Template information

Buah Kesombongan Dulkemin

Kehidupan di dunia bermacam warnanya. Ada yang taat, ada yang berbuat maksiat dan angkara, ada yang kaya, dan yang miskin juga tidak sedikit.
Permasalahan dalam hidup juga tidak semuanya sama. Ada yang ringan, ada yang sedang saja, dan ada yang sampai sekarat hingga dibilangnya melarat.
Antara kebaikan dan kejelekan juga bedanya tipis, itu menurut Dulkemin, seorang pemuda miskin nan bodoh dan selalu dihina oleh sesama manusia.
Hampir kemana saja dirinya melangkahkan kaki, Dulkemin sering mendapatkan cibiran dan hinaan. Entah apa yang sebenarnya mereka lihat dari diri Dulkemin, sampai-sampai pemuda itu selalu mendapatkan ejekan dan kesialan, hingga akhirnya pemuda itu menganggap kebaikan dan keburukan tidak ada bedanya, sama-sama tidak memberikan arti apa-apa dalam kehidupan si Dulkemin.
Pernah dan sering Dulkemin berbuat kebaikan, tapi saat itu juga keculasan yang ia dapatkan sebagai balasan. Mereka dengan liciknya mengakali Dulkemin yang sejatinya pemuda jujur. Tapi kebodohan Dulkemin sering dimanfaatkan oleh mereka yang licin jidatnya.

"Apa kamu?! Kamu ini sudah melarat tapi petentang-petenteng sok kaya. Memang kamu punya apa untuk dekat sama Anggreani, hah!" Kata seorang lelaki kepada Dulkemin.
Pemuda miskin dan bodoh itu terdiam. Dipandangnya wajah bapaknya Anggreani dengan mata pedih. Dulkemin menundukkan wajah, lantas berlalu dari hadapan pria tua tersebut setelah meminta pamit pulang. Semenrara pria tua itu memandang langkah Dulkemin dengan sinis dan meremas-remaskan jemarinya, lalu mengepal.

Apa yang dikatakan orang tuanya Anggreani itu membuat dada pemuda tersebut mendadak sesak. Langkahnya gontai seperti tak bertenaga dan tak tahu arah. Dulkemin membuang nafasnya kuat-kuat seakan hendak merontokkan bangunan-bangunan di sekitarnya.
Sorot mata Dulkemin tajam memerah memandang jalanan itu. Dia berlari sekuat tenaga sebelum tubuhnya ambruk dan berguling-guling di rerumputan.
Dia menghadap ke atas, ditatapnya langit tersaput awan putih menggantung. Dia memejamkan matanya dengan nafas tersengal. Dicabutnya segerombol rumput dan diremasnya kuat-kuat hingga telapak tangannya yang kasar itu memerah.

"Aku harus membuktikan kalau diriku bisa!!!" Parau suara Dulkemin diantara panasnya bumi dan langit oleh sinar matahari di siang itu.
Pemuda miskin dan bodoh itu bangkit berdiri. Disekanya keringat di wajahnya. Dengan gemuruh gejolak di dada, Dulkemin melangkah bersama sebuah tekad, ingin seperti mereka.

Selama sebulan Dulkemin tidak pernah muncul di hadapan publik, ia mendekam di kamar sambil terus mencari jalan bagaimana dirinya bisa mendapatkan sesuatu yang akan ditunjukkan sama orang tuanya Anggreani.
Namanya saja orang setengah waras, Dulkemin tidak merasa bosan duduk tafakur di dalam kamarnya yang super sumpek tersebut.
Apa yang diharapkan Dulkemin mendekati titik terang. Pria itu berguman, lantas keluar kamar dengan senyum sejuta manis nangkring di bibirnya yang kering.

"Aku harus ke tempat itu, ya harus ke tempat itu sekarang juga!" Ucap Dulkemin dan melangkah dengan tegap.
Pria tersebut terus melangkahkan kakinya. Jalan tanah berkerikil terus ia lalui tanpa alas kaki. Hingga akhirnya Dulkemin sampai juga di sebuah tempat yang dia dapatkan dari bisikan saat dirinya berdiam diri di dalam kamarnya.
Matanya menatap ke sekeliling, ratusan pohon besar berdiri menjulang di sebuah hamparan perbukitan. Dia menarik nafas sebentar, pandangannya tertuju pada sebuah batu besar yang dirasanya aneh. Berlahan ia mendekati batu tersebut, kemudian menyentuh dan mengelusnya.
Dingin, hawa batu itu sangat dingin di telapak tangan Dulkemin. Pria setengah waras itu terkejut dan mundur beberapa langkah, dilihatnya batu dihadapannya bergeser dengan sendirinya setelah tersentuh oleh tangannya.
Dulkemin terperangah tidak percaya, sebuah lorong terbuka dengan cahaya keperakan terpantul diantara dindingnya.
Hampir saja ia jatuh pinsan dengan apa yang dilihatnya. Pria itu terdiam dan berpikir sejenak. Ingin dia segera memasuki lorong itu, tapi takut. Namun rasanya akan sia-sia dan tanggung jika dirinya tidak memasuki untuk mengetahui tempat apa itu sebenarnya. Maka pria serengah waras tersebut memasuki lorong yang gemerlap oleh sinar itu.
Dulkemin menghentikan langkah karena ada suara yang menyebut namanya. Dia menoleh ke kanan dan kiri juga ke belakang, tapi tak ada apa-apa. 'Klepek klepek klepek' seekor burung tiba-tiba hinggap di pundak Dulkemin.
Burung tadi seperti sedang membisikkan sesuatu ke telingah pria sedeng tersebut, Dulkemin pun meneruskan langkahnya.
Dulkemin terperangah, tidak jauh dari tempatnya berdiri ada beberapa kotak berdiameter 50 cm persegi tertumpuk di pojokan lorong tersebut. Pria itu mendekatinya, dia menyentuh dan membuka kotak itu.

