemmm, ada-ada saja wanita ini'. Kemudian aku berlalu darinya dengan buah jakun ku yang naik turun, dan menelan ludah.
Baru saja aku berjalan beberapa langkah, aku pun berhenti dan menoleh ke arah wanita tersebut, dia memanggilku.
"Caplin, kesini sebentar," panggil wanita itu yang biasa aku panggil dengan sebutan Tante Warti. Tante Warti adalah seorang janda yang setahuku sudah 3 tahun di tinggal mati oleh suaminya.
"Iya tante, ada apa?"
"Sini sebentar," ucapnya. Aku dengan perasaan deg deg gan, lantas mendekatinya.
"Ada apa tante? Apa ada yang bisa saya bantu," kataku yang diliputi oleh perasaan aneh saat itu.
"Bantu tante melepaskan ini ya," kata tante Warti dengan tangan kirinya menarik ke atas kaos yang ia kenakan. Mungkin karena saat itu dalam otakku sudah dihinggapi pikiran yang ngeres, jadi aku pun agak gemetaran bagaimana begitu. Status tante Warti kan seorang janda, terlebih ada tersiar kabar miring yang kudengar dari beberapa orang, bahwa tante Warti suka menggoda remaja-remaja seumuran aku.
Seulas senyum tampak mengembang dari bibirnya. Tatapan matanya yang terasa genit itu juga semakin membuatku tidak karuan karenanya.
"Melepaskan apa tante?" tanyaku belum mengerti.
"Melepaskan ini. Tante susah sekali melepasnya, cepetan dong Plin..,"
"I..iya tante," dengan sedikit ragu, aku mendekati tante Warti. Aku menyentuh dan menarik ke atas kaos yang ia kenakan. Tapi kemudian..
"Apa-apaan kamu Plin? Bukan kaos.. tapi ini lho,"
"Oh, bukan itu ya tante, terus yang mana tante?" tanyaku yang masih diliputi perasaan deg deg gan.
"Ini lho," tunjuk tante Warti sambil memegang sebuah tali.
"Oh tali..., iya tante," aku pegang tali tersebut, kucoba melepas simpul tali yang terikat, namun memang susah sih, karena tali itu sudah erat terikat.
"Bisa tidak Plin?" tanyanya tante. Ia kemudian menggoyang-goyang kucing yang sedari tadi terkapar di tempat itu.
"Susah sekali tante. Kenapa tidak diputus saja talinya menggunakan pisau atau gunting," kataku.
"Nah itu dia. Kenapa dari tadi tidak kepikiran olehku sih! Hahahahaa," tante Warti kemudian tertawa dengan lebarnya. Ia masuk ke dalam rumah, sementara aku menatapnya dengan bibir manyun.
"Huh! Tante.. Tante. Kirain tadi disuruh melepaskan apaan, hehee" telapak tanganku langsung menempel ke jidad. Pikiran ngeres yang tadi ada pun kini hilang bersama tawa.

"Nah.. beres, kalau begini kamu kan bebas, manis..," suara tante Warti pada kucingnya.
"Sudah kan tante? Saya pulang dulu ya nte," kataku.
"Iya Plin. Eh sebentar, kamu sudah makan belum?"
"Emm, belum,"
"Makan disini ya, bareng tante," kata tante Warti menawari makam siang.
"Terima kasih tante, lain kali saja nte," jawabku.
"Kok lain kali. Sekarang saja, tadi tante masak enak-enak lho Plin,"
"Iya tante, lain kali saja. Sekarang saya mau pulang dulu, ada urusan yang harus cepat diselesaikan," kataku.
"Urusan apa itu Plin? Tumben kamu punya urusan, hehee,"
"Ya punya dong tante, kan kita juga makhluk hidup yang pastinya banyak urusannya,"
"Iya iya..
Silahkan Plin, tapi nanti main kesini, ya," ucapnya dengan mengedipkan mata kiri. Aku yang menangkap kedipan matanya tersebut, langsung dibuatnya berdebar-debar.
"Iya, kapan-kapan, ya tante. Permisi tante..," aku melangkah pergi. Tante Warti memandangku seperti mengharapkan sesuatu, dariku.

*

Di hari berikutnya saat aku kembali lewat di depan rumahnya tante Warti. Ia langsung memanggilku saat melihatku.
"Plin Caplin, kesini sebentar," aku menghentikan langkah kakiku, menoleh ke arahnya, lalu menuju kepadanya.
"Ada apa tante?"
"Kamu dari mana?"
"Dari main,"
"Oh main. Main di rumah tante, ya," kata dia.
"Emmm, boleh,"
"Nah begitu dong. Silahkan duduk dulu, mau minum apa Plin?"
"Minum apa saja, asal tidak merepotkan tante," kataku dengan santai.
"Tidak kok Plin. Kalau hanya minuman saja, ya tidak merepotkan," tante Warti kemudian masuk ke dalaian ia keluar dengan membawa segelas minuman teh dalam gelas.

