Template information

Negeri Ibu


Ibuku seorang yang keras dalam hidup, namun begitu beliau sangat sayang pada semua anggota keluarga juga para tetangga.
Di mata keluarga dan tetangga kiri kanan, ibu adalah sosok wanita teladan dibalik sifat ngeyelnya tersebut. Ada banyak karya yang ibu hasilkan untuk bisa dinikmati orang banyak. Sebagai contoh karya ibu dalam menenun benang menjadi lembaran kain dan dibagikan secara cuma-cuma kepada mereka yang memang membutuhkan pakaian. Maklum, kami hidup di tengah masyarakat yang terpinggirkan oleh tekhnologi dan tak pernah terjamah oleh tangan pemerintahan setempat. Ya, kehidupan di tempat kami memang seperti mati. Selain penduduknya terbelakang, kampung kami pun nyaris mati oleh karena prasarana desa yang begitu sangat parah. Jangankan tiap hari memakan nasi pulen dengan lauk pauk lezat, nasi jagung dan tiwul pun kami memakannya tiga hari sekali karena persediaan bahan pangan yang memang susah di dapat.
Bukan hanya itu, pemerintahan Desa kami sangat amburadul, hal itu bisa dilihat dengan sering mangkirnya para perangkat desa dan mereka malah sering nongkrong di warung kopi untuk sekedar bercanda dan membicarakan hal tak penting sembari menyeruput kopi pahit.

Sebagai seorang anak kampung yang pernah tinggal di kota meski beberapa saat, kemudian aku berpikir bagaimana untuk mbangun kampungku dari carut marutnya pemerintahan.
Hari itu, aku bulatkan tekadku untuk merantau ke sebuah daerah dan bekerja disana dengan harapan kelak ada uang yang kusisihkan untuk membangun ruas jalan desa yang kini bagai jalan Kerbau di waktu turun hujan.
Mungkin keinginanku tersebut hanyalah bualan di siang bolong mengingat jalanan desa yang ukurannya teramat panjang dan tak mungkin aku pernaiki sendiri. Akan tetapi itulah untuk sebagai penyemangatku dalam mengumpulkan receh di tanah orang.

1 tahun sudah diriku bekerja di sebuah perusahaan otomotif di sebuah kota dengan gaji cukup lumayan. Jabatanku di tempat kerja itu boleh dibilang mentereng sebagai Asistent Manager pemasaran.
Tidak gampang memang untuk memperoleh jabatan tersebut mengingat ijazahku yang hanya SMA, tapi entahlah nyatanya sang boss malah memilihku untuk menjabat itu.
Selama aku bekerja, belum sekalipun diriku pulang kampung atau mengirimkan sedikit uang untuk ibu dan orang tuaku memaklumi hal itu oleh karena cita-citaku yang pernah ku utarakan sebelum berangkat merantau.

Setahun aku bekerja, setahun pula diriku tak kumpul ibu. Tiba-tiba aku dikejutkan oleh sepucuk surat yang ibu layangkan ke alamat kerjaku. Ibuku bilang dalam surat tadi kalau sebentar lagi beliau akan berangkat ke Sulawesi (kampung halamannya) untuk membuka bisnis kain tenun disana.
Bergegas aku menulis surat dan mengirimkannya untuk ibu supaya beliau mengurungkan niatnya tersebut.
Sebulan surat telah ku kirim, tapi ibu tak membalas suratku tersebut. Aku berpikir mungkin ibu memang telah berangkat ke Sulawesi dan tak mengindahkan permohonanku agar beliau tetap di rumah.

Tahun-tahun berikutnya, aku sangat merindukan di dekat ibu. Ingin aku menyusul ibu ke Sulawesi tapi diriku tidak tahu alamatnya dan semenjak itu juga ibuku tak pernah berkirim kabar kepadaku.
Lima tahun meninggalkan ibu dan kampung halaman, membuat diriku tak tahan memendam kerinduan. Hari itu aku putuskan untuk cuti kerja dan kembali ke kampungku yang carut marut.
Baru saja aku hendak meninggalkan ruangan kantor tempatku bekerja, seorang pegawai mengetuk pintu dan bilang kalau diriku ditunggu saudara di tempat lobi.

"Permisi Pak. Maaf, bapak ditunggu saudaranya di lobi,"
"Maksud kamu?"
"Tadi ada seorang pria datang dan mengatakan kalau ingin bertemu bapak Handoko Prawirodirjo. Orang itu bilang kalau dia adalah pak dhe-nya bapak," Karena penasaran, aku bergegas menemui orang yang dimaksud. Benar saja, orang itu adalah pak dhe Sasongko, kakaknya ibuku.

Tak kusangka jika kedatangan pak dhe Sasongko membawa kabar duka buatku. Beliau bilang kalau ibuku telah berpulang di Sulawesi sana.
Bagai tersambar petir, dadaku sesak hendak pecah mendengar kabarnya ibu. Ibuku meninggal di tempat setelah ditabrak truk pengangkut pasir disana.
Mataku memerah dan berair menetes ke pipi.
"Ibu...," Serak suaraku di tengah duka membekap. Aku tak pernah menyangka jika disana ibu akan mengalami nasib seperti itu dan wafat.
Pandanganku kosong menerawang ke negeri ibu yang saat ini tubuh beliau membujur kaku. (*)

0 Response to "Negeri Ibu"

Posting Komentar

wdcfawqafwef