"Emas?! Benarkah ini emas?" Dia hendak mengambil batangan di dalam kotak tersebut tapi sebuah suara mengurungkannya.

"Hai Dulkemin. Itu semua untuk kamu. Ambil sesuka hatimu, tapi jangan lupa, kamu harus merawat tempat ini dan menjaganya dengan baik.
Sekarang bawa beberapa batang emas itu dan tukarkan dengan uang, lalu bangunlah sebuah rumah untuk kamu dan aku, mengerti?!"

"Kamu ini siapa? Tunjukkan dirimu,"

"Nanti kamu akan tahu sendiri siapa aku. Sekarang keluar dari lorong ini. Jangan lupa, bangun sebuah rumah tidak jauh dari rumahmu itu, mengerti Dulkemin...," Suara itu menghilang. Bergegas Dulkemin mengambil beberapa batang emas di kotak tersebut, kemudian keluar meninggalkan lorong.

Pria setengah waras itu melangkah dengan senang. Berulang kali ditimang-timangnya batangan emas di tangan, kemudian dimasukkannya batangan emas tadi ke saku celana.
Sesampai di rumahnya, ia termenung, mau diapakan batangan tersebut.
Biarpun setengah waras tapi Dulkemin juga tahu mana penjual nasi pecel dan mana toko emas. Bergegas dia berganti baju agak necis, kemudian pergi ke toko emas di daerahnya.

"Mbak, aku menjual ini," Kata Dulkemin dengan menunjukkan batangan emas satu biji kepada pemilik toko.

"Emas batangan?! Benarkah itu emas batangan? Coba aku lihat," Ucap pemilik toko. Dia mengangguk-angguk, wanita pemilik toko tersebut tahu betul jika itu memang batangan emas murni.

"Bagaimana mbak, berapa ini dihargai?" Tanyanya Dulkemin. Biasalah pedagang, kalau melihat barang berharga dengan nilai tinggi maka ia akan segera ingin tahu dan mencicipinya. Pemilik toko emas bilang ingin tahu kadar emasnya, maka dia mengetesnya (padahal ia mau nyuri emas itu walau sedikit dengan menggosok-gosokkan batangan tersebut ke spon khusus).

"Ini kamu dapat dari mana?
Ini aku beli 100 juta kalau boleh, bagimana?" Kata pemilik toko. Dasar Dulkemin orang susah yang tidak pernah memegang uang sebanyak itu. Dia mengangguk saja dengan harga segitu, padahal kalau orang waras yang jual, 100 juta tidak akan dilepas karena harganya bisa mencapai 500 juta.
Dulkemin mengeluarkan dua batang emas lagi dari saku celananya. Pemilik toko tercengang. Wanita itu menatap Dulkemin dengan mimik wajah heran dan agak takut. Namun entah bagaimana yang terjadi, pemilik toko itu sanggup membeli dan membayar batangan emas milik Dulkemin, semuanya. Pria setengah waras itupun pulang dengan uang banyak.
Dulkemin tersenyum dan tertawa sendiri, terbayang olehnya jika sebentar lagi dirinya akan menempati rumah dan mobil bagus, lalu menaklukkan Anggreani, terutama orang tuanya gadis tersebut.

Dulkemin menuruti perintah suara yang di dengarnya pada saat itu, dia kemudian membangun sebuah rumah mewah tidak jauh dari gubuk reotnya. Sebuah mobil sedan BMW pun dia beli. Apa yang tidak bisa dibeli oleh Dulkemim dengan batangan emas yang menumpuk di lorong itu sih? Setiap uangnya habis, Dulkemin datang ke lorong tersebut dan mengambil batangan emas kemudian menjualnya.
Dulkemin juga sangat lihai dan selalu berhati-hati, sampai kini orang yang membeli batangan emas darinya tidak pernah tahu dari mana pria sedeng itu mendapatkannya. Orang-orang di kampungnya pun tidak pernah tahu apa sebenarnya yang dilakukan oleh Dulkemin hingga dirinya mendadak kaya dan dermawan. Tiap kali mereka mengikuti langkah Dulkemin, tiap kali itu juga mereka kehilangan jejak, selalu saja ada kejadian-kejadian tak terduga yang terjadi saat mereka membuntuti Dulkemin.

Apa yang menjadi keinginan Dulkemin hampir terwujud, Anggreani dan orang tuanya telah bertekuk lutut dengan kemewahan yang ia miliki.
Bapaknya Anggreani tidak lagi memandang rendah Dulkemin, bahkan orang itu menyuruh Dulkemin agar segera menikahi anaknya. Mendengar hal itu tentu saja Dulkemin senang. Laki-kaki sedeng itu berjanji akan segera menikahi Anggreani. Kini orang melarat itu berubah pangkat, ia disegani dan dihormati. Namun begitu, Dulkemin mulai membusungkan dada berlebihan. Dia berbuat kesombongan pada yang menciptakan dunia ini, akhirnya apa yang telah ada untuk Dulkemin, musnah tak tersisa.
Dulkemin kembali ke lorong yang di dalamnya tersimpan banyak emas itu, tapi lorong tersebut tak pernah lagi dia temukan. Dulkemin kembali tenggelam, bahkan hidupnya sekarang menjadi lebih sekarat. (*)

0 Response to "Buah Kesombongan Dulkemin"

Posting Komentar

wdcfawqafwef