Template information

Cinta Sabrina Terhempas di Pantai Sendang Sekucing





Cinta Sabrina Terhempas di Pantai Sendang Sekucing.

Tatapannya nakal membelah debur ombak di pantai Sendang Sekucing. Pemuda itu terengah setelah turun dari sepeda kayuh yang kemudian disandarkan pada pohon Ketepeng.

Nyinyir bibirnya seperti terlumat bau amis yang menyeruak terhembus angin laut. Pemuda bernama Caplin itu sebentar memicingkan mata sebelah kiri, dilihatnya hewan bernama srintil dengan cepat berlari dan menelusup ke dalam gundukan pasir sisa mainan anak-anak.

Sore itu Caplin resah, Sabrina yang ditunggunya belum juga menampakkan batang hidung.
“Sialan itu koclok, kenapa dia belum datang juga? Huh!”
Tangannya menggaruk kulit kepala yang tampaknya mulai bersisik setelah hampir dua minggu tidak di guyur air dan berkeramas.

Caplin sesekali menoleh ke belakang, barangkali saja Sabrina yang dianggapnya koclok atau sableng itu sudah datang, tapi masih sepi.
Sebatang rokok bermerk Apache ia keluarkan dan mencoba menyulutnya, tapi hembusan angin laut yang terlalu kencang dengan cepat memadamkan korek api yang tinggal beberapa gelintir saja.

“Sialan!” Caplin menggerutu. Korek api tidak juga mampu menyulut ujung rokok. Matanya melotot, korek api habis, batang rokok dipatahkannya jadi dua, remasannya membuat rokok itu terlumat dan terberai di atas pasir hitam.

Seratus meter dari Caplin duduk, tampak seorang gadis dengan pakaian sexsi mengayuh sepeda mini, dialah Sabrina.
Wanita itu tampak lesu menuju bbibir pantai dimana Caplin sedang meratapi kecutnya rasa mulut karena sedari tadi gagal merokok.

“Datang juga kamu O’on,” Suara Janoko menyambut kedatangan Sabrina yang cantiknya Subhanallah.
Tersenyum kecut gadis itu, sebab dia tahu kalau bakal di marahi oleh lelaki yang sedang bermuka masam tersebut.

Benar apa yang diperkirakan Sabrina, Caplin langsung mencerca dirinya dengan desingan kalimat kasar keluar dari sela bibirnya yang menghitam. Sabrina menunduk tak berani memandang wajah Caplin yang memerah. Gadis itu hanya memandangi butiran pasir hitam dengan dada berdegup kencang.
Tangan kanan Caplin mengepal keras, rasanya dia hendak menonjok wajah Sabrina jika saat itu tidak ada orang lewat di dekatnya.

Sebagai seorang lelaki seharusnya Caplin tidak nerocos layaknya perempuan kehilangan uang belanja. Tapi itulah Caplin yang memang suka bicara tapi nihil prestasi. Jangankan pekerjaan bisa dia kerjakan dan selesaikan dengan baik, urusannya dengan cinta pun sering keteteran hingga berujung pada pertengkaran dan perpisahan.
Memang sih gaya Caplin terhadap banyak gadis sering kelewat trendy dengan pakai acara pinjam baju bagus ke teman untuk apel maupun sekedar ketemuan sama cewek yang dikenalnya. Begitu juga ia terhadap Sabrina yang selama ini selalu menunjukkan barang mewah, padahal sih... sepeda ontel saja Caplin tidak punya.

Rasa gengsi yang dimiliki Janoko sangat berlebihan, itu menurut banyak temannya yang sebenarnya juga sudah jengah dengan kelakuan pemuda tersebut. Tapi apa yang ingin dilakukan teman-teman Caplin untuk memberinya pelajaran pun terhenti saat mereka teringat betapa sudah susahnya kehidupan lelaki yang kini sedang duduk di samping Sabrina.

Sabrina mengangkat wajahnya, gadis itu menoleh kearah Caplin. Pandangan Sabrina yang mendadak sayu dibalas Caplin dengan tatapan tajam penuh kekesalan. Apapun yang sekarang berkecamuk pada persaan masing-masing adalah buah dari ketidak dewasaannya antara mereka berdua.

Beberapa hari yang lalu, sempat terjadi gesekan atas hubungan asmara Janoko dan Sabrina. Walaupun Caplin seorang pemuda degil yang banyak bergaya tapi Sabrina mencintainya, hal itu dikarenakan betapa pandainya Caplin dalam menaklukkan gadis tersebut. Namun sayang, Caplin kemudian gelap mata saat dirinya melihat sang kekasih asik berduaan bersama seorang pemuda lain di sebuah taman kota.