"Silahkan Plin. Maaf hanya minuman saja, kuenya tidak punya, hik hik hiiik," tante Warti meletakkan gelas tadi di atas bangku.
"Bagaimana dengan kucingnya tante?"
"Baik. Nah itu dia," kucing itu mendekat ke arah tante Warti dan melompat ke pangkuannya.
"Kucingnya menggemaskan juga, ya," tanganku mengelus kepala kucing itu. Tante Warti menoleh ke arah wajahku, dia tersenyum, tapi senyum sangat genit.
"Iya. Dia sangat menggemaskan, kalau tidak ada si manis ini, pastilah hariku semakin sepi.
Ayo di minum Plin,"
"Hehee, iya nyari penggantinya pak Wondo dong, tante," kataku.
"Belum kepingin kok Plin,"
"Kenapa belum kepingin, tante?"
"Belum kepingin saja,"
"Sendainya ada laki-laki yang mau menjadikan tante seorang istri?"
"Iya dilihat-lihat dulu siapa laki-laki itu, kalau dia memenuhi kriteriaku, ya aku terima," tante Warti menjelaskan.
"Oh begitu, terus kriteria seperti apa itu tante,"
"Iya kriterianya yang pasti dia laki-laki yang baik. Contohnya seperti kamu Plin,"
"Seperti aku? Hahaa, aku sih orangnya tidak baik, tante...,"
"Menurutmu. Tapi menurutku kamu itu laki-laki baik kok," kata dia. Aku diam, tante Warti juga diam. Dia memandangiku, saat itu juga ada gejolak di sisi ruang batinku, entah gejolak apa namanya, aku tidak faham.
"Kok bisa begitu lho. Hehee, terus seandainya aku mengatakan kalau mau menjadi suami tante, pasti diterima dong," kataku kelepasan.
"Iya banget. Memangnya kamu mau menjadi suamiku? Hahahaa," tante Warti malah tertawa.
"Kalau situ mau, kenapa tidak?!" kataku asal njeplak/asal ngucap. Tante Warti kembali memandangiku, kali ini tatapannya tajam seperti lagi menyelami apa yang tadi aku ucapkan.
"Kenapa nte?"
"Eee, tidak kenapa-kenapa kok.
Plin, ucapanmu tadi benar apa hanya guyonan saja," tanyanya yang malah seperti penasaran.
"Dua-duanya,"
"Maksudmu?"
"Boleh dibilang bercanda, juga bisa serius. Kenapa tante?" kataku.
"Tidak. Andai beneran juga tidak apa-apa, aku terima,"
"Terima apa?" tanyaku.
"Terima kalau kamu mau menjadi suamiku,"
"Ah masa?"
"Serius,"
"Begitu mudahnya kamu menerimaku tante. Memangnya tidak ada pertimbangan lain buatku?"
"Tidak,"
"Kenapa bisa tidak?"
"Karena aku mencintaimu,"
"Yang benar?"
"Iya benar,"
"Emmm, sejak kapan ada cinta untukku, tante?"
"Sejak kamu berada di dekatku," kata tante Warti.
"Ah bohong ah,"
"Eh dibilangi kok,"
"Yang benar saja tante..,"
"Iya beneran. Iya sudah kalau kamu tidak percaya. Minumnya lagi, ya," dia menawari minuman lagi, karena minuman yang tadi sudah hampir habis aku minum.
"Tidak usah tante. Sebentar aku pamit pulang kok," jawabku.
"Yaaaaach pulang. Pulangnya nanti lagi kenapa sih Plin,"
"Tidak kenapa-kenapa juga sih. Nanti kalau aku kelamaan disini, warga malah pada curiga, tante..,"
"Biarkan saja mereka curiga, yang penting kita kan tidak melakukan apa-apa, iya kan?" kata tante Warti, aku mengiyakan saja apa kata dia.

Waktu terus berganti. Aku sering di ampirkan ke rumah tante Warti saat aku lewat di depan rumahnya. Entah kenapa, setiap kali dia memanggilku untuk mampir ke rumahnya, aku selalu mengiyakannya. Kami berbincang tentang apa saja, dan hal itu membuat kami semakin dekat saja. Namun kami tidak sampai berbuat yang aneh-aneh atau tidak senonoh, karena hal itu tidaklah baik.
Kedekatan kami kemudian berbuah pada sebuah hubungan. Kami kemudian menikah, karena memang kami sama-sama mencintai.
Status janda pada dia tidak aku permasalahkan, yang terpenting buatku adalah istri yang baik, istri yang bisa mengerti tentang keadaan sang suami. (*)

0 Response to "Janda Itu Menjadi Istriku"

Posting Komentar

wdcfawqafwef