Saat itu dada Caplin langsung bergolak, jiwa kelakiannya meradang bersama darah mengalir cepat hingga terkumpul di ubun-ubun. Wajah Caplin merah menyala dengan kedua matanya melotot. Sejurus ia kepalkan tangan kanannya dan melangkah hendak menghampiri Sabrina, tapi diurungkannya.

Janoko terdiam dalam gejolak kemarahan, pemuda ini langsung berbalik badan sambil berucap bahwa dia akan segera menyelesaikan apa yang dilihatnya barusan.
Itu awal kehancuran dua perasaan yang sudah tertaut dalam bingkai cinta. Keesokan harinya Caplin meminta kepada Sabrina agar bisa bertemu di pantai Sendang Sekucing seperti saat keduanya saling mengenal dulu.

“Di sini ada cerita kita. Di sini ada janji yang sepertinya akan segera berakhir terkubur pasir kebohongan dan tertelan ombak dusta!”
Janoko masih tajam menatap Sabrina. Gadis itu menghela nafas yang terasa memenuhi rongga dada. Sabrina tidak mengerti dengan ucapan lelaki yang sudah beberapa minggu menjadi sandaran atas perasaan berbunga.
“Maksud kamu Plin?”
Kemarahan Caplin semakin menjadi melihat kebodohan gadis di sampingnya yang tidak faham dengan ucapannya. Berkali-kali Caplin mengumpat dalam hati bahwa Sabrina sudah tak pantas lagi menjadi labuhan cintanya.

Tak dapat dikendallikan oleh Caplin, perkataan itu pun terlontar dari mulutnya dan membuat Sabrina terperangah sekaligus bersedih.
Sebenarnya Sabrina tidak mempermasalahkan apapun status Caplin dan kehidupannya, sebab gadis hitam manis itu sudah terlanjur jatuh hati kepada pemuda di sampingnya kini.

“Saat ini juga kita putus!!!” lantang suara Caplin kepada Sabrina yang seakan mengalahkan gemuruhnya debur ombak.
“Maksud kamu dengan putus Plin?
Kamu jangan seperti itu Plin, Aku sudah mencintaimu sepenuh hati, bahkan cintaku kepada kamu melebihi apapun!”

Dasar Caplin tidak bisa bersikap lembut dan arif, dia malah mencak-mencak. Caplin menganggap perkataan gadis itu hanya kebohongan belaka sebab telah berani berduaan bersama laki-laki lain selain dirinya.

Pertengkaran berlanjut atas ketidak adilan yang dirasakan Caplin pada cinta yang di dapat dari Sabrina. Sementara Sabrina sendiri mulai merasakan kesedihan karena cintanya terhadap Caplin akan segera berakhir seiring kesombongan lelaki tersebut.

Walaupun Sabrina sudah menjelaskan dengan jujur kepada Caplin atas apa yang dituduhkan kepaddanya, tapi pemuda itu tetap bersikukuh kalau Sabrina sudah berselingkuh dan tidak menepati janji bersama untuk tidak mendua. Sombong dan ingin menangnya sendiri Caplin, padahal selama ini dirinya juga sering berduaan dengan cewek lain tanpa sepengetahuan Sabrina.

Sabrina merasa dirinya memang sudah tak berarti bagi Caplin yang sudah di cintai dengan setulus hati. Dasar lelaki tukang gombal, kebiasaan ngibul pada banyak cewek membuat Caplin tidak bisa membedakan mana cinta yang hakiki dan mana cinta yang bohongan.

Caplin terlanjur menilai, cintanya Sabrina juga sama dengan yang lain, sama-sama perasaan bohongan tanpa ada ketulusan.
Tidak mungkin bagi Janoko untuk menarik ucapannya yang memutuskan jalinan cinta terhadap Sabrina. Begitu juga dengan gadis itu yang tak mungkin lagi memaksakan perasaannya bahwa ia sangat mencintai Caplin.

Serasa terombang-ambing, Sabrina terdiam dalam kekeluan lidah untuk terus berucap. Sabrina memandang ke tengah lautan, terasa dirinya terhempas di dasar sana bersama cinta yang telah bersemi dan tak mungkin kembali lagi pada biduk yang tlah berubah arah.

Gadis itu dalam pilu, cintanya kepada Caplin telah di campakkan pada batu karang di dasar lautan Sendang Sekucing. Jiwanya melenguh, kesedihannya menghantam bebatuan yang tertata pada anjungan pantai.
Caplin bangkit berdiri, tanpa basa-basi lagi ia meninggalkan Sabrina yang cintanya belum mati. (*)

0 Response to "Cinta Sabrina Terhempas di Pantai Sendang Sekucing"

Posting Komentar

wdcfawqafwef